Komisi Yudisial menerima laporan LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai dugaan pelanggaran kode etik 84 hakim pengadilan tipikor di 14 provinsi.
Menurut aktivis ICW Donald FaÂridz, 84 hakim, baik karir mauÂpun ad hoc itu antara lain berasal dari Pengadilan Tipikor Jambi, Bengkulu, Semarang, Manado, Padang, Mataram, Kendari, SuÂrabaya, Serang, Medan, Makasar dan Yogyakarta.
“ICW juga sedang dan akan menyelesaikan riset mengenai evaluasi hakim tipikor, persoalan serius ketika MA melakukan proÂses seleksi hakim ad hoc, dan tracÂking calon hakim yang tidak berÂjalan maksimal,†katanya.
Dari hasil riset itu, menurut DoÂnald, setidaknya ada 71 terÂdakÂwa kasus korupsi yang diÂvoÂnis bebas. “Putusan tersebut, terÂkait dengan kompetensi, inÂdeÂpenÂdensi, dan kemampuan hakim itu sendiri,†ujarnya.
ICW juga melakukan eksaÂminasi putusan kasus korupsi di 10 pengadilan tipikor. Ketika ada putusan-putusan yang konÂtroÂversial, ICW menelisik bagaiÂmaÂna sosok hakimnya, punya inÂtegritas atau tidak. “Hasil proses reÂkam jejak itu sudah kami serahÂkan ke KY, ada indikasi pelangÂgaÂran kode etik. KY sudah meresÂpon dan akan mempelajari serius laÂpÂoran itu,†katanya.
Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki meÂnyamÂpaiÂkan, pihaknya selalu terbuka meÂnerima dan menindaklanjuti seÂtiap laporan yang masuk ke KoÂmisi Yudisial.
Menurut Ketua Bidang PengaÂwasan dan Investigasi KY SuparÂman Marzuki, laporan itu tentu menÂjadi perhatian Komisi YudiÂsial. “Laporan itu tidak jauh berÂbeda dengan investigasi yang diÂlakukan KY. Meski begitu, kami tetap menindaklanjutinya,†kataÂnya saat dihubungi Rakyat MerÂdeka pada Rabu (29/8).
Suparman menjelaskan, lapoÂran ICW itu masih perlu diÂtÂeÂluÂsuÂri kebenarannya. “Kami mesti menginvestigasinya, perlu melaÂkuÂkan sejumlah tahapan atas laÂporan itu. Butuh waktu untuk meÂneÂlaahnya,†ujarnya.
Akan tetapi, dia tidak mau meÂnyebutkan identitas 84 hakim yang dilaporkan ICW ke KY itu. “Yang jelas, ada hakim karir dan ada hakim adhoc. Terkait masalah perilaku hakim, dan hakim yang memutus bebas perkara. Soal koÂrupsi tidak ada. Tak jauh berbeda dengan informasi yang sudah berÂkembang,†ucapnya.
Komisi Yudisial, lanjutnya, akan melakukan evaluasi dan meÂnentukan sanksi apa yang bakal diÂsarankan untuk diberikan. “Jadi, kami masih melakukan peÂnyeÂlidikan atas semua laporan. BuÂkan hanya dari ICW, kami sendiri turun ke lapangan,†ujarnya.
Menurut Suparman, pihaknya terus melakukan pemetaan terÂhaÂdap persoalan hakim, baik hakim karir maupun hakim adhoc. “Tapi, metode kami dengan teÂman-teman itu memang agak berÂbeda. Kami melakukan invesÂtiÂgasi juga,†katanya.
Menurut Wakil Koordinator ICW Emerson Juntho, laporan ke KY itu menyangkut aspek integÂritas, kualitas dan administratif. Untuk menyusun laporan itu, ICW bekerjasama dengan mitraÂnya di berbagai daerah.
“Dari caÂtaÂtan rangkuman kami, persoalan di 14 pengadilan tipiÂkor daerah menyangkut integÂriÂtas, kualitas, dan administratif haÂkim,†katanya seusai meÂnyeÂrahkan hasil tracking 84 hakim tiÂpikor kepada KY, Selasa (28/8).
Dari aspek persoalan admiÂnisÂtratif, kata Emerson, mayoritas haÂkim tipikor, baik karir maupun ad hoc, belum menyerahkan LaÂpoÂran Harta Kekayaan Pejabat NeÂgara (LHKPN). “Ada pula haÂkim ad hoc yang masih kental huÂbungannya dengan partai politik, ada yang bekas anggota DPRD. Ditemukan juga ketidakjujuran, khususnya hakim ad hoc ketika meÂnyampaikan data kepada MA.â€
Dari aspek kualitas, lanjutnya, ditemukan ketidakcermatan haÂkim tipikor dalam mempelajari perÂkara. “Kalau hakim tidak berÂkualitas, mudah kita lihat. Jika haÂkim tidak berintegritas, putuÂsanÂnya tidak wajar. Indikasinya, hakim pasif di persidangan, tapi aktif di luar persidangan. MeÂmang beda tipis antara faktor kuaÂlitas dan integritas,†ucapnya.
Berdasarkan aspek Integritas, menurut Emerson, ada beberapa hakim tipikor yang diduga meÂlÂaÂkuÂkan kode etik dan pernah dilÂaÂporÂkan ke KY dan Mahkamah Agung (MA). Misalnya, hakim tiÂpiÂkor yang masih membuka prakÂtek kepengacaraan, hakim karir yang bertemu pihak berperkara atÂau pengacara.
“Ini membuka peluang mafia peradilan masuk ke Pengadilan Tipikor daerah, dimana hakim masÂih bertemu pengacara, kongÂkaÂliÂkong untuk membebaskan terdakwa kasus korupsi atau menjatuhkan voÂnis ringan,†ujarnya.
REKA ULANG
Menyangkut Integritas Dan Kualitas Hakim
Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar menyamÂpaiÂkan, laporan yang masuk ke KY tidak bisa begitu saja disamÂpaiÂkan kepada masyarakat secara deÂtail. Sebab, setiap laporan yang maÂsuk, harus melewati tahapan peÂnelaahan dan pemeriksaan dahulu.
“Sebab, selain rahasia, kalau diÂÂpublikasikan secara detail, sama saja memberitahu hakim-hakim yang dilaporkan itu bahwa KY seÂdang melakukan invesÂtigasi terÂhadap mereka,†alasan Asep.
Kendati demikian, lanjut Asep, Komisi Yudisial menyambut baik laporan LSM Indonesia CorrupÂtion Watch (ICW) yang sudah maÂsuk itu. “Tentunya akan ditinÂdaklanjuti sesuai kewenangan yang ada pada KY. Laporan itu berÂmanfaat, karena akan meÂlengÂkapi hasil pemantauan dan inÂvesÂtigasi khusus terhadap beberapa PN tipikor yang saat ini dilakukan KY,†ujarnya.
Untuk tindak lanjut, menurut Asep, laporan ICW tersebut dapat diÂklasifikasikan ke dalam tiga jeÂnis. Pertama, mengenai integritas hakim. “KY akan menÂinÂdakÂlanÂjutiÂnya dengan cara penanganan laporan sebagaimana mekanisme yang ada,†katanya.
Kedua, mengenai kualitas haÂkim. KY, kata Asep, akan menÂinÂdaklanjutinya dengan cara pelÂaÂtiÂhan-pelatihan peningkatan kaÂpaÂsitas. Ketiga, terkait admiÂnisÂtrasi perkara. KY akan meÂninÂdakÂlanjutinya dengan cara berÂkoÂmuÂniÂkasi ke Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang dalam hal administrasi pengadilan.
“Dari ICW itu kan baru lapoÂran, belum ada keputusan terbukti atau tidak ada pelanggaran ringan atau berat. Jadi, masih harus ditindakÂlanjuti dengan investigasi dan tahaÂpan lainnya dulu oleh KY,†ucapnya.
Asep menambahkan, setiap laÂporan yang diterima Komisi YuÂdisial akan diteliti dan diÂinÂvesÂtigasi terlebih dahulu. “Dengan batasan waktu, sesuai SOP yang ada di KY, penanganan laporan kuÂrang lebih 90 hari kerja,†ujarnya.
Jika KY menangani kasus haÂkim dari sisi pelanggaran kode etik, KPK saat ini juga mÂeÂnaÂngani perkara hakim dari sisi peÂlanggaran pidananya. Pada Jumat (17/8) lalu, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terÂÂhadap hakim ad hoc PengaÂdiÂlan TiÂpikor Semarang Kartini MarÂpaung. Menurut Wakil Ketua KPK Muhammad Busyro MuÂqoddas, penangkapan itu merÂuÂpaÂkan hasil kerjasama KPK dengan KY.
Kartini ditetapkan KPK sebaÂgai tersangka karena diduga meÂneÂrima suap Rp 150 juta terÂkait peÂnanganan perkara korupsi peÂmeÂliharaan mobil dinas DPRD KaÂbupaten Grobogan, Jawa TeÂngah di Pengadilan Tipikor SeÂmaÂÂrang. Salah seorang terdakwa kasus ini adalah Ketua DPRD Grobogan Muhammad Yaeni. DaÂlam perkara ini, Kartini berÂtindak sebagai salah satu hakim anggota.
Kartini ditangkap petugas KPK di halaman Pengadilan Negeri SeÂmarang seusai upacara periÂngaÂtan HUT Kemerdekaan RI. KPK juga menangkap rekan Kartini, hakim Pengadilan TipiÂkor Pontianak Heru Kisbandono dan pengusaha Sri Dartuti yang diÂsangka sebagai pemberi suap. KeÂtiganya ditangkap seusai melaÂkukan transaksi suap di halaman Pengadilan Negeri Semarang.
Diduga, suap berasal dari Sri DarÂtuti, adik M Yaeni yang mengÂguÂnakan jasa perantara Heru. Heru berperan mempertemukan Kartini deÂngan Sri. Dari tangan Kartini, KPK menyita uang Rp 150 juta dan beberapa dokumen. Kini, ketigaÂnya ditahan KPK sebagai tersangka.
Dalam kasus korupsi biaya perawatan mobil dinas DPRD GroÂbogan, Yaeni akhirnya divoÂnis piÂdana penjara 2 tahun 5 buÂlan, serta denda Rp 50 juta subÂsiÂdair empat bulan kurungan. Yaeni juga dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengÂganti sebesar Rp 187 juta subÂsidair sembilan buÂlan penjara. VoÂnis itu dijaÂtuhÂkan majelis hakim beÂberapa hari setelah Kartini, Heru dan Sri diÂtangkap KPK.
Benahi Rekrutmen Dan Pengawasan
Erna Ratnaningsih, Peneliti KRHN
Pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan 84 haÂkim Pengadilan Tipikor mengÂinÂdikasikan buruknya sistem peÂrekrutan hakim tipikor. IndiÂkasi itu, menurut peneliti senior Koalisi Reformasi Hukum NaÂsional (KRHN) Erna RatÂnaÂningÂsih, semakin kental jika diÂlihat betapa banyak terdakwa kaÂsus korupsi yang diputus beÂbas. “Itu juga menunjukkan leÂmÂahnya pengawasan terhadap hakim tipikor,†tegasnya.
Erna mengingatkan, proses perekrutan dan aspek peÂngaÂwaÂsan hakim merupakan persoalan yang sangat penting untuk seÂgera dibenahi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
“ProÂses rekÂruitmen harus dibeÂnahi deÂngan cara meÂneÂkanÂkan pada seÂleksi terhadap aspek integÂritas dan kapabilitas calon hakim tiÂÂpikor. Jadi, tidak hanya fokus pada peÂngetahuan tentang koÂrupsi dan pengadilannya saja,†katanya.
Pengawasan Mahkamah Agung, lanjut Erna, perlu diÂtingkatkan untuk memÂberÂsihÂkan hakim-hakim jahat. “MA bisa bekerja sama dengan KY untuk menegakkan integritas hakim,†ujar bekas Direktur Yayasan Lembaga Bantuan HuÂkum Indonesia (YLBHI) ini.
Tapi, lanjutnya, keseÂjahÂteÂraan hakim juga perlu diÂperÂhaÂtiÂkan. Erna berharap, dengan gaji yang cukup, hakim tidak terÂgiur meÂlakukan tindakan yang meÂlangÂgar kode etik, apaÂlagi melakukan tindak pidana korupsi seperti menerima suap untuk memÂbeÂbaskan terdakwa atau menÂjaÂtuhÂkan hukuman yang ringan.
Erna menambahkan, kendati ada hakim tipikor yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan disangka menerima suap, keberadaan pengadilan tiÂpikor tidak perlu diperdebatkan lagi. Soalnya, Undang Undang NoÂmor 46 tahun 2009 tentang PeÂngadilan Tipikor menÂsyaÂratÂkan pengadilan tipikor harus ada di setiap ibukota provinsi.
“Tidak perlu diperdebatkan lagi keÂberadaannya, karena nanti haÂrus mengubah undang unÂdang yang akan memakan waktu dan biaya yang tidak seÂdikit,†katanya.
Sebaiknya, saran dia, evaÂluaÂsi bukan mengenai keberadaan pengadilan tipikor di provinsi. Namun, tentang berbagai maÂsaÂlah yang timbul di pengadilan tipikor, sehingga banyak putuÂsan bebas untuk terdakwa dan vonis yang kerap ringan. “Lebih luas lagi, evaluasi dapat dilaÂkuÂkan secara menyeluruh dari awal penanganan kasus. Bisa jadi, kasusnya suÂdah diÂleÂmahÂkan pemÂbukÂtiannya sejak peÂmeriksaan, keÂmuÂdian tawar-meÂnawar pasal dalam dakÂwaÂan.â€
Sehingga, hakim tidak meÂmiÂliki keyakinan telah terÂjadi koÂrupsi.
14 Jam Menuju Tipikor Ternate
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyamÂpaikan, keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah perlu dikoreksi. “Keberadaan peÂngadilan tipikor di daerah malah menyulitkan,†ujarnya.
Dia menjelaskan, dari hasil kunjungan kerja Komisi III DPR ke Maluku Utara bagian kepulauan, pelaksanaan PengaÂdilan Tipikor menjadi beban bagi jaksa penuntut umum.
“Dari semua kabupaten, KaÂbupaten Morotai dan Tabuha tiÂdak melaporkan kasus korupsi. Ada kendala teknis dan subÂstantif yang dihadapi para jakÂsa,†ujarnya.
Dari Kabupaten Tabuha miÂsalnya, kata Eva, harus meÂnemÂpuh perjalanan laut-darat seÂlaÂma 14 jam untuk sampai ke PeÂngadilan Tipikor Ternate. “Ini meÂmerlukan biaya transÂpor dan akoÂmodasi yang tinggi untuk menghadirkan saksi dan ahli,†urainya.
Kesulitan teknis ini, lanÂjutÂnya, menjadi parah ketika puÂtuÂsan hakim tipikor amat riÂngan, bahkan membebaskan para terdakwa. “Penuntut menÂjadi hilang semangat, sehingga bisa dikatakan justru kehadiran pengadilan tipikor menjadi konÂtra produktif bagi pemÂbeÂranÂtaÂsan korupsi,†nilainya.
Eva menyarankan, ada dua cara untuk mengatasi masalah itu. Pertama, penyelenggaraan peÂraÂdilan tipikor dibuat flekÂsibel. “MiÂsalnya, majelis hakim dihaÂdirkan ke TKP dan peÂrenÂcanaan sidang dibuat intensif,†ujarnya.
Kedua, pengadilan tipikor diÂhilangkan, tapi memÂbeÂrÂdaÂyaÂkan semua pengadilan negeri yang ada dengan melaksanakan sertifikasi hakim secara luas. “Ini lebih masuk akal, karena tinÂdak pidana korupsi merata hingga di hampir semua daeÂrah,†ujarnya.
Kedua opsi tersebut, lanjut Eva, bisa menjadi pilihan untuk merevisi Undang Undang Pengadilan Tipikor. Dia juga melihat, ada masalah pada peÂrekrutan hakim. “Tidak memÂpedulikan track record para haÂkim, sehingga banyak muÂdhaÂratnya daripada manfaatnya,†tandas dia. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: