.Besok, kalau tidak ada aral melintang, tarif kereta api naik sebesar Rp 2.000 di enam rute. Padahal, ini sangat memberatkan rakyat.
Apalagi pelayanannya juga beÂlum memuaskan. Seharusnya diÂbenahi dulu kekurangannya. SeÂbab, rakyat mendambakan angÂkutan umum yang aman dan nyaman. Sudah penat menghaÂdaÂpi kemacetan lalu lintas yang kian runyam.
Rakyat kecil seakan tak punya piÂlihan, selain menggunakan keÂreÂta api meski harga tiket naik di enam rute. Yakni, Bogor - Jakarta KoÂta/JaÂtinegara dari Rp 7.000 menjadi Rp 9.000, Bogor - Depok dari Rp 6.000 menjadi Rp8.000, DeÂpok-Jakarta KoÂta/Jatinegara dari Rp 6.000 menjadi Rp 8.000, Bekasi-Jakarta Kota dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500, Tangerang - Duri dari Rp 5.500 menÂjadi Rp 7.500, dan PaÂrung Panjang/SerÂpong - Tanah Abang dari Rp 6.000 menjadi Rp 8.000.
Menanggapi hal itu, Direktur Keuangan KRL Jabodetabek, Tri Handoyo mengatakan, menaikÂkan tarif KRL sudah berdasarkan kajian bersama dengan UniverÂsitas Indonesia.
‘’Ini terkait biaya mengoperaÂsikan tiap perjalanan KRL, meÂraÂÂwat sarana dan prasarana KRL, serta biaya untuk SDM. Itu seÂÂmua harus kami tanggung. UnÂtuk pengoperasian KRL AC tiÂdak ada subsidi dari pemerinÂtah,’’ papar Tri Handoyo kepada Rakyat MerÂdeka, di Jakarta.
Berikut kutipan selengkapnya:
Kenapa ngotot menaikkan tarif, padahal pelayanannya belum memuaskan?
Saya mau bicara dulu yang suÂdah kami lakukan. Dari 2008 kaÂmi banyak berinvestasi. MiÂsalÂnya mengeluarkan Rp 300 miÂliar unÂtuk beli kereta. MeÂnamÂbah KRL dari 386 unit di akhir 2008 menÂjadi 654 unit per SepÂtember 2012 ini.
Sebanyak 482 di antaranya unit KRL AC. Itu pun belum mencuÂkupi. Diperkirakan 2019 nanti buÂtuh minimal 1.440 unit KRL AC. Ini berarti masih perlu 958 unit KRL AC lagi.
Jumlah kereta dengan jumÂlah penumpang tidak sebanÂding?
Tujuan utama KRL sebagai saÂrana transportasi publik memang untuk mengangkut sebanyak-banyaknya penumpang. Tapi meÂlonjaknya jumlah penumpang membuat kami kewalahan. VoÂlume penumpang tahun 2010 menÂcapai 350.000 penumpang per hari. Saat ini melonjak jadi 450 ribu penumpang per hari. TaÂhun 2019 diperhitungkan 1,2 juta penumpang per hari.
Bayangkan jika kita tidak namÂbah jumlah kereta dan perjalanan sejak tahun 2010, apa jadinya peÂnumpang KRL hari ini. Sudah pasÂti tidak terangkut. Padahal harÂga keretanya saja Rp 1 miliar per unit. Belum biaya operasioÂnalÂnya.
Tapi kenapa dinaikkan Rp 2.000, kenapa tidak Rp 500 atau 1.000 saja?
Biaya KRL AC Rp 7.000 per peÂnumpang untuk jarak terjauh BoÂgor-Jakarta ini bisa ada karena dihapuskannya dua moda KRL AC sebelumnya, yaitu KRL EksÂpress AC yang hanya berhenti di stasiun tertentu yang harganya Rp 11.000 dan KRL Ekonomi AC yang harganya Rp 5.500 per peÂnumpang untuk jarak yang sama.
Sekarang kami menerapkan single operation karena semua orang dari semua stasiun berhak naik KRL AC. Kami coba berÂoperasi dengan biaya hanya Rp 7.000 per penumpang untuk jarak terjauh Bogor-Jakarta. Namun saat ini, biaya operasional KRL per perjalanan untuk jarak yang sama sudah mencapai Rp 10.700 per penumpang. Artinya, harga tiket yang sekarang berlaku ini jauh di bawah ongkos operasional kami. Ini tentu mempersulit kami untuk dapat melayani penumÂpang dengan lebih baik.
Apa menaikkan tarif satu-satunya solusi?
Tingginya tuntutan yang kami haÂdapi untuk melayani lonjakan penumpang dengan tetap memÂperhatikan standar keselamatan dan keamanan penumpang, serta kelayakan operasional membuat tarif KRL AC terpaksa disesuaiÂkan sebesar Rp 2.000 untuk setiap perjalanan. Rencananya penyeÂsuaÂian tarif tersebut berlaku muÂlai 1 Oktober ini.
Kenaikan itu hanya berlaku unÂtuk KRL AC. Sedangkan KRL EkoÂÂnomi (Non AC) yang disubÂsidi Pemerintah tetap beroperasi deÂngan biaya Rp2.000 per perÂjaÂlanan untuk jarak terjauh BoÂgor-Jakarta.
Menaikkan tarif sungguh tidak populis di mata rakyat, kenapa tetap dilakukan?
Penetapan harga itu sudah berdasarkan analisa Ability To Pay dan Willingness To Pay dari masyarakat pengguna KRL yang kajiannya dilakukan Universitas Indonesia. Kenaikan tarif ini, demi tidak mengorbankan keselaÂmatan penumpang. Total persenÂtase keterlambatan yang tercerÂmin dalam grafik pembatalan keÂberangkatan KRL pun sudah tuÂrun dari 5,07 persen di tahun 2009 menjadi hanya 0,44 persen dari total 130 ribu perjalanan KRL dari Januari sampai Agustus tahun ini.
Kami paham pelayanan kami memang belum sempurna. Tapi, adakah moda transportasi alterÂnatif lain yang lebih tepat waktu dan lebih murah dari KRL. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: