Tri Handoyo: Kenaikan Tarif Kereta Api Demi Keselamatan Penumpang

Minggu, 30 September 2012, 08:32 WIB
Tri Handoyo: Kenaikan Tarif Kereta Api Demi Keselamatan Penumpang
Tri Handoyo
rmol news logo .Besok, kalau tidak ada aral melintang,  tarif kereta api naik sebesar Rp 2.000 di enam rute. Padahal, ini sangat memberatkan rakyat.

Apalagi pelayanannya juga be­lum memuaskan.  Seharusnya di­benahi dulu kekurangannya. Se­bab, rakyat mendambakan ang­kutan umum yang aman dan nyaman. Sudah penat mengha­da­pi kemacetan lalu lintas yang kian runyam.

Rakyat kecil seakan tak punya pi­lihan, selain menggunakan ke­re­ta api meski harga tiket naik di enam rute. Yakni,  Bogor - Jakarta Ko­ta/Ja­tinegara dari Rp 7.000 menjadi Rp 9.000, Bogor - Depok dari Rp 6.000 menjadi Rp8.000, De­pok-Jakarta Ko­ta/Jatinegara dari Rp 6.000 menjadi Rp 8.000,  Bekasi-Jakarta Kota dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500,  Tangerang - Duri dari Rp 5.500  men­jadi Rp 7.500, dan Pa­rung Panjang/Ser­pong - Tanah Abang dari Rp 6.000 menjadi Rp 8.000.

Menanggapi hal itu, Direktur Keuangan KRL Jabodetabek, Tri Handoyo mengatakan, menaik­kan tarif KRL sudah berdasarkan kajian bersama dengan Univer­sitas Indonesia.

‘’Ini terkait biaya mengopera­sikan tiap perjalanan KRL, me­ra­­wat sarana dan prasarana KRL, serta biaya untuk SDM. Itu se­­mua harus kami tanggung. Un­tuk pengoperasian KRL AC ti­dak ada subsidi dari pemerin­tah,’’ papar Tri Handoyo kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa ngotot menaikkan tarif, padahal pelayanannya belum memuaskan?

 Saya mau bicara dulu yang su­dah kami lakukan. Dari 2008 ka­mi banyak berinvestasi. Mi­sal­nya mengeluarkan Rp 300 mi­liar un­tuk beli kereta.  Me­nam­bah KRL dari 386 unit di akhir 2008 men­jadi 654 unit per Sep­tember 2012 ini.

Sebanyak 482 di antaranya unit KRL AC. Itu pun belum mencu­kupi. Diperkirakan 2019 nanti bu­tuh minimal 1.440 unit KRL AC. Ini berarti masih perlu 958 unit KRL AC lagi.

Jumlah kereta dengan jum­lah penumpang tidak seban­ding?

Tujuan utama KRL sebagai sa­rana transportasi publik memang untuk mengangkut sebanyak-banyaknya penumpang. Tapi me­lonjaknya jumlah penumpang membuat kami kewalahan. Vo­lume penumpang tahun 2010 men­capai 350.000 penumpang per hari. Saat ini melonjak jadi 450 ribu penumpang per hari. Ta­hun 2019 diperhitungkan 1,2 juta penumpang per hari.

Bayangkan jika kita tidak nam­bah jumlah kereta dan perjalanan sejak tahun 2010, apa jadinya pe­numpang KRL hari ini. Sudah pas­ti tidak terangkut. Padahal har­ga keretanya saja Rp 1 miliar per unit. Belum biaya operasio­nal­nya.

Tapi kenapa dinaikkan Rp 2.000, kenapa tidak Rp 500 atau 1.000 saja?

Biaya KRL AC Rp 7.000 per pe­numpang untuk jarak terjauh Bo­gor-Jakarta ini bisa ada karena dihapuskannya  dua moda KRL AC sebelumnya, yaitu KRL Eks­press AC yang hanya berhenti di stasiun tertentu yang harganya Rp 11.000 dan KRL Ekonomi AC yang harganya Rp 5.500 per pe­numpang untuk jarak yang sama.

Sekarang kami menerapkan single operation karena semua orang dari semua stasiun berhak naik KRL AC. Kami coba ber­operasi dengan biaya hanya Rp 7.000 per penumpang untuk jarak terjauh Bogor-Jakarta. Namun saat ini, biaya operasional KRL per perjalanan untuk jarak yang sama sudah mencapai Rp 10.700 per penumpang. Artinya, harga tiket yang sekarang berlaku ini jauh di bawah ongkos operasional kami. Ini tentu mempersulit kami untuk dapat melayani penum­pang dengan lebih baik.

Apa menaikkan tarif satu-satunya solusi?

Tingginya tuntutan yang kami ha­dapi untuk melayani lonjakan penumpang dengan tetap mem­perhatikan standar keselamatan dan keamanan penumpang, serta kelayakan operasional membuat tarif KRL AC terpaksa disesuai­kan sebesar Rp 2.000 untuk setiap perjalanan. Rencananya penye­sua­ian tarif tersebut berlaku mu­lai 1 Oktober ini.

Kenaikan itu hanya berlaku un­tuk KRL AC. Sedangkan KRL Eko­­nomi (Non AC) yang disub­sidi Pemerintah tetap beroperasi de­ngan biaya Rp2.000 per per­ja­lanan untuk jarak terjauh Bo­gor-Jakarta.

Menaikkan tarif sungguh tidak populis di mata rakyat, kenapa tetap dilakukan?

Penetapan harga itu sudah berdasarkan analisa Ability To Pay dan Willingness To Pay dari masyarakat pengguna KRL yang kajiannya dilakukan Universitas Indonesia. Kenaikan tarif ini, demi tidak mengorbankan kesela­matan penumpang. Total persen­tase keterlambatan yang tercer­min dalam grafik pembatalan ke­berangkatan KRL pun sudah tu­run dari 5,07  persen di tahun 2009 menjadi hanya 0,44 persen  dari total 130 ribu perjalanan KRL dari Januari sampai Agustus tahun ini.

Kami paham pelayanan kami memang belum sempurna. Tapi, adakah moda transportasi alter­natif lain yang lebih tepat waktu dan lebih murah dari KRL. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA