Tommy Dan James Gunardjo Cuma Jadi Perantara Suap

Di Balik Klaim Kelebihan Bayar Pajak Bhakti Investama

Jumat, 17 Agustus 2012, 10:38 WIB
Tommy Dan James Gunardjo Cuma Jadi Perantara Suap
Tommy Hindratno

rmol news logo Sidang perdana kasus suap kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Pajak Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo, Jawa Timur, Tommy Hindratno digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.

Berdasarkan surat dak­waan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap James Gunardjo, uang suap Rp 280 juta yang dige­lon­torkan kepada Tommy, diambil dari kelebihan pembayaran (res­titusi) pajak PT Bhakti Investama tahun 2003 sampai 2010 sebesar Rp 3,420 miliar. Angka itu me­rupakan akumulasi dari SPT PPH Badan 2010 sebesar Rp 517 juta dan SPT PPN dari 2003-2010 se­besar Rp 2,902 miliar.

Skema suap dalam dakwaan ter­hadap James itu, sudah diatur jauh-jauh hari. Hal itu diketahui dari peran Tommy sebagai peng­hu­bung tiga pemeriksa pajak PT Bhakti, yakni Agus Totong se­laku petugas supervisi, dan Harni Mas­rokim serta Heru Munandar de­ngan James dan Komisaris Inde­penden PT Bhakti Antonius Tonbeng.

Dari pertemuan di MNC To­wer, Jakarta pada Januari 2011, Tommy mendapat proyek me­ngurus surat ketetapan pajak le­bih bayar PT Bhakti. Dari pe­r­te­muan itu pula, Tommy menghu­bungi tim pemeriksa pajak PT Bhakti, yaitu Agus Totong, Harni Masrokrim dan Heru Munandar.

Tommy juga menemui petugas pajak perusahaan masuk bursa, Fery Syarifuddin. Kepada Fery, Tommy menanyakan, apakah mungkin nilai pajak PT Bhakti diatur ulang. Ternyata, upaya Tommy berjalan mulus.

Setelah melewati rangkaian proses yang panjang, pada 20 April 2012, Tommy memberitahu James mengenai keputusan pe­ngembalian restitusi pajak kepa­da PT Bhakti. Saat itu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Ke­uangan berencana mengem­ba­li­kan restitusi pajak ke rekening PT Bhakti pada 11 Mei 2012. Tapi, total restitusi pajak itu diterima PT Bhakti pada 5 Juni 2012.  

Nah, menurut penuntut KPK, pada Selasa 5 Juni 2012 Antonius Tonbeng mengatakan, dana kele­bihan pajak Bhakti Investama su­dah diterima seluruhnya sebe­sar Rp 3.420.449.886 (tiga miliar, 420 juta, 449 ribu, 886 rupiah). “Se­lanjutnya, Antonius menga­takan, dari jumlah tersebut akan diambil Rp 350 juta,” kata jaksa Sigit Waseso di hadapan majelis hakim.

Pada 5 Juni itu pula, uang Rp 340 juta dicairkan staf keuangan PT Bhakti Aep Sulaeman. Proses pen­cairan dana, dilaksanakan setelah ada persetujuan Direktur Darma Putra Wati dan Direktur Keuangan PT Bhakti Wandhy Wira Riady.

Lebih lanjut, menurut penun­tut, Antonius menghubungi Ja­mes. Antonius meminta James datang ke kantor PT Bhakti di MNC Tower, Kebon Sirih, J­a­karta Pusat. Lalu pada 6 Juni, Ja­mes datang dan mengambil uang fee. Setelah m­e­nerima uang fee, James menemui Tommy. Tapi, je­jaknya telah di­bun­tuti tim pe­nyelidik KPK. Ia dicokok ketika menyerahkan uang fee Rp 280 juta kepada Tommy.

Soal menyusutnya nominal uang dari Rp 340 juta menjadi Rp 280 juta, penuntut KPK men­jelaskan, sisa uang Rp 60 juta su­dah lebih dulu diamankan James di rumahnya.

Penyerahan uang, sebelumnya akan dilakukan di Rumah Sakit Carolus. Tapi Tommy mem­batal­kan pertemuan. Dia meminta bertemu di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan. Karena per­tim­ba­ngan ada kamera pengintai (CCTV) di hotel tersebut, Tom­my ke­mudian menggeser lokasi per­temuan ke rumah makan Se­der­hana yang juga berlokasi di Tebet.

Lantaran itu, JPU mendakwa James secara bersama-sama de­ngan Antonius menyuap Tommy. “Terdakwa secara sendiri atau ber­­sama-sama dengan Anto­nius Ton­beng memberikan uang Rp 280 juta kepada pega­wai negeri Tommy Hindratno di rumah makan Padang di Jalan Lapangan Ros, Jakarta Selatan,” tegas jaksa Agus Salim. James pun dijerat Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 13 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

REKA ULANG

Belum Ada Tersangka Baru

Penanganan kasus suap Kepala Seksi Pengawasan dan Kon­sultasi Pajak Kantor Pelaya­nan Pajak (KPP) Sidoarjo, Jawa Timur Tommy Hindratno belum menghasilkan tersangka baru. Kepala Biro Humas KPK Johan

Budi Sapto Prabowo beralasan, penetapan status tersangka harus disertai minimal dua alat bukti. “Jika alat buktinya tidak men­dukung, KPK tidak bisa men­e­tapksan status seseorang sebagai tersangka,” ujarnya.

Kendati begitu, Johan mene­gaskan, KPK berupaya maksimal menyelesaikan kasus ini. Apa­lagi, berkas perkara James Gu­nardjo, pria yang disangka me­nyuap Tommy, sudah dilim­pah­kan ke Pengadilan Tipikor Ja­karta. “Kita tunggu fakta-fakta­nya dibuka di sidang,” ujar Johan sebelum sidang James digelar.

Dari sidang itu, misteri kasus ini dapat terungkap secara gam­blang. Apa yang memicu ter­jadinya penyuapan akan terkuak. Sehingga, orang yang berada di balik James dalam kasus pe­nyua­pan terhadap Tommy, bisa mun­cul. Orang itu kemudian dapat di­jadikan tersangka, asalkan di­du­kung dua alat bukti.

Kendati begitu, KPK tidak semata-mata mendalami kasus ini dari persidangan. KPK misalnya, memeriksa lima pegawai Ditjen Pajak pada Selasa (31/7). Ber­ba­rengan dengan itu, pemeriksaan dua tersangka juga dilaksanakan. Rangkaian pemeriksaan saksi-saksi ditujukan untuk melengkapi berkas perkara. Hal itu dibuktikan dengan pelimpahan berkas per­kara atas nama tersangka James Gunardjo ke Pengadilan Tipikor pada Kamis (2/8).

Menurut Johan, keterangan lima saksi yang diperiksa pada Selasa itu, menjadi masukan bagi penyidik untuk melengkapi ber­kas perkara atas nama tersangka James. Kelima saksi itu adalah Ke­pala Seksi Pengawasan dan Konsultasi III KPP Pratama Wo­nocolo, Jawa Timur, Nina Juniar­sih, account representative KPP Pratama Wonocolo Rizal Rahmat Hidayat, pegawai Direktorat Jenderal Pajak Syaifullah, pega­w­ai KPP Pratama Perusahaan Masuk Bursa Hani Masrokim dan Ferry Syarifudin. Pada saat ber­samaan KPK juga menggelar pe­meriksaan tersangka kasus ini, yakni Tommy dan James.

Ditanya ikhwal pemeriksaan lima saksi dan dua tersangka, Johan menjelaskan, pemeriksaan mereka dilaksanakan di ruang yang berbeda. Petugas yang me­nanganinya pun berbeda. Peme­riksaan tidak sampai pada tahap mengkonfrontir tersangka de­ngan saksi-saksi. “Pem­e­rik­san­nya dilakukan di ruangan ter­pi­sah,” katanya.

Namun, dia menjelaskan, pe­nyidik sudah mengkonfrontir ke­terangan saksi-saksi,  keterangan tersangka dan dokumen yang te­lah disita. “Konfrontir dilaku­kan sebatas pada mencocokan kete­rangan saksi-saksi dan tersangka sa­ja,” ucapnya.  

Keterangan mengenai peme­rik­saan tujuh orang itu juga di­sam­paikan Kepala Bagian Pem­be­ritaan dan Informasi KPK Pri­harsa Nugraha. Ia membenarkan, pemeriksaan saksi dan tersangka ditujukan agar motivasi suap da­pat dibongkar.

Menurutnya, penyidik memi­liki kapabilitas dan kemampuan mendapatkan keterangan dan bukti-bukti. Jadi, persoalan ada atau tidaknya konfrontir, bukan menjadi kendala untuk mengusut perkara.

Penanganan Kasus Mestinya Utuh

Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Achmad Basarah berharap, ma­jelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mendorong KPK menuntaskan kasus suap restitusi pajak PT Bhakti In­vestama secara utuh.

Apalagi dalam dakwaan telah disebutkan, terdakwa James Gunardjo selaku advisor PT Agis, bersama Komisaris PT Bhakti Investama Antonius Z Tonbeng memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara yang bertentangan dengan ke­wenangan dan jabatannya.

“Pemberian tersebut diduga memiliki motif untuk mema­nipulasi pajak yang menjadi kewajiban PT Bhakti kepada negara. Oleh karena itu, kasus ini tidak mungkin dilakukan tanpa kerja sama antara pihak perusahaan maupun oknum-oknum di lingkungan Ditjen Pajak,” ujarnya.

Perbuatan itu, lanjut politisi PDIP ini, melanggar hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara. Selain tindakan itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, lanjut Basarah, kasus ini juga berpotensi sebagai perkara manipulasi pajak yang ditenga­rai lazim terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Ke­men­terian Keuangan. “Kasus seperti ini sudah sangat sering dan ramai diberitakan,” katanya.

Makanya, dia berharap, Ko­misi Pemberantasan Korupsi tidak sepotong-sepotong me­la­ku­kan pengusutan kasus ko­rupsi di sektor pajak. “KPK ha­rus lebih progresif mengusut ka­sus ini sampai ke akar per­ma­salahannya,” tandas dia.

Dengan upaya serius dan mas­sif dalam pemberantasan korupsi di sektor pajak, lanjut Basarah, akan membuat efek jera, sehingga kasus seperti itu bisa berkurang di Ditjen Pajak. “Dengan demikian, pena­nga­nan berbagai kasus korupsi di lingkungan pajak tidak ber­ulang-ulang seperti ini,” ujarnya.

Keberanian KPK Hendaknya Tetap Dijaga

Neta S Pane, Ketua Presidium IPW

Ketua Presidium LSM In­donesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengingatkan KPK agar tidak perlu ragu atau takut untuk menyampaikan te­muan-temuan baru yang terkait kasus suap ini.

Menurutnya, penyuapan oleh James Gunardjo kepada Tom­my Hidratno diduga untuk tu­juan tertentu. “Jadi, motivasi suapnya harus bisa dibongkar. Dari situ akan terlihat siapa saja yang terkait dalam kasus ini,” tandasnya.

Dia menambahkan, keper­ca­yaan diri KPK dalam me­nun­taskan kasus menjadi hal yang sangat krusial. Keberanian KPK memproses elit yang disangka bersalah, hendaknya dijaga. Ti­dak ada alasan bagi KPK untuk tunduk atau terkesan tebang pilih dalam menangani perkara.

“Intinya, pemeriksaan saksi dan tersangka kasus suap ini, hendaknya mampu menjawab apa motif di balik penyuapan itu,” ucapnya.

Lantaran itu, Neta me­nya­takan bahwa kinerja KPK da­lam menuntaskan perkara-per­kara korupsi hendaknya di­awasi secara cermat. Bukan ti­dak mungkin, lembaga super­bodi itu juga melakukan ke­sa­lahan dalam mengusut suatu kasus. “IPW meminta KPK se­ge­ra menuntaskan pengu­su­tan kasus ini secara proporsional dan profesional,” katanya.

Dia menambahkan, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mendapat pengawalan masyarakat. Seluruh elemen masyarakat, idealnya ambil bagian untuk mengawal KPK. Hal itu ditujukan agar lembaga superbodi ini lebih memiliki power dalam menuntaskan berbagai kasus korupsi.[Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA