Adhyaksa Dault: Saya Tak Ingin Indonesia Menjadi Negara Gagal...

Sabtu, 15 September 2012, 08:58 WIB
Adhyaksa Dault: Saya Tak Ingin Indonesia Menjadi Negara Gagal...
Adhyaksa Dault
rmol news logo Bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault tidak berambisi menjadi calon presiden 2014.

“Saya pernah jadi menteri saja sudah Alhamdulillah. Saya ini anak orang kecil yang lahir dari kota kecil. Makanya  selalu ber­syukur bisa seperti sekarang. Ini semua berkat Allah SWT dan doa dari kedua orang tua saya,” kata Adhyaksa Dault kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui, dalam pelun­curan buku terbarunya yang ber­ju­dul ‘Menghadang Negara Ga­gal: Sebuah Ijtihad Politik’, Wa­kil Ketua DPR  Pramono Anung menilai Adhyaksa Dault pantas jadi presiden.

Adhyaksa Dault selanjutnya mengatakan, sejak dulu ti­dak pernah mempunyai ambisi jadi seorang pemimpin maupun menginginkan jabatan. Namun, ketika sudah menjadi pe­mimpin  harus benar-benar menjaga amanat.

“Saya selalu menjaga amanat al­marhum abah dan mamah saya. Biar pun saya nggak mempunyai pang­kat atau jabatan, yang pen­ting bagi saya adalah mem­punyai seorang ibu yang sangat menyayangi saya,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Masa sih Anda tidak meng­ingin­kan jabatan?

Demi Allah, saya tidak pernah berambisi menjadi sesuatu di negeri ini. Saya tegaskan lagi, sa­ya sama sekali tidak pernah ber­ambisi soal jabatan dan pang­kat. Pastinya, seorang pemimpin itu harus menjalankan amanat dan tidak boleh melanggar.

Pada 2002, mamah saya mem­beri hadiah ulang tahun hanya sebuah dasi. Saat itu beliau bi­lang, saya harus memakai dasi ter­­sebut ketika dilantik menjadi menteri.

Dua tahun setelah itu, saya di­lan­tik jadi menteri. Artinya, ma­mah saya tahu kalau saya bakal jadi menteri. Ketika saya jadi men­­teri, Alhamdulillah, saya ti­dak makan uang haram sepeser pun, dan saya terhindar dari ber­bagai fitnah.

Bagaimana menurut Anda  pemimpin saat ini?

Sebagai generasi muda, saya gelisah menyaksikan perkem­ba­ngan demi perkembangan terbaru yang mencederai cita-cita ber­bangsa dan bernegara kita.

Apa benar 2014, Indonesia mengalami krisis kepe­mim­pinan?

Tentunya itu tergantung dari pa­ra elite politisi kita. Kalau me­re­ka  mau berpikir secara jernih, ada sikap negarawan, maka ne­ga­ra ini semakin baik.

Apa 2014, ada calon pemim­pin seperti itu?

Bangsa ini harus dipimpin oleh orang-orang yang mem­pu­nyai hikmah. Tidak akan me­langgar atu­ran. Hikmah itu da­tangnya dari Tuhan, kalau su­dah men­da­patkan hikmah maka dia  bijak­sana dan menciptakan kea­dilan ba­gi seluruh rakyat Indo­nesia.

Kenapa Anda menulis buku berjudul Mencegah Negara Gagal: Sebuah Ijtihad Politik?

Ada yang bependapat bahwa bangsa Indonesia menuju negara ga­­gal. Saya nggak mau negara ini menjadi negara gagal. Mela­lui bu­­ku yang saya tulis ini, saya ingin memberikan sinyal kepada para tokoh pemimpin bangsa ini, baik di DPR, MPR, maupun pe­merintah agar tidak melupakan rumah besar bangsa ini, yaitu NKRI.

Pada akhir Juni lalu, sebuah lem­baga riset yaitu Fund for Peace yang berpusat di Wa­shing­ton DC, Amerika Serikat menge­luarkan Indeks Negara Gagal. Indonesia menempati peringkat ke 63 dari 178 negara di seluruh dunia dan masuk dalam negara bahaya.

Ketika saya membuat buku itu ti­dak mau sembarangan karena harus bermanfaat untuk publik, sehingga harus ilmiah.

Apa solusi yang Anda ta­warkan?

Salah satu solusinya, kembali ke Pancasila seperti yang dicip­takan Bapak pendiri bangsa. Bang­sa ini sudah kehilangan pen­jiwaan Pancasila, terutama sila keempat.

Belum ada kesungguhan dari pemimpin nasional untuk mem­be­nahi kepentingan publik.

Kebijakan yang dirintis pe­mimpin-pemimpin sebelumnya, banyak diubah ketika berganti pemimpin. Reformasi pun su­dah kehilangan arah dan libe­ralisasi.

Apakah pesan da­lam buku itu bisa ter­sampaikan?

Saya hanya ingin menyadarkan para pe­mim­pin bangsa ini agar ti­dak terkotak-kotak dalam sebuah kamar. Keluar dari kamar itu, ada ruang tamu, ruang dapur, dan lainnya. Ada rumah besar yang namanya NKRI.

Alhamdulillah, saat launching buku ter­se­but, banyak tokoh na­sio­nal seperti Pak Surya Paloh, Try Sutris­no, Pramono Anung, Hatta Rajasa, beberapa menteri lainnya yang hadir.

Mereka saat ini adalah tokoh-tokoh nasional yang memiliki komitmen mem­bawa ke­majuan bangsa, meski­pun di­pisahkan oleh partai dan bendera yang berbeda.

Bukankah politisi sering bersaing secara tidak sehat?

Para politisi itu harus men­con­toh artis. Meski berbeda-beda par­tainya, mereka tetap ber­satu. Mi­salnya, ada Eko Patrio di PAN, ada Tantowi Yahya di Gol­kar, ada Rieke Dyah Pitaloka di PDIP, dan banyak artis di Partai De­mo­krat. Tapi ketika mereka bertemu, mereka bisa bersatu. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA