WAWANCARA

Sri Edi Swasono: Bung Hatta Tidak Sebodoh Seperti Dimuat Iklan Itu...

Jumat, 14 September 2012, 08:58 WIB
Sri Edi Swasono: Bung Hatta Tidak Sebodoh Seperti Dimuat Iklan Itu...
Sri Edi Swasono

rmol news logo Lima tokoh nasional menunggu jawaban Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengenai iklan kaleng yang dimuat harian Kompas mengenai Undang-undang Migas.

“Dalam iklan edisi 9 Agustus 2012 itu, pendapat Bung Hatta di­plintir. Ini sebenarnya tindak pi­dana. Bisa diadukan ke penga­dilan,’’ kata menantu Bung Hatta, Sri Edi Swasono, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui, Selasa (11/9) la­lu, lima tokoh nasional yakni be­kas Menteri Perekonomian Kwik Ki­an Gie dan Rizal Ramli, Gu­ru Be­sar Fakultas Ekonomi UI Sri Edi Swasono, pengamat per­minyakan Kurtubi, serta Marwan Batubara me­laporkan ke Dewan Pers menge­nai iklan kaleng yang di­muat di Harian Kompas.

Di harian Kompas edisi 9 Agus­tus 2012 ada iklan anonim yang membela liberalisme yang mengungkapkan bahwa Bung Hatta anti kapitalis tapi tidak an­ti kapital. Bung Hatta tidak an­ti in­ves­tasi asing.

Sri Edi Swasono kecewa karena Iklan tersebut tidak menyebutkan siapa yang mengirim. Parahnya lagi, iklannya itu telah memlintir pendapat Bung Hatta.

Sri Edi Swasono mengatakan, seharusnya iklan seperti itu tidak dimuat. Itu sama saja iklan kaleng atau disebut iklan anonim.

“Iklan itu iklan jahat sekali. Sebab, plintir pendapat orang dan pendapat orang itu disalahartikan dengan sengaja. Berarti, se­sung­guh­nya pidana,” ujar suami Meutia Hatta itu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa tuntutan Anda?

Saat kami ke Dewan Pers, Selasa (11/9), kami belum pada ting­kat menuntut siapapun. Teta­pi sesunguhnya kalau iklan itu ada namanya, kami bisa menun­tut langsung. Sebab, sudah mem­bohongi publik. Harus ditekan­kan bahwa Bung Hatta itu tidak sebodoh seperti dimuat iklan itu. Iklan ini sudah membohongi pu­blik, maka bisa delik pidana.

Misalnya, kalau ada iklan ma­kanan yang menyebut halal, tapi  ternyata haram, itu kan bisa ga­wat. Kalau iklan itu bohong, kan bisa merugikan orang banyak. Bisa dituntut ke pengadilan.

Kenapa tidak menempuh upaya itu?

Kami belum bicara soal itu. Bisa saja nanti arahnya ke sana. Tapi lihat situasi saja, apa tang­gapan pimpinan koran itu ke Dewan Pers.

    

Apa Anda tidak berusaha membalas iklan itu?

Bagaimana kita bisa mem­balas. Sebab kalau kami mem­ba­las lewat Koran sebesar itu, ong­kosnya bisa Rp 100 juta-an. Se­mentara kami nggak punya duit. Saya, Pak Kwik, Pak Rizal Ram­li, Pak Kurtubi, dan Pak Marwan Ba­tubara nggak bisa bayar iklan sebesar itu. Selain itu, belum tentu koran­nya juga mau memuatnya karena iklan anonim itu di koran ter­sebut.

   

Kenapa melaporkannya ke Dewan Pers?

Dengan alasan-alasan itulah, kami bertanya ke Dewan Pers, karena iklannya anonim. Kami tidak bisa membantah iklan itu karena tidak punya uang, sehing­ga kami tanya ke ketua Dewan Pers, Pak Bagir Manan.

   

Apa yang ditanyakan ke Dewan pers?

Saya tanya, kalau ada kasus seperti ini bagaimana. Berarti, orang yang punya uang ini bisa mempengaruhi pendapat masya­ra­kat, menipu masyarakat, dan membentuk opini keliru.

Iklan ini sepeti surat tanpa pengirim, namanya surat kaleng kan. Kalau iklan kaleng, berarti lempar batu sembunyi tangan.

   

Apa tanggapan Dewan Pers?

Tentunya Dewan Pers akan me­nanyakan ke asosiasi koran dan menyangka langsung ke re­daksi koran tersebut, dan lainnya.

   

Kenapa Anda menilai iklan itu plintir pendapat Bung Hatta?

Apa he­batnya kuti­pan Bung Hatta yang di­plintir ini un­tuk membela pri­vatisasi. Kaum neo­­­liberalis dan pem­bela-pem­be­la­nya semakin te­rang-tera­ngan mengabaikan Pan­casila dan UUD 1945, khususnya pasal 33. Bukan main bahwa dok­trin demokrasi ekonomi yang di­kandung dalam pasal 33 UUD 1945 direduksi dan diplintir ha­bis-habisan dari konteks de­mo­krasi ekonomi.

Bung Hatta mengartikan de­mo­krasi ekonomi itu tidak untuk seorang atau satu golongan kecil yang menguasai penghidupan orang banyak, melainkan keper­luan dan kemauan orang banyak harus menjadi pedoman.

Iklan itu telah memlintir pen­dapat Bung Hatta. Jangan men­tang-men­tang punya duit se­enaknya bisa bohong kepada ma­syarakat. Se­harusnya nggak bisa seenak­nya begitu dong.

Bung Hatta memang bukan se­orang yang anti asing, tidak pula anti modal asing. Tapi itu bukan be­rarti pandangan Bung Hatta ter­lepas dari cita-cita nasional, yaitu investasi asing maupun pin­ja­man luar negeri harus mampu me­ning­katkan kemandirian nasional.

   

Bagaimana pandangan Bung Hatta terkait pasal 33 UUD 1945 itu?

Pandangan Bung Hatta menge­nai pasal 33 UUD 1945 lebih spe­si­fik. Dalam pidatonya di HIPKI Su­matera Barat, 18 April 1979 Bung Hatta menegaskan, kepu­tusan-keputusan ekonomi untuk rakyat banyak sesuai cita-cita UUD 1945, tidak berdasar­kan me­­kanisme pasar seperti pa­da eko­nomi liberal.

Pandangannya itu ter­do­ku­men­tasi. Artinya Bung Hatta ti­dak seperti yang diomongkan pa­­­da iklan itu. Iklan itu bohong dan plintir pendapat Bung Hatta un­tuk kepentingan mereka. Ma­sa iklan bohong, palsu didiam­kan saja.

Kenapa Anda tidak menghu­bungi koran yang memuat iklan itu?

Saya belum menghubungi koran itu. Tetapi Pak Kwik Kian Gie su­dah menghubunginya. Pak Kwik yang kirim surat ke Kompas.

   

Apa yang Anda inginkan?

Kami nggak tahu siapa  pengirimnya dan membingung­kan. Semoga Kompas tidak memuat iklan gelap seperti itu la­gi. Itu harapan saya. Cukup iklan itu saja.


Selanjutnya apa yang Anda lakukan?

Saat ini kami menunggu di­panggil Pak Bagir Manan karena beliau yang menghubungi pihak-pi­hak terkait. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA