Hampir Setahun, 3 Tersangka Kasus KLH Tidak Disidang

Perkara Korupsi Biaya Perjalanan Dinas Dalam Negeri

Minggu, 30 September 2012, 09:01 WIB
Hampir Setahun, 3 Tersangka Kasus KLH Tidak Disidang
ilustrasi, korupsi
rmol news logo .Tim penyidik Kejaksaan Agung kembali memeriksa saksi kasus korupsi belanja perjalanan dinas dalam negeri Biro Umum Sekretariat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Hampir satu tahun ditangani, kasus ini belum bergulir ke pengadilan.

Hal tersebut disampaikan Ke­pa­la Pusat Penerangan Hukum Ke­jaksaan Agung, Adi Toegarisman di Gedung Kejaksaan Agung, Ja­karta, Kamis (27/9). “Dapat di­informasikan, tim penyidik K­e­jak­saan Agung memeriksa tiga saksi kasus korupsi perjalanan dinas fiktif,” kata Adi.

Tiga saksi itu ialah Sulaiman, se­laku Kasubag Akuntansi dan Verifikasi KLH, atau pihak yang di­duga membuat pertang­gung­ja­wa­ban fiktif dan disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kuasa Pengguna Anggaran, serta Kabag Keuangan KLH Amat Syukur selaku Pejabat Pembuat Komitmen I. Tiga saksi itu sebe­lumnya telah berstatus tersangka. Tapi kali ini, mereka diperiksa sebagai saksi.

Adi memaparkan, pada tahun anggaran 2009, di Biro Umum Sekretariat KLH terdapat DIPA APBN Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan Pagu Rp 9.474.713.000 dengan rea­lisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi dalam pelaksanaannya, di­­duga terdapat kegiatan yang tidak dilaksanakan,” paparnya.

Terkait perkara yang ditaksir merugikan keuangan negara se­besar Rp 1,2 miliar ini, Kejaksaan Agung telah me­meriksa sekitar 40 saksi. Tiga di­ antaranya telah ditetapkan se­ba­gai tersangka, yakni Sulaiman, Pudji Hastuti dan Amat Syukur. “Saat ini, tim penyidik masih me­nunggu hasil penghitungan ke­ru­gian negara dari BPK,” ujarnya.

Menurut Sekretaris Keme­n­terian Lingkungan Hidup (KLH) Hermin Roosita, perkara dugaan korupsi biaya perjalanan dinas ini muncul setelah Badan Pemeriksa Ke­uangan (BPK) menemukan du­gaan pelanggaran. Akan tetapi, lan­jutnya, perkara tersebut se­be­tul­nya hanya kesalahan administrasi.

 Terkadang, kata Hermin, para pe­gawai KLH terpaksa melang­gar ketentuan administrasi untuk menyesuaikan rute perjalanan di­nas karena tugas kantor yang mendadak. Misalnya, ketika be­rangkat dengan tiket Jakarta-Ma­nado, pegawai harus mengubah rute karena tiba-tiba harus ber­tugas ke Gorontalo.

 Jika hal seperti itu terjadi, menurut Hermin, pegawai harus menyesuaikan jadwal tugas de­ngan pindah ke maskapai pe­ner­bangan lain, meski sudah kadung booking. “Tidak ada unsur kese­nga­jaan, apalagi untuk mem­perkaya diri sendiri atau orang lain,” tegasnya.

Sebagai catatan, kasus ini su­dah cukup lama ditangani Ke­jak­saan Agung. Kejagung me­ne­tapkan tiga pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Lingkungan Hidup sebagai tersangka kasus ko­rupsi uang perjalanan dinas ini.

Ketiga tersangka dianggap ber­peran terhadap bocornya dana dan verifikasi laporan per­tang­gungjawaban (LPJ) fiktif yang me­ngakibatkan kerugian ke­uangan negara. “Mereka dite­tap­kan sebagai tersangka, tapi tidak ditahan,” kata Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum Kejagung wak­tu itu, Noor Rochmad di Gedung Kejaksaan Agung, pada Jumat, 21 Oktober 2011.

 Tiga pegawai negeri itu adalah Kepala Bagian Keuangan Biro Umum Kementerian Lingkungan Hidup Amat Sukur, Kepala Sub Bagian Verifikasi Biro Umum KLH Sulaiman dan bekas Asisten Departemen Kelembagaan Ling­ku­ngan Hidup Deputi 2 Biro Umum KLH Puji Hastuti. Me­reka disangka melanggar Pasal 2 dan 3 Undang Undang Pem­berantasan Tindak Pidana Ko­rupsi (UU Tipikor).

Menurut Noor, modus ope­randi para tersangka itu adalah me­malsukan LPJ dan me­nen­tu­kan besaran tarif perjalanan dinas tidak sesuai fakta. Apalagi, p­e­nge­lolaan dana perjalanan dinas diatur se­cara otonom di setiap sa­tuan kerja (satker). Namun, kebi­jakan oto­nom itu justru me­nga­kibatkan pe­nyimpangan peng­gunaan an­g­ga­ran negara. Ujung-ujungnya, ter­jadi kerugian ke­uangan negara.

Bekas Kepala Kejaksaan Ting­gi Gorontalo itu menambahkan, Amat Sukur ditetapkan sebagai ter­sangka karena dia yang men­cairkan dana. Sedangkan Su­lae­man berperan dalam mem­v­e­ri­fi­kasi LPJ perjalanan dinas.

Reka Ulang

Jadi Tersangka Sejak Awal Oktober 2011

Proses penyidikan terhadap tiga tersangka kasus ini sudah di­mulai pada Oktober tahun lalu. Lebih dari 40 saksi sudah di­pe­riksa penyidik Kejaksaan Agung terkait dugaan biaya perjalanan dinas fiktif tahun 2009 pada Ke­menterian Lingkungan Hidup (KLH). Tapi, Bagian Penyidikan belum melimpahkan perkara ini ke Bagian Penuntutan.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Adi Toe­ga­risman beralasan, proses pe­ngu­sutan perkara ini masih ber­langsung. Selain, karena belum diperoleh hasil audit Badan Pe­me­riksa Keuangan (BPK) me­nge­nai jumlah kerugian negara yang pasti, penyidik juga masih mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus tersebut.

“Kami telah meminta BPK un­tuk menghitung kerugian negara dalam kasus ini. Hingga saat ini, kami masih menunggu hasil peng­hitungan dari BPK terse­but,” katanya di Gedung Ke­jak­saan Agung, Jalan Sultan Ha­sa­nuddin, Jakarta Selatan pada Ju­mat, 20 Juli lalu.

Dia menambahkan, penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung masih mendalami kasus tersebut untuk memperkuat bukti-bukti da­lam pemberkasan. “Telah dipe­ri­ksa sekitar 40 orang saksi. Ke­mu­dian, sudah dilakukan tinda­kan hukum berupa penyitaan ter­hadap dokumen-dokumen SPPD dan bukti-bukti pe­r­tang­gung­ja­wa­ban yang diduga fiktif,” kata Adi.

Kasus ini terjadi pada tahun anggaran 2009 di Biro Umum Sekretariat Kementerian Ling­ku­ngan Hidup terhadap DIPA APBN Belanja Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan pagu Rp 9.474.713.000 dengan rea­lisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi, dalam pelaksanaannya, pada pengeluaran atau belanja perjalanan dinas tersebut terdapat kegiatan yang tidak dilak­sa­na­kan,” jelasnya.

Kemudian, lanjutnya, Kepala Sub Bagian Akuntansi dan Veri­fikasi Kementerian Lingkungan Hidup Sulaeman disangka mem­buat pertanggungjawaban fiktif yang seolah-olah terjadi pe­nge­lua­ran anggaran. Perbuatan Su­lae­man dalam membuat pe­r­tang­gungjawaban fiktif tersebut, lan­jutnya, diduga disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kuasa Pengguna Anggaran dan Kepala Bagian Keuangan KLH Amat Syukur selaku Pejabat Pembuat Komitmen I. “Kerugian keuangan negara yang ditim­bu­lkan akibat perbuatan mereka diduga sekitar 1,2 miliar rupiah,” kata Adi.

Perkara tindak pidana korupsi ini sudah memasuki tahap pe­nyidikan pada bulan Oktober 2011. Akan tetapi, tiga tersangka kasus tersebut tidak ditahan.

Penyidik Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga tersangka kasus ini. Pertama, bekas Kepala Biro Asdep Kelembagaan Ling­kungan Deputi 7 Pudji Astuti, ber­dasarkan Surat Perintah Pe­nyi­dikan Nomor: Print-132/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.

Kedua, Sulaeman, Kasubbag Verifikasi pada bagian Keuangan Biro Umum KLH  berdasarkan Su­rat Perintah Penyidikan No­mor: Print-133/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011. Ketiga, Amat Syukur, Inspektur Ke­uangan KLH (Bekas Kabag Ke­uangan pada Biro Umum KLH) berdasarkan Surat Perintah Pe­nyidikan Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.

Mesti Diusut Sampai Tuntas

Harry Witjaksono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksono mengatakan, pihaknya akan terus menerus mem­pertanyakan kinerja apa­rat hukum dalam pengu­su­tan kasus korupsi.

Terkait penanganan kasus korupsi perjalanan dinas pada Ke­menterian Lingkungan Hi­dup (KLH) ini, kata Harry, ke­jak­saan juga harus menjelaskan. “Nanti kita tanyakan dalam RDP dengan Kejaksaan Agung,” ujarnya.

Apapun masalah korupsi, lanjut politisi Partai Demokrat ini, mesti diselesaikan dan di­usut sampai tuntas. “Kalau me­reka lamban menyelesaikan per­kara, akan menjadi perta­nya­an. Ada apa dengan proses yang mereka lakukan?” ujar Harry.

Menurut dia, aparat penegak hu­kum kerap tidak concern melakukan proses pengusutan perkara, sehingga banyak per­kara yang menggantung dan lamban. “Apakah kurang bukti? Itu harus dijelaskan. Kel­ang­sungan penanganan perkara ha­rus konsern dan konsiten, dan itu menjadi bagian tugas ber­sama,” ujarnya.

Meskipun secara parsial tam­pak ada perbaikan, menurut Harry, perilaku internal Kejak­saan Agung belum banyak be­ru­bah. “Kejagung sudah ada pe­ru­bahan dalam penanganan ko­rupsi. Tapi bagaimanapun ma­sih ada yang kurang. Karena itu­lah, KPK masih dibu­tuh­kan,” ujarnya. Dia meminta, aparat penegak hukum serius menuntaskan kasus apapun.

“Sehingga, mereka berperan benar-benar sebagai aparat pe­negak hukum. Bisakah Ke­jag­ung seperti KPK?” ucapnya.

Menurut anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago, dugaan korupsi biaya perjalanan dinas di KLH ini, semestinya bisa ce­pat diselesaikan karena polanya sama saja dengan departemen yang lain. “Maka apabila kejak­saan sudah menangani kasus serupa di departemen lain, tentu kasus di KLH bisa diselesaikan dengan cepat, kita sangat me­nya­yangkan pola kerja kejak­sa­an yang lambat,” ujarnya.

Sejatinya, nilai Taslim, per­ka­ra dugaan korupsi biaya per­ja­lan dinas ini, bukanlah kasus yang rumit. Lantaran itu, dia heran, kenapa Kejaksaan Agung tidak kunjung mem­bawa para tersangka kasus ini ke Penga­dilan Tipikor.

Lantaran itu, dia meminta Kejaksaan Agung segera mem­bawa para tersangka kasus ini ke pengadilan. Sehingga, kasus korupsi ini tidak mandeg atau mangkrak. “Kasus ini harus se­gera dituntaskan kejaksaan, su­paya ada efek jera. Agar kasus serupa tidak terjadi lagi di KLH dan kementerian lainnya,” ujar Taslim.

Pengusutan Kerap Tidak Serius

Agustinus Pohan, Pengamat Hukum

Pengajar Hukum Unpar Agustinus Pohan menyam­pai­kan, modus korupsi dengan cara mark up biaya perjalanan dinas, sudah tidak asing. Akan tetapi, pe­ngusutannya kerap tidak se­rius. Padahal, yang dirugikan tetap keuangan negara.

“Paling tidak kita tidak asing dengan korupsi berkaitan de­ngan anggaran perjalanan di­nas. Saya kira hal ini antara lain ka­rena ada peluang untuk me­­ma­nipulasi penggunaan ang­­garan. Selain itu, sudah menjadi ra­ha­sia umum bahwa hal se­ma­cam itu kerap dila­ku­kan di ber­bagai instansi pe­me­rin­tahan,” jelas Agustinus.

Dia mengatakan, sebaiknya aparat penegak hukum serius juga mengusut perkara ini. Bila tidak diusut serius, penegak hu­kum akan tetap dipertanyakan kinerjanya. “Mengenai belum naik ke penuntutan, saya tidak ada informasi mengenai pe­nye­bab­nya. Serba aneh,” ujarnya.

Bila tak segera naik ke pe­nun­tutan, kata Agustinus, maka perlu upaya serius mengawasi kinerja penyidik dan penuntut. “Siapakah penyidiknya? Bila kejaksaan, maka ini salah satu kelemahan bila penyidik dan pe­nuntut dari instansi yang sama, sehingga tidak ada pe­nga­wasan,” ujarnya.

Bila kasus ini disidik kepo­li­sian, lanjut dia, maka se­pa­tut­nya kejaksaan mem­per­ta­nya­kan keterlambatan tersebut. “Ha­rus saling mengawasi, dan be­kerja dengan serius agar setiap perkara diproses secara adil sam­pai ke pengadilan,” ujarnya.

Pengamat hukum Yenti Gar­nasih sangat menyayangkan proses pengusutan perkara du­gaan korupsi perjalanan dinas fiktif tahun anggaran 2009 pada KLH ini, tidak kunjung naik ke proses penuntutan.

“Entah ke­na­pa banyak pe­r­kara korupsi yang mengambang di kejak­saan. Apakah karena ti­dak cu­kup bukti saat akan me­ne­rapkan pasal. Atau ada hal lain di luar masalah teknis se­perti itu,” kata Yenti.

Menurutnya, proses hukum yang tampak setengah hati se­perti itu, tidak akan bisa mem­buat In­donesia menjadi baik. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA