.Tim penyidik Kejaksaan Agung kembali memeriksa saksi kasus korupsi belanja perjalanan dinas dalam negeri Biro Umum Sekretariat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Hampir satu tahun ditangani, kasus ini belum bergulir ke pengadilan.
Hal tersebut disampaikan KeÂpaÂla Pusat Penerangan Hukum KeÂjaksaan Agung, Adi Toegarisman di Gedung Kejaksaan Agung, JaÂkarta, Kamis (27/9). “Dapat diÂinformasikan, tim penyidik KÂeÂjakÂsaan Agung memeriksa tiga saksi kasus korupsi perjalanan dinas fiktif,†kata Adi.
Tiga saksi itu ialah Sulaiman, seÂlaku Kasubag Akuntansi dan Verifikasi KLH, atau pihak yang diÂduga membuat pertangÂgungÂjaÂwaÂban fiktif dan disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kuasa Pengguna Anggaran, serta Kabag Keuangan KLH Amat Syukur selaku Pejabat Pembuat Komitmen I. Tiga saksi itu sebeÂlumnya telah berstatus tersangka. Tapi kali ini, mereka diperiksa sebagai saksi.
Adi memaparkan, pada tahun anggaran 2009, di Biro Umum Sekretariat KLH terdapat DIPA APBN Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan Pagu Rp 9.474.713.000 dengan reaÂlisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi dalam pelaksanaannya, diÂÂduga terdapat kegiatan yang tidak dilaksanakan,†paparnya.
Terkait perkara yang ditaksir merugikan keuangan negara seÂbesar Rp 1,2 miliar ini, Kejaksaan Agung telah meÂmeriksa sekitar 40 saksi. Tiga di antaranya telah ditetapkan seÂbaÂgai tersangka, yakni Sulaiman, Pudji Hastuti dan Amat Syukur. “Saat ini, tim penyidik masih meÂnunggu hasil penghitungan keÂruÂgian negara dari BPK,†ujarnya.
Menurut Sekretaris KemeÂnÂterian Lingkungan Hidup (KLH) Hermin Roosita, perkara dugaan korupsi biaya perjalanan dinas ini muncul setelah Badan Pemeriksa KeÂuangan (BPK) menemukan duÂgaan pelanggaran. Akan tetapi, lanÂjutnya, perkara tersebut seÂbeÂtulÂnya hanya kesalahan administrasi.
Terkadang, kata Hermin, para peÂgawai KLH terpaksa melangÂgar ketentuan administrasi untuk menyesuaikan rute perjalanan diÂnas karena tugas kantor yang mendadak. Misalnya, ketika beÂrangkat dengan tiket Jakarta-MaÂnado, pegawai harus mengubah rute karena tiba-tiba harus berÂtugas ke Gorontalo.
Jika hal seperti itu terjadi, menurut Hermin, pegawai harus menyesuaikan jadwal tugas deÂngan pindah ke maskapai peÂnerÂbangan lain, meski sudah kadung booking. “Tidak ada unsur keseÂngaÂjaan, apalagi untuk memÂperkaya diri sendiri atau orang lain,†tegasnya.
Sebagai catatan, kasus ini suÂdah cukup lama ditangani KeÂjakÂsaan Agung. Kejagung meÂneÂtapkan tiga pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Lingkungan Hidup sebagai tersangka kasus koÂrupsi uang perjalanan dinas ini.
Ketiga tersangka dianggap berÂperan terhadap bocornya dana dan verifikasi laporan perÂtangÂgungjawaban (LPJ) fiktif yang meÂngakibatkan kerugian keÂuangan negara. “Mereka diteÂtapÂkan sebagai tersangka, tapi tidak ditahan,†kata Kepala Pusat PeÂneÂrangan Hukum Kejagung wakÂtu itu, Noor Rochmad di Gedung Kejaksaan Agung, pada Jumat, 21 Oktober 2011.
Tiga pegawai negeri itu adalah Kepala Bagian Keuangan Biro Umum Kementerian Lingkungan Hidup Amat Sukur, Kepala Sub Bagian Verifikasi Biro Umum KLH Sulaiman dan bekas Asisten Departemen Kelembagaan LingÂkuÂngan Hidup Deputi 2 Biro Umum KLH Puji Hastuti. MeÂreka disangka melanggar Pasal 2 dan 3 Undang Undang PemÂberantasan Tindak Pidana KoÂrupsi (UU Tipikor).
Menurut Noor, modus opeÂrandi para tersangka itu adalah meÂmalsukan LPJ dan meÂnenÂtuÂkan besaran tarif perjalanan dinas tidak sesuai fakta. Apalagi, pÂeÂngeÂlolaan dana perjalanan dinas diatur seÂcara otonom di setiap saÂtuan kerja (satker). Namun, kebiÂjakan otoÂnom itu justru meÂngaÂkibatkan peÂnyimpangan pengÂgunaan anÂgÂgaÂran negara. Ujung-ujungnya, terÂjadi kerugian keÂuangan negara.
Bekas Kepala Kejaksaan TingÂgi Gorontalo itu menambahkan, Amat Sukur ditetapkan sebagai terÂsangka karena dia yang menÂcairkan dana. Sedangkan SuÂlaeÂman berperan dalam memÂvÂeÂriÂfiÂkasi LPJ perjalanan dinas.
Reka Ulang
Jadi Tersangka Sejak Awal Oktober 2011
Proses penyidikan terhadap tiga tersangka kasus ini sudah diÂmulai pada Oktober tahun lalu. Lebih dari 40 saksi sudah diÂpeÂriksa penyidik Kejaksaan Agung terkait dugaan biaya perjalanan dinas fiktif tahun 2009 pada KeÂmenterian Lingkungan Hidup (KLH). Tapi, Bagian Penyidikan belum melimpahkan perkara ini ke Bagian Penuntutan.
Kepala Pusat Penerangan HuÂkum Kejaksaan Agung Adi ToeÂgaÂrisman beralasan, proses peÂnguÂsutan perkara ini masih berÂlangsung. Selain, karena belum diperoleh hasil audit Badan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK) meÂngeÂnai jumlah kerugian negara yang pasti, penyidik juga masih mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus tersebut.
“Kami telah meminta BPK unÂtuk menghitung kerugian negara dalam kasus ini. Hingga saat ini, kami masih menunggu hasil pengÂhitungan dari BPK terseÂbut,†katanya di Gedung KeÂjakÂsaan Agung, Jalan Sultan HaÂsaÂnuddin, Jakarta Selatan pada JuÂmat, 20 Juli lalu.
Dia menambahkan, penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung masih mendalami kasus tersebut untuk memperkuat bukti-bukti daÂlam pemberkasan. “Telah dipeÂriÂksa sekitar 40 orang saksi. KeÂmuÂdian, sudah dilakukan tindaÂkan hukum berupa penyitaan terÂhadap dokumen-dokumen SPPD dan bukti-bukti peÂrÂtangÂgungÂjaÂwaÂban yang diduga fiktif,†kata Adi.
Kasus ini terjadi pada tahun anggaran 2009 di Biro Umum Sekretariat Kementerian LingÂkuÂngan Hidup terhadap DIPA APBN Belanja Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan pagu Rp 9.474.713.000 dengan reaÂlisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi, dalam pelaksanaannya, pada pengeluaran atau belanja perjalanan dinas tersebut terdapat kegiatan yang tidak dilakÂsaÂnaÂkan,†jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, Kepala Sub Bagian Akuntansi dan VeriÂfikasi Kementerian Lingkungan Hidup Sulaeman disangka memÂbuat pertanggungjawaban fiktif yang seolah-olah terjadi peÂngeÂluaÂran anggaran. Perbuatan SuÂlaeÂman dalam membuat peÂrÂtangÂgungjawaban fiktif tersebut, lanÂjutnya, diduga disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kuasa Pengguna Anggaran dan Kepala Bagian Keuangan KLH Amat Syukur selaku Pejabat Pembuat Komitmen I. “Kerugian keuangan negara yang ditimÂbuÂlkan akibat perbuatan mereka diduga sekitar 1,2 miliar rupiah,†kata Adi.
Perkara tindak pidana korupsi ini sudah memasuki tahap peÂnyidikan pada bulan Oktober 2011. Akan tetapi, tiga tersangka kasus tersebut tidak ditahan.
Penyidik Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga tersangka kasus ini. Pertama, bekas Kepala Biro Asdep Kelembagaan LingÂkungan Deputi 7 Pudji Astuti, berÂdasarkan Surat Perintah PeÂnyiÂdikan Nomor: Print-132/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.
Kedua, Sulaeman, Kasubbag Verifikasi pada bagian Keuangan Biro Umum KLH berdasarkan SuÂrat Perintah Penyidikan NoÂmor: Print-133/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011. Ketiga, Amat Syukur, Inspektur KeÂuangan KLH (Bekas Kabag KeÂuangan pada Biro Umum KLH) berdasarkan Surat Perintah PeÂnyidikan Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.
Mesti Diusut Sampai Tuntas
Harry Witjaksono, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksono mengatakan, pihaknya akan terus menerus memÂpertanyakan kinerja apaÂrat hukum dalam penguÂsuÂtan kasus korupsi.
Terkait penanganan kasus korupsi perjalanan dinas pada KeÂmenterian Lingkungan HiÂdup (KLH) ini, kata Harry, keÂjakÂsaan juga harus menjelaskan. “Nanti kita tanyakan dalam RDP dengan Kejaksaan Agung,†ujarnya.
Apapun masalah korupsi, lanjut politisi Partai Demokrat ini, mesti diselesaikan dan diÂusut sampai tuntas. “Kalau meÂreka lamban menyelesaikan perÂkara, akan menjadi pertaÂnyaÂan. Ada apa dengan proses yang mereka lakukan?†ujar Harry.
Menurut dia, aparat penegak huÂkum kerap tidak concern melakukan proses pengusutan perkara, sehingga banyak perÂkara yang menggantung dan lamban. “Apakah kurang bukti? Itu harus dijelaskan. KelÂangÂsungan penanganan perkara haÂrus konsern dan konsiten, dan itu menjadi bagian tugas berÂsama,†ujarnya.
Meskipun secara parsial tamÂpak ada perbaikan, menurut Harry, perilaku internal KejakÂsaan Agung belum banyak beÂruÂbah. “Kejagung sudah ada peÂruÂbahan dalam penanganan koÂrupsi. Tapi bagaimanapun maÂsih ada yang kurang. Karena ituÂlah, KPK masih dibuÂtuhÂkan,†ujarnya. Dia meminta, aparat penegak hukum serius menuntaskan kasus apapun.
“Sehingga, mereka berperan benar-benar sebagai aparat peÂnegak hukum. Bisakah KeÂjagÂung seperti KPK?†ucapnya.
Menurut anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago, dugaan korupsi biaya perjalanan dinas di KLH ini, semestinya bisa ceÂpat diselesaikan karena polanya sama saja dengan departemen yang lain. “Maka apabila kejakÂsaan sudah menangani kasus serupa di departemen lain, tentu kasus di KLH bisa diselesaikan dengan cepat, kita sangat meÂnyaÂyangkan pola kerja kejakÂsaÂan yang lambat,†ujarnya.
Sejatinya, nilai Taslim, perÂkaÂra dugaan korupsi biaya perÂjaÂlan dinas ini, bukanlah kasus yang rumit. Lantaran itu, dia heran, kenapa Kejaksaan Agung tidak kunjung memÂbawa para tersangka kasus ini ke PengaÂdilan Tipikor.
Lantaran itu, dia meminta Kejaksaan Agung segera memÂbawa para tersangka kasus ini ke pengadilan. Sehingga, kasus korupsi ini tidak mandeg atau mangkrak. “Kasus ini harus seÂgera dituntaskan kejaksaan, suÂpaya ada efek jera. Agar kasus serupa tidak terjadi lagi di KLH dan kementerian lainnya,†ujar Taslim.
Pengusutan Kerap Tidak Serius
Agustinus Pohan, Pengamat Hukum
Pengajar Hukum Unpar Agustinus Pohan menyamÂpaiÂkan, modus korupsi dengan cara mark up biaya perjalanan dinas, sudah tidak asing. Akan tetapi, peÂngusutannya kerap tidak seÂrius. Padahal, yang dirugikan tetap keuangan negara.
“Paling tidak kita tidak asing dengan korupsi berkaitan deÂngan anggaran perjalanan diÂnas. Saya kira hal ini antara lain kaÂrena ada peluang untuk meÂÂmaÂnipulasi penggunaan angÂÂgaran. Selain itu, sudah menjadi raÂhaÂsia umum bahwa hal seÂmaÂcam itu kerap dilaÂkuÂkan di berÂbagai instansi peÂmeÂrinÂtahan,†jelas Agustinus.
Dia mengatakan, sebaiknya aparat penegak hukum serius juga mengusut perkara ini. Bila tidak diusut serius, penegak huÂkum akan tetap dipertanyakan kinerjanya. “Mengenai belum naik ke penuntutan, saya tidak ada informasi mengenai peÂnyeÂbabÂnya. Serba aneh,†ujarnya.
Bila tak segera naik ke peÂnunÂtutan, kata Agustinus, maka perlu upaya serius mengawasi kinerja penyidik dan penuntut. “Siapakah penyidiknya? Bila kejaksaan, maka ini salah satu kelemahan bila penyidik dan peÂnuntut dari instansi yang sama, sehingga tidak ada peÂngaÂwasan,†ujarnya.
Bila kasus ini disidik kepoÂliÂsian, lanjut dia, maka seÂpaÂtutÂnya kejaksaan memÂperÂtaÂnyaÂkan keterlambatan tersebut. “HaÂrus saling mengawasi, dan beÂkerja dengan serius agar setiap perkara diproses secara adil samÂpai ke pengadilan,†ujarnya.
Pengamat hukum Yenti GarÂnasih sangat menyayangkan proses pengusutan perkara duÂgaan korupsi perjalanan dinas fiktif tahun anggaran 2009 pada KLH ini, tidak kunjung naik ke proses penuntutan.
“Entah keÂnaÂpa banyak peÂrÂkara korupsi yang mengambang di kejakÂsaan. Apakah karena tiÂdak cuÂkup bukti saat akan meÂneÂrapkan pasal. Atau ada hal lain di luar masalah teknis seÂperti itu,†kata Yenti.
Menurutnya, proses hukum yang tampak setengah hati seÂperti itu, tidak akan bisa memÂbuat InÂdonesia menjadi baik. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: