Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD siap menerima gugatan Peilkada DKI Jakarta putaran kedua.
“Kami selalu standby meÂmeriksa jika ada pihak yang mengÂgugat,’’ ujar Mahfud MD kepada Rakyat Merdeka, Selasa (18/9).
Seperti diketahui, hasil quick count hasil Pemilukada DKI JaÂkarta dari sejumlah lembaga, keÂmarin, pasangan Jokowi-Basuki unggul tipis dari pasangan Foke-Nara.
Misalnya, hasil quick count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pasangan Jokowi-Basuki sebesar 53,68 persen, dan pasangan Foke-Nara 46,32 persen. Kemenangan JoÂkowi-Basuki tercatat hampir di semua wilayah Jakarta.
Peneliti sekaligus Manajer RiÂset LSI Setia Darma mengataÂkan, pasangan Jokowi-Basuki memiÂliÂki keunggulan di lima wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan analisa LSI, Jokowi-Basuki terpilih kaÂrena beberapa alasan.
Alasan pertama lebih disukai masyarakat. Kedua, kinerja Foke selama menjadi Gubernur kurang meÂmuaskan publik. Ketiga, terÂkait isu SARA. Keempat, karena banyak warga yang ingin peruÂbahan.
“Soal keterkenalan, Foke ungÂgul 90 persen dibanding Jokowi yang hanya 80 persen. Namun, tingkat kesukaan masyarakat tidak berbanding lurus dengan tingÂkat elektabilitasnya,†katanya.
Mahfud MD selanjutnya mengaÂtaÂkan, ada potensi bagi pihak yang kalah untuk menggugat ke MK. Apalagi selisih suara sangat tipis. “Kalau selisih hasilnya tipis, biaÂsanya yang kalah cenderung untuk menggugat,†paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Kami tidak mempermasalahÂkan hal tersebut. MK tidak punya kewenangan melarang siapa saja yang akan melakukan gugatan.
Meski demikian, sebaiknya seÂÂÂmuanya sportif biar nggak namÂÂÂÂÂbah-nambah kerjaan. Kalau tiÂÂÂdak ada pelanggaran yang sigÂnifikan, terstruktur, sisteÂmatis, dan masif sebaiknya tidak usah menggugat.
Saya hanya menyarankan agar semuanya selesai. Tidak nambah-nambah kerjaan.
Seberapa besar hasil PemiÂluÂkada yang digugat ke MK?
Lebih dari 80 persen PemiÂluÂkada di seluruh Indonesia diperÂkarakan di MK. Makanya saya katakan Pemilukada DKI pun berÂpotensi digugat ke MK.
Dari 80 persen itu, berapa persen yang dapat membuktiÂkan terjadinya kesalahan?
Dari angka sebesar itu, hanya 11 persen yang bisa membukÂtikan terjadinya kesalahan.
Tapi tidak semua kesalahan itu mengharuskan Pemilukada diÂÂÂbaÂtalkan.
Kalau kesalahanÂnya tidak sisÂtematis, terstrukÂtur, dan maÂsif serÂta yang bisa diÂÂbukÂtiÂkan itu tiÂdak signifikan, ya kiÂta tidak memÂÂÂbaÂtalÂkan PeÂmiÂluÂkada itu.
Misalnya saja terjadi selisih 10 ribu suara. Kemudian orang yang menggugat itu hanya bisa memÂbuktikan 2.000 suara yang dicuÂrangi.
Maka tidak bisa untuk memÂbatalkan hasil Pemilukada dari sudut hukum tata negara.
Bagaimana mengenai pelangÂgarannya itu?
Kalau memang terjadi pelangÂgaÂran itu tetap dihukum. Tapi haÂsilÂÂnya tetap disahkan MK. Soal peÂlanggarannya itu diserahkan ke pidana. Sebab, MK tidak mengÂaÂdili pidananya.
Kesalahan struktural itu seperti apa?
Kesalahan struktural itu miÂsalnya dilakukan oleh aparat resÂmi, KPU. Dari 11 persen yang saya katakan tadi itu memang terÂbukti adanya kecurangan di situ .
Apa harapan Anda?
Kedua pasangan itu harus siap kalah. Kalau sudah siap kalah, maka yang kalah sportif saja. SuÂdahlah, nggak usah diperpanjang, biar nggak nambah pekerjaan. Itu hanya himbauan saja. Tapi jika memang ada gugatan, MK selalu siap. Tenang saja, he-he-he.
O ya, siapa yang Anda pilih?
Saya ini sudah lama jadi orang JaÂÂkarta dan punya KTP Jakarta. TaÂpi saya tidak dapat undangan seÂhari sebelum pencoblosan. HaÂkim-haÂkim di MK hampir seÂmuaÂnya tiÂdak ada di DPT (daftar peÂmilih tetap).
Putaran pertama juga nggak ada unÂÂdangan. Saya nggak tahu keÂsaÂlaÂhan siapa, kenapa seperti itu. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: