Prof Eddy OS Hiariej: Rebutan Perkara Terjadi Gara-gara Rivalitas Institusi

Sabtu, 22 September 2012, 08:58 WIB
Prof Eddy OS Hiariej: Rebutan Perkara Terjadi Gara-gara Rivalitas Institusi
Prof Eddy OS Hiariej
rmol news logo Penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM masih tetap digarap dua institusi, yakni KPK dan Polri. Walau begitu belum ada perkembangan signifikan.

Menanggapi hal itu, Guru Be­sar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mana (UGM) Prof Eddy OS Hiariej mengatakan, pem­berantasan tindak pidana korupsi di Indonesia termasuk istimewa. Sebab, lebih dari satu institusi ber­wenang melakukan penyidikan.

“Ada KPK, kejaksaan dan Pol­­ri berwenang melakukan pe­nyi­dikan tindak pidana korup­si. Hal ini tentunya ada aspek po­­sitif, yak­ni ada percepatan da­lam pem­­beran­tasan tindak pi­dana ko­rupsi,’’ kata   Eddy OS Hia­riej ke­pada Rakyat Merde­ka, ke­marin.

Sedangkan sisi negatifnya, lan­jutnya, diakui atau tidak, ada ri­va­li­tas antar sesama institusi da­lam rang­ka pemberantasan ko­rupsi, sehingga terkesan rebutan perkara.

“Persoalan rebutan perkara ini se­makin terlihat dengan tidak ada­nya pa­­rameter yang jelas peri­hal per­kara korupsi mana yang bo­­leh di­sidik Pol­ri dan mana yang boleh di­sidik kejak­saan. Se­mentara per­ka­ra korupsi yang da­pat disidik oleh KPK mem­punyai batasan yang jelas sebagai­mana termaktub dalam Pasal 11 Un­dang-Undang KPK,’’ paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa batasan itu?

Batasan tersebut meliputi tin­dak pidana korupsi yang melibat­kan aparat penegak hukum, pe­nye­leng­gara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tin­dak pidana korupsi yang di­lakukan oleh aparat penegak hu­kum atau penyelenggara negara. Tindak pi­dana korupsi yang me­resahkan masyarakat, kenda­tipun perihal ini masih menimbulkan perdebatan terkait kriteria mere­sah­kan ma­sya­rakat. Tindak pida­na korupsi yang menyangkut ke­rugian negara pa­ling sedikit Rp 1 miliar.

Kalau begitu siapa yang pas menangani kasus Simulator SIM?

Ada yang berpendapat KPK le­bih berwenang. Argumentasi­nya didasarkan pasal 50 ayat (3) Un­­dang-Undang KPK.

Sebaliknya, ada yang berpen­da­­pat bahwa Polri yang berwe­nang untuk menyidik kasus terse­but. Alasannya, ada Memoran­dum of Understanding (MOU) atau Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Polri dan KPK. Ber­da­sarkan pasal 8 ayat (1) MOU ter­­sebut bahwa dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penye­li­di­kan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban un­tuk menindak lanjuti penyelidi­kan adalah instansi yang lebih da­hu­lu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepa­katan bersama.

Apa yang Anda tangkap dari kesepakatan itu?

Sekilas jika dicermati, ti­dak ada permasalahan yuridis de­ngan  MOU yang ditandatangani oleh para pihak. Tapi, jika dite­la­ah se­cara seksama disadari atau ti­dak MOU tersebut menggra­da­sikan kedu­dukan KPK sebagai lem­baga super body dalam pe­nanganan perkara tindak pidana korupsi.

Kenapa Anda bilang begitu?

Kewenangan supervisi yang ada pada KPK berdasarkan pasal 6 huruf b Undang-Undang KPK ada­lah supervisi institusional. Se­dangkan menurut pasal 9 ayat (1) MOU, supervisi tersebut hanyalah sebatas perkara tindak pidana ko­rupsi yang meresahkan masya­ra­kat atau yang menjadi atensi para pihak. Artinya, kewe­nangan su­pervisi KPK terhadap institusi di­gra­dasikan menjadi kewena­ngan supervisi terhadap perkara atau kasus per kasus.

Bukankah bila KPK sudah me­nangani suatu perkara, oto­matis yang lain mengalah?

Berdasarkan MOU terse­but, kewenangan Polri dan kejak­sa­an tidak hilang secara serta merta meski KPK telah melaku­kan pe­nyidikan atas suatu tindak pidana korupsi.

Ketentuan pasal 8 ayat (1) MOU memberi peluang suatu ins­­­­tansi untuk melakukan pe­nyi­dikan tindak pidana korupsi atas dasar institusi mana yang le­­bih du­lu melakukan penye­li­di­­kan atas ka­sus tersebut atau atas ke­sepa­katan bersama.

Ter­lebih, ke­ten­tuan pasal 8 ayat (4) MOU mem­buka pe­luang meng­alihkan penyi­dikan dari satu ins­titusi ke­pada ins­ti­tu­si lain de­ngan terle­bih dahu­lu di­lakukan gelar per­ka­ra yang diha­diri oleh para pihak.

Tanggapan Anda mengenai itu?

Klausula kebatalan MOU se­ba­gaimana tertuang dalam Pasal 29 MOU bersifat ambigu. Di satu si­si, ada klausula yang menyata­kan bahwa jika terdapat keten­tuan dalam MOU yang dilarang oleh peraturan perundang-un­dangan maka ketentuan tersebut tidak berlaku.

Tapi anak kalimat dalam pasal te­r­sebut menyatakan bahwa ke­ba­talan tersebut tidak membatal­kan ketentuan-ketentuan lainnya dalam MOU. Padahal, bila dicer­mati lebih lanjut, antara pasal yang satu dengan pasal yang lain sa­ling berkaitan erat.

Terlebih MOU tersebut dibuat dengan meng­­ingat KUHAP, Un­dang-Un­dang tentang Penye­leng­­­gara Ne­gara yang Bersih dan Be­bas dari Korupsi, Kolusi dan Ne­po­tisme, Undang-Un­dang Pem­berantasan Tindak Pi­dana Korup­si, Undang-Undang tentang Ke­polisian, Un­dang-Un­dang KPK dan Undang-Undang Kejaksaan.

Bukankah Undang-undang lebih tinggi dari kesepakatan?

Dalam konteks teori, suatu MOU didasarkan pada asas pacta sunt servanda yang berarti setiap ke­­sepakatan yang dibuat meng­ikat para pihak ibarat undang-un­dang. Namun di sisi lain kese­pa­ka­tan tersebut harus didasarkan pa­da kecakapan para pihak, objek tertentu dan kausa yang halal.

Apa Kesimpulannya?

Polri pun punya kewenangan menyidik kasus Simulator SIM. Hal ini didasarkan atas pelak­sa­naan MOU dengan itikat baik dari para pi­hak. Artinya, ada gen­tle­man agree­ment di antara para pi­hak saat menandatangani MOU ter­sebut tentunya untuk dilaksa­na­kan. Kon­sekuensi lebih lanjut, ada­­nya MOU tersebut secara mo­ral tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Kewenangan Polri untuk mela­kukan penyidikan kasus Proyek Pengadaan Simulator adalah ber­dasarkan pasal 8 ayat (1) MOU ka­rena Polri yang lebih du­lu me­la­kukan penyelidikan kasus ter­se­but. Kalaupun penyidikan atas ka­sus tersebut akan dilim­pah­kan ke­pada instansi lain, ha­ruslah ber­da­sarkan kesepakatan. Artinya, da­lam penyidikan kasus ko­rupsi pro­yek pengadaan simu­lator SIM, penyidikan terhadap Ir­jen Pol Djo­ko Susilo ditangani KPK. Se­da­ng­kan penyidikan terha­dap ter­sangka lainnya terkait kasus ter­sebut dilakukan Polri. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA