IMI Dorong Indonesia Jadi Mediator Sengketa di Laut China Selatan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Rabu, 19 September 2012, 12:40 WIB
IMI Dorong Indonesia Jadi Mediator Sengketa di Laut China Selatan
rmol news logo . Kisruh di Laut China Selatan (LCS) terus memanas. Banyak pro dan kontra dalam menyikapi kisruh tersebut. Kisruh mengenai sengketa wilayah yang terjadi karena perebutan kedaulatan atas pulau/Karang/Low Tide Elevation (LTE) atau yang bisa diartikan obyek yang muncul di permukaan laut ketika air surut tetapi tenggelam ketika air pasang.

Terjadinya kekisruhan tersebut, Indonesia Maritim Institute (IMI) angkat bicara. Direktur Eksekutif IMI, Y Paonganan menilai klaim terhadap kawasan maritim di LCS juga menambah runyam sengketa antarbangsa di sana.

"Indonesia sebenarnya tidak terlalu berkepentingan atas perebutan pulau/karang/LTE di LCS. Meski demikian, Indonesia memiliki kedaulatan tak terbantahkan atas gugusan Kepulauan Natuna yang berada di LCS. Menurut pandangan saya, Indonesia sebaiknya lebih berperan untuk memediasi sengketa tersebut, bukan melibatkan diri dalam kisruh itu," kata Paonganan dalam keterangannya yang diterima redaksi, Rabu (19/9).

Menurut Doktor lulusan IPB ini, Indonesia sebagai negara yang paling strategis dari perspektif maritim di Asia Pasifik, sudah saatnya menunjukkan diri sebagai bangsa yang miliki kecerdasan dan kemampuan untuk menyelesaikan sengketa dunia, apalagi kawasan LCS juga bersentuhan dengan perairan Indonesia.

"Jika Indonesia mampu memainkan peran sebagai mediator di LSC, maka tentunya posisi Indonesia di kawasan ASEAN dan bahkan Pasifik makin diperhitungkan," tegasnya meyakinkan.

Tidak hanya itu, Ongen biasa disapa, menilai hal itu sangat mungkin dilakukan selama Indonesia tidak terpengaruh oleh provokasi China yang sejak lama ingin menyeret Indonesia kedalam kisruh LCS. Dia melihat, salah satu indikatornya adalah semakin proaktifnya China untuk menguasai LCS dengan menerbitkan peta pada tahun 1947 seperti ditulis Li Jinming dan Li Dexia, di Jurnal Ocean Development & International Law, 34 (2003).

"Pada peta tersebut terdapat garis putus-putus yang sedemikian rupa melingkupi hampir semua obyek daratan dan kawasan maritim di LCS, sebagai indikasi klaim. Garis putus-putus itu kini dikenal dengan "nine-dashed line" karena segmennya berjumlah sembilan," ungkap Ongen.

"Nine-dashed line ini menyentuh batas dasar laut Indonesia dan cenderung tumpang tindih," ujarnya lagi.

IMI tegas Ongen, menyarankan agar provokasi ini harus ditanggapi dingin oleh Indonesia. Sebaiknya Pemerintah lebih banyak berperan dalam upaya penyelesaian sengketa.

"Kecuali jika provokasi tersebut sudah menyentuh kedaulatan negara, maka perlu kita mempertahankan harga diri bangsa," tandasnya.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA