Liburan Lebaran telah usai, apakah kejaksaan segera membawa kasus dugaan korupsi proyek pemulihan lahan bekas eksplorasi minyak PT Chevron Pasific Indonesia ke Pengadilan Tipikor?
Sebelum Idul Fitri, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold AngÂkouw menyatakan, kasus Chevron diupayakan segera maÂsuk ke perÂsidangan seusai Lebaran.
“Ada penambahan alat bukti. Kini tinggal mencocokkan yang satu dengan yang lainnya. Dalam waktu dekat ke penunÂtutan. DÂiÂusahakan, sehabis Lebaran naik ke penuntutan,†ujar Arnold di Kompleks Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.
Penyidik, lanjut Arnold, masih mencocokkan alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain agar saÂling berkaitan. Soalnya, kata dia, Kejaksaan Agung ingin meÂngantispasi kegagalan dalam meÂnangani perkara-perkara korupsi besar. “Selain itu, masih kami tamÂbahkan alat buktinya supaya lebih kuat. Seperti, mencocokkan satu alat bukti dengan yang lain, misalnya transaksi dan surat yang diperlukan,†ujarnya.
Kendati begitu, bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini mengaku, jajarannya sudah mengantongi alat bukti yang kuat untuk masuk ke proses penunÂtutan. “Kami mau perkara ini secepatnya disidangkan, sembari melakukan pengusutan dan peÂngembangan,†ujar Arnold.
Akan tetapi, dia mengatakan bahwa Kejaksaan Agung belum memastikan nilai kerugian negara dalam perkara korupsi ini. AlaÂsannya, Kejaksaan Agung masih menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan PemÂbangunan. “Masih dalam proses audit oleh BPKP,†alasannya.
Kejaksaan Agung pun belum melakukan penahanan terhadap para tersangka kasus ini. Namun, katanya, para tersangka itu akan ditahan menjelang proses penunÂtutan di pengadilan. “Soal meÂnaÂhan kan urusan yang tidak sulit. Kita tunggu saja,†katanya.
Sekadar mengingatkan, KeÂjakÂsaan Agung telah menetapkan tuÂjuh tersangka kasus ini. Lima terÂsangka berasal dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), yaitu EnÂdah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua tersangka lainÂnya dari perusahaan swasta keÂlompok kerjasama (KKS) yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan HerÂlan (Direktur PT Sumigita Jaya). Semua tersangka telah dicegah ke luar negeri, kecuali Alexiat TirÂtawidjaja yang keburu pergi ke Amerika Serikat.
Menurut Arnold, berdasarkan keterangan pihak PT CPI, Alexiat masih menemani suaminya yang sakit di negeri Paman Sam. “Tapi, kami tentu akan mengontak keÂdutaan besar Indonesia di AmeÂrika untuk progres tersangka AT. Kalau memungkinkan, ya kami panggil,†ujarnya.
Arnold menambahkan, jajÂaÂranÂnya juga masih menelisik, apakah oknum-oknum BP Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup terlibat dalam kasus korupsi peÂmuÂlihan tanah bekas lahan eksÂplorasi minyak PT Chevron ini. “Apabila ditemukan alat bukti yang kuat, jangankan hanya piÂhak BP Migas atau KLH, yang lain pun kita proses,†katanya.
Menurut Kepala Pusat PeneÂrangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, penyidik masih melakukan pemeriksaan-pemeÂrikÂsaan guna melengkapi berkas para tersangka kasus Chevron. MiÂsalnya, penyidik memanggil dan mengorek keterangan dua saksi pada Selasa, 14 Agustus lalu.
“Sejak pukul 10 pagi, diperiksa dua saksi, yaitu teknisi lapangan PT Sumigita Jaya bernama SyafÂrul dan Direktur PT Sumigita Jaya Herland. Herland dalam kaÂsus ini juga sebagai tersangka, tapi kali itu dia diperiksa sebagai saksi untuk para tersangka lainÂnya,†kata Adi.
Kasus ini berawal dari proyek pemulihan lahan bekas eksplorasi PT Chevron Pasific Indonesia di Duri, Riau sejak 2003 sampai 2011. Proyek senilai 270 juta dolar AS itu, disangka Kejaksaan Agung fiktif.
Apalagi, menurut Arnold, salah satu sampel dalam kasus ini (Tph) tidak bisa diuji pihak KeÂmenterian Lingkungan Hidup kaÂrena tidak ada alat laboÂraÂtoÂriumÂnya. Tapi, lanjut dia, pihak KLH tetap memberikan rekomendasi keÂpada BP Migas untuk membaÂyar proyek bioremediasi yang diÂkerjakan CPI dan dua peÂruÂsaÂhaan kerjasama operasionalnya. AkiÂbatÂnya, menurut perkiraan awal KeÂjagung, negara dirugikan sekiÂtar Rp 200 miliar. Kejaksaan Agung mulai menyelidiki kasus ini pada Oktober 2011.
REKA ULANG
Lima Pakar KLH Jadi Saksi
Lima anggota Dewan Pakar Kementerian Lingkungan Hidup dipanggil penyidik Kejaksaan Agung sebagai saksi kasus peÂmuÂlihan tanah bekas lahan esksÂplorasi minyak PT Chevron PaÂcific Indonesia (CPI).
“Pemeriksaan terhadap Dewan Pakar dari KLH itu terkait rekoÂmendasi dan pemberian izin bioÂreÂmediasi, serta pemberian pengÂhargaan kepada PT Chevron kaÂrena dianggap berhasil melaÂkuÂkan pengelolaan lingkungan,†kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman.
Tim penyidik menyampaikan surat panggilan kepada lima orang Dewan Pakar Kementerian Lingkungan Hidup itu sebagai saksi, yakni Prof Chandra Setiadi, Dr Edwan Kardena, Prof Yayat Dhahiyat, Dr Herry Y HadiÂkuÂsuÂmah dan Dr Suwarno. “Prof ChanÂdra Setiadi tidak hadir, deÂngan alasan ada kesibukan lain. Surat keterangannya ada,†ujar Adi pada Senin, 18 Juni lalu.
Menurut Deputi Bidang PeÂngeÂlolaan Bahan Beracun BerÂbahaya (B3), Limbah dan SamÂpah KeÂmenterian Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman, piÂhak KLH yang diperiksa sebagai saksi itu memang para pakar. SeÂhingga, wajar jika diminta memÂberi maÂsukan kepada pihak lain seperti Chevron.
“Mereka adalah pakar di biÂdangnya, sehingga setiap pihak yang meminta mereka unÂtuk memberikan masukan terkait kepakarannya, tidak masalah kan?†ujarnya.
Kendati begitu, lanjut dia, Kementerian Lingkungan Hidup menghormati proses hukum yang tengah berjalan di Kejaksaan Agung. “Kami mengikuti saja proÂses hukum yang berjalan. MeÂngingat masih dalam penyidikan, kita tunggu saja perÂkemÂbaÂnganÂnya dari kejaksaan,†ujar dia.
Kasus proyek fiktif pemulihan lingkungan ini, berawal dari perÂjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT CPI. SaÂlÂah satu poin perjanjian itu meÂngatur tentang biaya untuk meÂlakukan pemulihan lingkungan dengan cara bioremediasi.
Bioremediasi adalah teknik peÂnormalan tanah setelah terkena limbah minyak. Kegiatan bioÂreÂmediasi ini seharusnya dilakukan sejak tahun 2003 hingga 2011. CPI telah menunjuk dua perÂuÂsaÂhaan unÂtuk melakukan bioÂreÂmediasi, yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ).
Kegiatan bioremediasi yang seÂharusnya dilakukan selama perÂjanÂjian berlangsung, diduga tidak diÂlaksanakan dua perusaÂhaÂan swasÂta yang ditunjuk Chevron, yaÂitu PT GPI dan PT SJ. Padahal, unÂtuk melakukan bioremediasi, angÂgaran sebesar 270 juta Dolar Amerika Serikat telah diajukan ke BP Migas.
Program bioremeÂdiasi itu diduÂga fiktif, sehingga menurut takÂsiran awal Kejaksaan Agung, neÂgara dirugikan sebesar 270 juta doÂlar AS atau sekitar Rp 200 miliar.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi NirÂwanto, dugaan keterlibatan okÂnum KLH dan BP Migas akan didalami seÂtelah jajarannya meÂlihat hasil uji laÂboÂraÂtoÂrium terhadap 20 sampel taÂnah haÂsil bioremediasi.
Publik Berhak Tahu Endingnya
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari meÂngiÂngatkan Kejaksaan Agung agar menangani kasus Chevron samÂpai tuntas di pengadilan, dan meÂnyeret semua pihak yang diÂduga terlibat. “Mesti ditunÂtasÂkan di pengadilan dan jangan berÂkutat pada tersangka yang itu-itu saja,†katanya.
Eva menegaskan, semestinya Kejaksaan Agung sudah meÂngantongi alat-alat bukti yang kuat ketika melakukan peneÂtaÂpan tersangka. Sehingga, para tersangka itu bisa segera dibawa ke pengadilan untuk proses pemÂbuktian yang terbuka bagi masyarakat. Masyarakat harus tahu, apakah para tersangka itu terbukti atau tidak terbukti meÂlakukan korupsi. Kejagung tiÂdak boleh membiarkan para tersangka itu terus-terusan berÂstatus tersangka.
Dia mewanti-wanti, kasus korupsi ini perlu mendapatkan kepastian hukum. Makanya, jaÂngan sampai Kejaksaan Agung berlama-lama menangani kasus ini, jika memang sudah tidak ada yang terlalu urgen. Soalnya, masyarakat berhak untuk meÂngetahui penuntasan atau enÂding kasus ini di pengadilan.
“Bukan saja demi kepastian hukum yang merupakan hak terÂÂsangka, tapi juga bagi publik untuk menjadi saksi berjaÂlanÂnya proses hukum yang tidak diskriminatif,†tandas Eva.
Ia berharap, tidak ada upaya untuk menggantung perkara ini atau mempermainkannya seÂhingÂga tidak tuntas. “KejakÂsaÂan harus menunjukkan kinerja yang profesional dan terukur, berupa masa tertentu untuk tiap tahap peÂnyelidikan, penyiÂdiÂkan, penunÂtutan dan seterÂusÂnya,†sarannya.
Dalam penanganan kasus ini pun, lanjut Eva, tidak ada alasan untuk membuat proses bertele-tele. “Tidak bisa tanpa batas wakÂtu, karena menyalahi prinÂsip akses to justice yang murah dan cepat,†tandas anggota DPR dari PDIP ini.
Dia pun meminta Kejaksaan Agung bisa mengusut dugaan keterlibatan pihak lain, setelah menetapkan tujuh tersangka kaÂsus ini. Makanya, Eva berharap ada kemajuan ke arah peÂnguÂsutan pihak lain yang memang terlibat. “Kan harus dikemÂbangÂkan, dimulai dari tujuh terÂsangka itu. Tapi kalau tidak diÂlanjutkan, ya tidak akan bisa berÂkembang. Jangan mandeg dong,†tegasnya.
Bisa Dinilai Diskriminatif
Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHI Jakarta
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) JaÂkarta Poltak Agustinus Sinaga mempertanyakan, apakah ada upaya mengaburkan kasus ChevÂron, sehingga para terÂsangÂkanya belum juga dibawa ke pengadilan.
Apalagi, dia mengingatkan, awalnya Kejaksaan Agung meÂnaksir angka kerugian keÂuangan negara dalam kasus ini sekitar Rp 200 miliar. “Apakah ada permainan? Bagaimana mungkin, para tersangka kasus yang nilai kerugian negaranya sampai Rp 200 miliar tidak diÂtahan?†tandasnya.
Poltak pun mengingatkan, Kejaksaan Agung bisa dinilai diskriminatif oleh masyarakat. Soalnya, ada tersangka perkara korupsi lain yang nilai kerugian negaranya di bawah kasus ChevÂÂron, ditahan Kejagung.
“KeÂÂjaksaan Agung harus memÂberikan sanksi berat, apabila ada jaksa yang terbukti bermain-main dalam kasus ini,†sarannya.
Dia juga meminta Kejaksaan Agung menyampaikan klarifiÂkasi kepada publik mengenai proÂses yang sudah dilakukan daÂlam menangani kasus ini. Klarifikasi itu, antara lain keÂnapa tersangka kasus dugaan koÂrupsi ini hanya dari pihak swasÂta. “Hampir tidak mungÂkin, kasus korupsi, tersangÂkanya hanya dari pihak swasta,†tegas dia.
Poltak juga mewanti-wanti pimpinan Kejaksaan Agung dan para penyidik kasus ini, agar tidak mau dilobi pihak manaÂpun untuk menghilangkan duÂgaan keterlibatan oknum peÂmeÂrintah. Jangan pula bersepakat deÂngan pihak manapun untuk menghilangkan kasus ini deÂngan cara tak kunjung memÂbawa para tersangka ke peÂngadilan. “Ini harus dipantau betul,†tandasnya.
Ia berharap, pemberantasan korupsi menjadi salah satu prioÂritas Kejaksaan Agung. CaÂraÂnya, dengan menangani kasus-kasus korupsi secara utuh dan sampai tuntas di pengadilan. “JaÂngan omong doang alias omdo,†katanya.
Dalam perkara ini, lanjutnya, bila ada tekanan asing pun mesÂti dilawan. “Yang juga bisa jadi perÂsoalan, pihak penegak huÂkum membuka diri dan ruang untuk dilobi pihak-pihak yang berkepentingan,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: