KPK belum memutuskan, kapan akan melaksanakan perintah eksekusi atau menyita aset milik bekas Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dan saksi lain kasus korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2007. Rencana eksekusi ini mencuat setelah hakim memutus perkara atas nama terdakwa Rustam Pakaya dengan hukuman empat tahun penjara.
Kepala Biro Humas KPK JoÂhan Budi Sapto Prabowo menyaÂtaÂkan, kendala eksekusi aset terÂpidana masih berhubungan deÂngan belum diterimanya salinan putusan. Dia menerangkan, ekÂseÂkusi aset terpidana Rustam PaÂkaya akan dilakukan jaksa KPK. “Kita perlu tunggu salinan putuÂsan lebih dulu,†katanya.
Dia menyatakan, eksekusi aset Rustam yang diduga menerima dana Rp 4,9 miliar tersebut nyaris tidak ada kendala. Maksudnya, meÂkanisme eksekusi atau penyiÂtaÂan aset terpidana yang satu ini bisa dilakukan sama seperti peÂnyitaan aset terpidana lainnya. Yang penting, hal yang menÂdasari eksekusi itu jelas.
“Sudah ada putusan hukum yang mengikat dan ada salinan putusan dari Pengadilan Tipikor.†Dengan kata lain, jaksa di KPK siap melaksanakan perintah ekÂsekusi aset terpidana bekas KeÂpala Pusat Penanggulangan KrÂiÂsis Departemen Kesehatan yang menerima dana Rp 4,9 miliar.
Dana berbentuk Mandiri TraÂveller Cheque (MTC) itu diÂperÂoleh Rustam dari rekanan proyek, Direktur PT Graha Ismaya (GI) Masrizal Ahmad Syarief.
Sehubungan dengan aliran dana yang digelontorkan ke koÂlega-kolega Rustam, Johan meÂnamÂbahÂkan, jaksa KPK akan teÂtap menÂjalankan perintah hakim. Jadi, meÂnurutnya, perintah ekÂseÂkusi aset pada nama lain yang beÂlum dijatuhi vonis hukuman, menjadi patokan bagi KPK dalam melaksanakan tugas dan tangÂgungjawabnya.
Hanya saja, tambah Johan, jakÂsa KPK mempunyai meÂkaÂnisÂme tersendiri untuk meÂlakÂsaÂnaÂkan ekÂsekusi aset seperti yang diÂpÂeÂrintahkan hakim. “Sejauh ini maÂsih kita pelajari apa meÂkaÂniÂsÂme yang akan ditempuh,†ucapnya.
Dia menambahkan, penilaian hakim bahwa ada sejumlah nama yang kecipratan dana dari RusÂtam, tentunya dilandasi pada keÂsaksian dan barang bukti yang ada. ApaÂlagi, dalam dakwaan RusÂtam PaÂkaya, jaksa menyeÂbutkan adanya aliran dana yang diterima bekas Menkes dan nama lainnya.
Dia membeberkan, sejauh ini jaksa KPK pernah mengalami hal serupa. “Pernah ada juga perintah hakim yang seperti itu. Kita tetap bisa mematuhi dan menjalankan perintah itu,†ucapnya.
Dia menambahkan, dari sisi haÂkim, perintah itu sah-sah saja. Mengingat hakim adalah pihak yang paling berkompeten menilai dan memutus perkara. “Kalau tiÂdak menjalankan perintah hakim, lalu siapa lagi yang harus diÂlakÂsaÂnakan,†ucapnya.
Diketahui, dalam sidang kasus ini, hakim menyatakan bahwa seÂbagian uang Rp 4,9 miliar itu, oleh Rustam dibagi ke pihak lain. Pihak-pihak lain itu antara lain,
Siti Fadilah Supari. Bekas MenÂkes itu, disebut mendapat jaÂtah hasil korupsi pengadaan alat keÂsehatan (alkes) 1 untuk kebuÂtuhan Pusat Penanggulangan KriÂsis Departemen Kesehatan dari dana Daftar Isian Pelaksana AngÂgaran (DIPA) Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2007.
Uang yang diterima Siti berupa MTC, jumlahnya Rp 1,275 miliar. Menanggapi hal tersebut, Siti menyatakan, belum meÂneÂrima kabar maupun surat terkait perintah eksekusi aset tersebut.
Dia menilai, putusan hakim mengenai penyitaan aset tersebut baru berdasarkan tuduhan pada terÂdakwa Rustam Pakaya. SebeÂlumnya, dia sudah berkali-kali membantah tuduhan tersebut. MeÂnurutnya, dia tidak pernah meÂneriÂma aliran dana traveller’s cheÂque senilai Rp 1,275 miliar dari RusÂtam. “Nggak ada, nggak ada bukÂÂÂtiÂnya. Saya nggak pernah meÂnguangÂkan apa-apa,†katanya.
REKA ULANG
Siti Kesenggol Rustam Pakaya
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menggelar persidangan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2007 dengan terdakwa bekas Kepala PuÂsat Penanggulangan Krisis DepÂkes Rustam Syarifuddin Pakaya.
Bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah pernah menÂjadi saksi dalam persidangan ini. Saat menjadi saksi, Siti yang meÂngenakan busana batik berÂwarÂna cokelat itu, mengaku siap memÂbeÂrikan kesaksian. Namun, dia meÂngaku bingung mengapa kasus ini bisa membawa-bawa namaÂnya. “Saya bingung kenapa bisa dibaÂwa-bawa,†ujarnya di PeÂngaÂdiÂlan Tipikor Jakarta, Selasa (9/10).
Dalam surat dakwaan Rustam, disebutkan bahwa Rustam pernah memberikan cek sebesar Rp 1,27 miliar kepada Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Dalam sidang pada Kamis (9/8), jaksa penuntut umum (JPU) Agus Salim mengaÂtaÂkan, Rustam memberikan dana Rp 1,27 miliar dalam bentuk manÂdiri traveller’s cheque (MTC) keÂpada Siti Fadilah.
Cek tersebut diberikan atas upaya Rustam mengarahkan peÂngadaan pada merek atau produk tertentu, dengan meminta dana dari PT Graha Ismaya. Dana itu kemudian dibagi Rustam ke seÂjumÂlah pihak. “Yaitu memÂperÂkaya diri terdakwa sebesar Rp 2,47 miliar dan orang lain yaitu Siti Fadilah Supari sebesar Rp 1,27 miliar,†ujar jaksa Agus Salim.
Saat dikonfirmasi, bekas MenÂteri Kesehatan Siti Fadilah SuÂpari mengaku tidak pernah meÂneÂrima uang terkait kasus itu. “JPU menÂdakwa Rustam dengan menyebut memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak meÂngerÂti itu. Saya tidak pernah terima uang,†ujarnya ketika dihubungi RakÂyat Merdeka.
Selanjutnya, Siti meminta agar dakwaan yang dialamatkan keÂpada Rustam tidak dikait-kaitkan kepada dirinya. “Saya memÂbanÂtah dakwaan bahwa saya meÂneÂrima uang itu. Saya tidak tahu menahu soal aliran dana itu,†ujar anggota DeÂwan Pertimbangan Presiden ini.
Saat dikonfirmasi, bekas MenÂteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak pernah menerima uang terkait kasus itu. “JPU menÂdakwa Rustam dengan menyebut memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak mengerti itu. Saya tiÂdak pernah terima uang,†ujarÂnya dalam suatu kesempatan keÂpada Rakyat Merdeka.
Selanjutnya, Siti meminta agar dakÂwaan yang dialamatkan keÂpada Rustam tidak dikait-kaitkan kepada dirinya. “Saya membÂanÂtah dakwaan bahwa saya meÂneÂrima uang itu. Saya tidak tahu menahu soal aliran dana itu,†ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.
Tidak hanya Siti Fadilah, daÂlam surat dakwaan juga tertulis nama-nama lain yang menerima uang yakni ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Gunadi Soekemi Rp 100 juta, Tan Suhartono Rp 150 juta, Tengku Luckman SiÂÂnar Rp 25 juta, PT Indofarma GloÂbal Medika Rp 1,763 miliar dan PT Graha Ismaya Rp 15,226 miliar. Namun, tidak dijelaskan secara rinci jabatan orang-orang yang diÂduga juga menerima uang tersebut.
Dalam kasus ini, Rustam diÂdakÂÂwa merugikan neÂgara sebesar Rp 22,051 miliar. MaÂjelis haÂkim memÂvonis Rustam huÂÂkuÂman emÂpat tahun penjara.
Khawatir Masalah KPK Bertambah
Hendardi, Direktur Setara Institut
Direktur Eksekutif Setara Institut Hendardi mengiÂngatÂkan, sikap hakim meÂmeÂrinÂtahÂkan eksekusi aset bekas Menkes dan pihak lainnya perlu dicerÂmaÂti secara teliti. Jangan samÂpai, langkah tersebut justru menÂcederai proses penegakan hukum. “Saya kira kalau fakÂtanya demikian, terlalu beÂrÂleÂbihan,†katanya.
Masalahnya, nama-nama orang yang diduga menerima aliÂran dana tersebut, belum maÂsuk sebagai tersangka, apalagi terpidana. Artinya, belum ada daÂsar hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi.
Dia bilang, proses eksekusi baru bisa dilaksanakan bila suÂdah ada ketetapan atau keÂpasÂtian hukum yang mengikat. Atau dalam bahasa hukum, suÂdah incraht. Makanya, HenÂdardi menyarankan, jaksa KPK hati-hati dalam melaksanakan perintah hakim tersebut. Jangan sampai, hal ini menjadi buÂmeÂrang bagi KPK yang sedang menghadapi berbagai masalah. “Jangan sampai menambah maÂsalah KPK,†wanti-wantinya.
Hendardi menambahkan, pada sisi lain, pertimbangan haÂkim agar jaksa segara meÂngÂekÂsekusi aset orang-orang yang diÂduga menerima dana dari terÂpiÂdana Rustam Pakaya, keÂmungkinan ditujukan agar dana tersebut dapat dipakai untuk mengganti kerugian negara.
Namun langkah tersebut, idealnya disandarkan pada pola atau aturan hukum positif yang ada. Bukan dilaksanakan deÂngan cara-cara yang justru meÂlanggar hukum. Dia pun meÂminta, KPK tidak over acting dalam menerjemahkan perintah hakim kali ini.
Masalahnya, nama orang yang diduga menÂdapat dana dari Rustam Pakaya, sama seÂkali belum terbukti berÂsalah di persidangan. “Jadi haÂrus meÂngedepankan azas praÂduga tak bersalah.â€
Blokir Saja Sebelum Terbukti Bersalah
Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR
Politisi Partai Hanura SyariÂfuddin Suding meminta hakim cerÂmat dalam menimbang dan memutus perkara. Maksudnya, perintah eksekusi aset yang diduga hasil korupsi, idealnya tak melampaui batas kelaziman hukum acara pidana.
Menurut dia, idealnya periÂnÂtah eksekusi aset dilaksanakan begitu seseorang dinyatakan terÂbukti bersalah. Jadi dengan kata lain, orang-orang yang naÂmaÂnya diduga terlibat perkara harus dibuktikan dulu keterÂliÂbaÂtannya atau kesalahannya.
“Mereka harus dihadirkan di perÂsidangan lebih dulu, dibukÂtiÂkan kesalahannya baru disita asetÂnya untuk negara. Jika puÂtuÂÂsan eksekusi aset itu dilaÂkÂsaÂnaÂkan, maka hal itu bisa dikaÂteÂgoÂrikan sebagai putusan yang meÂlamÂpaui kewenangan pengadilan.â€
Memang, diakuinya, perintah eksekusi aset kali ini ditujukan kepada sejumlah nama yang diÂdÂuga terkait kasus ini. Tapi lebih elok dan bijaksana apaÂbila, perintah hakim ini diÂsamÂpaikan setelah mereka diÂnyaÂtaÂkan terÂbukti bersalah. “BaÂgaiÂmana bila nama-nama orang yang haÂrÂtanya disita tersebut, ternyata di persidangan nanÂtinya tidak terÂbukti bersalah?†ucapnya.
Hal ini dikhawatirkan justru memicu munculnya persoalan baru. Ironis lagi, putusan ekseÂkusi bisa mendiskreditkan orang yang belum tentu berÂsaÂlah. “PaÂdahal proses perÂsiÂdaÂngan buat meÂreka belum berÂjalan,†katanya.
Oleh karena itu, sekalipun mengapresiasi keberanian haÂkim, toh dia merasa aneh dÂeÂngan ketegasan hakim kali ini. Dia menjelaskan, semestinya, haÂkim tidak buru-buru memeÂrinÂtahkan eksekusi aset terÂseÂbut. Melainkan, meminta peÂnyidik fokus memblokir atau memÂbekukan aset orang-orang yang dijadikan tersangka kasus ini.
Jadi, sambungnya, begitu puÂtusan pengadilan menyaÂtakan mereka tidak terbukti bersalah, proses pembukaan blokir rekeÂning atau pembekuan aset itu bisa mudah dilakukan. DÂeÂmiÂkian pula sebaliknya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: