Berkas Siti Fadilah 4 Kali Bolak-balik Polri-Kejagung

Perkara Dugaan Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan

Senin, 12 November 2012, 10:22 WIB
Berkas Siti Fadilah 4 Kali Bolak-balik Polri-Kejagung
Siti Fadilah Supari
rmol news logo Untuk keempat kalinya, jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara tersangka kasus pengadaan alat kesehatan, Siti Fadilah Supari kepada penyidik Mabes Polri.

Soalnya, petunjuk jaksa pe­nuntut umum (JPU) agar berkas itu lengkap (P21), tak kunjung bisa dipenuhi penyidik. “Untuk yang keempat kalinya, berkas per­kara dikembalikan ke penyi­dik karena masih ada petunjuk yang belum dipenuhi, baik pe­tun­juk formil maupun materil,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung M Adi Toegarisman.

Berkas pemeriksaan Siti, per­tama kali dikirim penyidik Ba­reskrim Mabes Polri kepada JPU Kejaksaan Agung pada 8 Mei 2012. Namun, berkas tersebut di­k­embalikan ke penyidik. Soal­nya, menurut jaksa peneliti, ber­kas itu belum memenuhi syarat untuk dinyatakan lengkap. “Wak­tu itu pun sudah langsung dibe­ri­kan petunjuk kepada penyidik un­tuk dilengkapi,” ujar Adi.

Pengembalian berkas untuk yang kedua kali, terjadi pada tanggal 10 Juli 2012. “Saat itu, se­mua unsur materil dan for­mil­nya juga belum dipenuhi,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Ke­pulauan Riau ini.

Pada 9 Agustus 2012, JPU lagi-lagi mengembalikan berkas bekas Menteri Kesehatan itu kepada pe­nyidik kepolisian. “Tidak ada unsur kesengajaan, tapi semata-mata ka­rena tidak dipenuhinya petunjuk yang kami berikan,” ucap Adi.

Untuk keempat kalinya, pada 29 Oktober lalu, JPU mengem­balikan lagi berkas tersebut kepada penyidik. “Begitu berkas dikasih penyidik kepada kami, langsung kami teliti dan periksa kelengkapannya. Rupanya sam­pai keempat kali, petunjuk kami belum juga dipenuhi,” katanya.

Makanya, lanjut Adi, jaksa pe­nuntut umum Kejagung me­ngem­balikan lagi berkas tersebut kepada penyidik Bareskrim. “Un­tuk segera dilengkapi petunjuk-petunjuk dari JPU, sebagaimana te­lah kami berikan,” ucap jaksa asal Madura ini.

Kendati begitu, Adi tidak mau me­rinci apa saja yang menjadi petunjuk JPU kepada penyidik. “Yang pasti, pada pengembalian pertama, JPU memberikan 13 petunjuk formil dan 14 petunjuk materil yang harus dilengkapi penyidik,” katanya.

Pada pengembalian kedua, lan­jut Adi, sudah ada sedikit pem­benahan. “Ada tujuh petunjuk for­mil dan 11 petunjuk materil yang masih belum dipenuhi pada pe­ngembalian kedua,” katanya.

Sampai pada pengembalian yang ketiga, menurutnya, tidak ada perubahan lagi. “Sampai ke­em­pat kalinya ini pun, belum ada perubahan lagi dari petunjuk yang diberikan JPU,” lanjut Adi.

Walau begitu, pihaknya tetap menunggu penyidik untuk segera mungkin memenuhi petunjuk JPU, agar perkara tersebut tidak menggantung. “Kami akan tung­gu sampai lengkap semua. Itu kan pe­rintah dan dasar yang di­te­tap­kan dalam undang undang,” ujarnya.

Sekadar mengingatkan, Siti di­tetapkan Bareskrim sebagai ter­­sangka kasus korupsi penga­da­an alat kesehatan untuk keada­an luar biasa (KLB). Pengadaan ini meng­gunakan metode pe­nun­ju­­kan lang­sung yang d­i­la­k­sanakan Kepala Pusat Pe­nang­gulangan Ma­salah Ke­sehatan antara Ok­tober 2005-No­vember 2005, se­be­sar Rp 15.548.280.000 atau se­kitar Rp 15,5 miliar. Aki­bat pe­nun­jukan langsung ter­se­but, ne­gara diduga mengalami ke­rugian Rp  6.148.638.000 atau se­kitar Rp 6,1 miliar.

Sebelumnya, Kabareskrim Pol­ri Komjen Sutarman menyatakan ti­dak akan mengeluarkan Surat Pe­rintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi Siti, kendati anak buah­nya belum bisa melengkapi petunjuk kejaksaan. “Tidak ada ren­cana mengeluarkan SP3,” ucap bekas Kapolda Metro Jaya ini.

Menurut Sutarman, pihaknya tidak bermaksud mengulur-ulur waktu penanganan kasus ini. Tapi, semata-mata karena butuh waktu untuk memenuhi petunjuk jaksa. “Petunjuk jaksa itu banyak, se­hingga butuh waktu untuk me­menuhinya,” kata dia.

Sebaliknya, huasa hukum Siti, Yusril Ihza Mahendra meminta Bareskrim segera mengeluarkan SP3 untuk kliennya. “Ini sudah berkali-kali bolak-balik. Apa yang diminta kejaksaan tidak bisa dipenuhi kepolisian. Landasan hukum kasus ini tak kuat dan alat buktinya tak cukup. Karena itu, SP3 saja,” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka.

Melihat proses penyidikan yang me­nurutnya menggantung ini, Yus­ril ingin melakukan judi­cial re­view ke Mahkamah Kon­s­titusi. “Sampai kapan Ibu Siti di­gantung-gantung? Kelemahan KUHAP kita memang tak me­ngatur sampai kapan. Masak se­umur hidup ter­sangka terus? Ka­lau begini, akan saya ajukan ke MK,” katanya.

Judicial review atas KUHAP itu, akan dilakukan setelah Yus­ril ber­konsultasi dengan Siti. “Saya akan konsultasikan ren­ca­na ini dengan Ibu Siti. Jika sudah oke, akan kami lakukan,” ucap­nya.

REKA ULANG

KPK Minta Siti Balikin Uang Negara

Ada sejumlah perkara dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) saat Siti Fadilah Supari menjabat Menteri Kesehatan. Kasus-kasus itu ada yang di­ta­ngani KPK, ada pula yang di­ta­ngani Bareskrim Mabes Polri.

Dalam kasus alkes yang d­i­tangani Mabes Polri, belum ken­tara betul bagaimana peran Siti, kendati dia telah ditetapkan se­bagai tersangka. Sedangkan da­lam kasus alkes yang ditangani KPK, dugaan keterlibatan Siti lebih jelas, meski dia masih ber­status saksi.

Dalam kasus alkes dengan ter­dakwa bekas Kepala Pusat Pe­nang­gulan Krisis Kementerian Ke­sehatan Rustam Syarifuddin Pakaya yang ditangani KPK dan te­lah bergulir ke Pengadilan Tipi­kor Jakarta, jaksa penuntut umum (JPU) KPK meminta orang-orang yang terkait perkara ini untuk me­ngembalikan dana yang pernah mereka terima.

Bahkan, JPU me­ngancam akan mengeksekusi pak­sa aset itu jika orang-orang ter­sebut tak mau mengem­ba­li­kan­nya ke negara. Hal itu disam­paikan JPU dalam sidang pemba­caan tuntutan ter­hadap Rustam.  

Jaksa Iskandar Marwanto me­nya­takan, nama-nama yang me­nerima aliran dana korupsi ini, ter­cantum dalam surat dakwaan Rus­tam. Dalam dakwaan, jaksa me­nyinggung adanya aliran dana ke bekas Menteri Kesehatan Siti Fa­dilah Supari Rp 1,275 miliar, ELS Ma­ngundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Me­diana Hutomo dan Gu­na­di Soe­kemi Rp 100 juta, Tan Su­hartono Rp 150 juta, Tengku Luck­­man Sinar Rp 25 juta, PT In­do­farma Global Medika Rp 1,763 miliar dan PT Graha Ismaya Rp 15,226 miliar. Rustam pun di­dakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,47 miliar.

Nama-nama tersebut, sam­bung­nya, diminta segera me­ngem­bal­i­kan dana yang terkait per­kara Rus­tam. “Meminta me­m­e­rintah­kan pe­rampasan terha­dap kekayaan atau uang yang di­peroleh dari hasil kejahatan tin­dak pidana korupsi untuk di­kem­ba­li­kan ke kas ne­gara,” ujar Iskandar.

Jaksa memasang target pe­ngem­balian uang tersebut satu bu­lan setelah putusan terhadap Rus­tam berkekuatan hukum tetap. Jika tidak mematuhi hal ini, jaksa tidak segan menyita harta benda mereka.

Jaksa Kiki Yani menambahkan, keputusan penyitaan tersebut, ber­dasarkan keyakinan bahwa aset itu diperoleh terkait perkara Rustam. Apalagi pada tuntu­tan­nya, jaksa menyatakan bahwa tin­dakan terdakwa dilakukan secara sengaja untuk memperkaya diri sen­diri dan orang lain.

Usaha memperoleh dana itu, menurut JPU, diperoleh Rustam dengan cara tidak sah, yakni mengatur proses pengadaan alat penang­gu­langan krisis dengan cara me­ngarahkan pada merk tertentu.

Sebelumnya, kuasa hukum Siti, Yusril Ihza Mahendra me­nyatakan, karena telah menyebut sejumlah orang menerima uang da­lam kasus korupsi alat ke­se­ha­tan, maka JPU harus mem­buk­tikannya.“Buktikan saja, benar atau ti­dak. Kalau tidak bisa di­buktikan, m­e­­re­ka bisa dituntut balik,” kata­nya ke­pada Rakyat Mer­deka.

Ajak KPK Saksikan Gelar Perkara

Agustinus Pohan, Dosen Unpar

Mengenai bolak-baliknya berkas tersangka Siti Fadilah, pe­ngajar hukum pidana Uni­versitas Parahyangan (Unpar) Agustinus Pohan menyarankan kepolisian dan kejaksaan mela­ku­kan gelar perkara bersama.

Gelar perkara ini harus dila­ku­kan secara obyektif, sehingga bisa disimpulkan langkah selan­jutnya, agar status tersangka Siti Fadilah Supari menjadi jelas. “S­ebaiknya dilakukan gelar per­kara yang melibatkan KPK, pegiat anti korupsi, untuk secara obyektif ikut menilai apa yang sesungguhnya menjadi persoa­lan,” sarannya.

Agustinus menyatakan tidak punya informasi mengenai ke­na­pa kasus Siti yang ditangani Mabes Polri dan Kejaksaan Agung tak kunjung dinyatakan leng­kap (P21) berkasnya, se­hing­­ga belum naik ke persi­da­ngan. Namun, dia mem­ban­ding­­kan, dalam kasus penga­da­an alat kesehatan yang di­ta­nga­ni KPK, dugaan keterlibatan Siti sudah tampak, kendati be­kas Menteri Kesehatan itu membantah.

Dugaan itu berdasarkan pada BAP adik Siti, Rosida Endang yang terungkap dalam sidang ter­dakwa bekas Kepala Pusat Penanggulan Krisis Kemen­te­rian Kesehatan Rustam Sya­ri­fud­din Pakaya di Pengadilan Ti­pikor Jakarta. “Tampaknya ada bukti yang cukup tentang aliran dana kepada Ibu Siti,” katanya.

 Tapi, kasus alkes yang di­tangani KPK, tidak bisa begitu saja digunakan sebagai patokan kasus alkes yang ditangani Ba­reskrim Mabes Polri dan Ke­jaksaan Agung. Sehingga, Ma­bes Polri dan Kejaksaan Agung mesti punya sikap tegas sendiri.

“Penyidik harus mengambil keputusan, atau bisa juga JPU yang memutuskan, mengingat perkara ini termasuk high pro­fi­le crime,” ujar Agustinus.

Agustinus menambahkan, tid­ak ada batasan waktu bagi pe­nyidik dan penuntut untuk me­nyatakan berkas seorang ter­s­angka lengkap atau P21 jika me­mang belum rampung. Na­mun, katanya, jika JPU sudah memberikan petunjuk, hen­dak­lah penyidik memenuhinya se­se­gera mungkin.

“Secara hu­kum memang ti­dak ada batasan tentang pra penuntutan. Namun, penyidik bisa memutuskan untuk meng­hentikan penyidikan bila tidak mampu memenuhi petunjuk JPU,” ujar Agustinus.

Memang, kata dia, terkadang sulit menjelaskan ke publik, me­ngapa berkas tersangka lama dinyatakan lengkap (P21), se­bab pihak penyidik dan JPU ti­dak menjelaskan secara rinci pro­ses yang sudah dilalui.

Penyidik Dan Penuntut Mesti Berkoordinasi

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap me­nya­ran­kan penyidik Bareskrim Ma­bes Polri dan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menangani kasus Siti Fa­dilah Supari, agar ber­koor­dinasi dengan tujuan benar-benar me­negakkan hukum. “Ber­koor­di­na­silah, transparanlah,” katanya.

Yahdil juga meminta pim­pi­nan Polri dan Kejaksaan Agung mengawasi penanganan kasus korupsi pengadaan alat ke­se­ha­tan (alkes) ini secara langsung. “Karena sudah empat kali ber­kas itu bolak-balik Mabes Polri-Kejagung, mestinya segera ada upa­ya pengawasan langsung dari pimpinan kepolisian seb­a­gai penyidik dan pimpinan ke­jak­saan sebagai penuntut.”

Bentuk pengawasan lang­sung seperti itu, harap Yahdil, bisa menghasilkan titik temu an­tara kepolisian dan k­ejak­sa­an, sehingga memperjelas po­si­si kasus ini sebenarnya.

“Mereka perlu berkoordinasi. Kalau memang sudah ada bukti dan semua petunjuk telah di­penuhi, silakan sampaikan ke JPU. Sebaliknya, JPU harus terbuka menjelaskan apa saja yang masih kurang. Jangan dibiarkan bolak-balik begitu saja,” ucapnya.

Yahdil menambahkan, pe­nanganan perkara pidana se­ha­rus­nya lebih mudah. “Sebab, je­las apa perbuatannya, apa bukti-buktinya, siapa pelakunya. Ti­dak seperti kasus perdata yang kadang multi tafsir,” tandasnya.

Kejelasan sikap dan proses, lanjut dia, akan membuat posisi sebuah perkara menjadi terang benderang. “Karena itulah, per­lu pengawasan pimpinan lang­sung. Sinkronkan apa yang ku­rang sinkron. Berkoordinasi yang baik, supaya tidak muncul kecurigaan masyarakat, kenapa hanya bolak-balik Polri-Ke­ja­gung,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA