Menarik karena juara pertamanya justru pemimpin dari Surakarta yang masih menyisakan jabatan tiga tahun lagi. Sedangkan incumbent, jauh di belakangnya dan masih bisa bernafas untuk babak dua.
Sebagian besar kalangan peneliti politik yang berkicau di media massa sepakat, Joko Widodo, cagub termuda di putaran Pilkada Jakarta itu, menjadi simbol haus perubahannya rakyat Jakarta.
Memang belum teruji kiprahnya di ibukota, beda dengan lawan tandingnya yang puluhan tahun sudah jadi birokrat di DKI, namun hitungan resmi KPU membenarkan bahwa kekecewaan atau sebut saja "kejenuhan" warga pada Fauzi Bowo (yang pecah di ujung jabatan dengan wakilnya, Prijanto) memicu banjir suara untuk Joko.
Jokowi, insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM itu memulai debutnya sebagai kepala daerah pada 2005 di Surakarta. Dan pada Pilkada Solo 2010, hasilnya bukan main, Jokowi meraup 91 persen suara. Saat itu, Jokowi- FX Hadi mengalahkan pasangan Eddy S Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar
Mayoritas mutlak warga mempercayakan Solo kembali di bawah kendalinya. Melihat mandat yang sangat besar dari warga Solo kepadanya, wajar saja banyak orang menilai langkah Joko Widodo ke Jakarta tidak betul secara etika politik. Jokowi dituding berkhianat pada warganya sendiri.
Memang belum ada survei yang menegaskan berapa besar dukung rakyat Solo kepada pencalonan Jokowi di ibukota. Tapi, dari berbagai media massa tertangkap kesan kuat bahwa warga Solo
sendiri, toh merasa besar hati.
Sebuah tayangan pemberitaan di salah satu media televisi swasta nasional, beberapa saat setelah hasil hitung cepat memenangkan Jokowi, berisi wawancara terhadap warga Solo yang direlokasi Jokowi dari bencana rutin banjir sungai Bengawan Solo.
Apa pendapat mereka jika Jokowi masuk putaran dua Pilkada Jakarta? Semua dari mereka merasa sedih tentu saja. Apalagi, di bawah kepemimpinannya dan F.X. Hadi Rudyatmo, rakyat Solo mengaku aman tentram, bebas dari rasa takut digusur pakai pentungan dan terutama merasakan tata kota yang nyaman.
Tapi, di balik kesedihan rakyat Solo lebih kuat kesan dukungan yang mengalir deras. Mereka mengaku cukup besar hati untuk ditinggalkan pemimpinnya namun juga bangga bila nominator Walikota terbaik di dunia itu jaya di Jakarta.
Terbukti pula, ketika ia pulang kampung dari tiga bulan rutinitas kampanye yang melelahkan di Jakarta, Jokowi mendapat sambutan meriah warga Solo. Jokowi disambut cukup meriah ketika meramaikan hari bebas tanpa kendaraan (Car Free Day) di Jalan Utama Kota Solo.
Pada hari H Pilkada yang diramaikan penghitungan cepat, media massa ramai-ramai meliput aktivitas warga Kota Solo yang antusias menyaksikan penghitungan cepat di televisi. Dan warga lagi-lagi merasa bangga pada Jokowi yang sementara unggul di atas incumbent.
Kemenangan Joko Widodo dan Basuki T. Purnama, media-media lokal melaporkan, menorehkan perasaan senang penduduk Solo. Hingga saat ini, masih tersiar berita bahwa para petinggi Asosiasi Pedagang Pasar di Solo menyambangi kediaman dinas Jokowi untuk memberikan dukung kepada politisi PDI Perjuangan itu di putaran kedua. Lucu memang karena mereka tak punya hak pilih di Jakarta. Tapi tak ada bisa menyalahkan dukungan moral.
Adakah kesan pengkhianatan masih terasa di balik pencalonan Jokowi? Mari kita kembalikan kepada rakyat Solo yang nyaris 100 persen memilih Jokowi di pemilihan 2010 lalu.
Yang jadi masalah adalah, mungkinkah rasa bangga yang membuncah itu akan memberikan dorongan kuat pada warga Solo untuk beramai-ramai datang ke Jakarta untuk putaran kedua 20 September?
Tradisi migrasi besar ke Jakarta dari daerah setelah Idul Fitri tiap tahunnya tak bisa dielak meski pemerintah DKI berkali-kali keluarkan imbauan. Nah, mungkin saja tahun ini ada alasan tambahan buat warga Solo, yang kian perkuat keinginan mereka datang ke ibukota.
Bukan untuk mengadu nasib atau sekadar bermodal nekat, namun ada niat politik yang besar untuk mendukung putra daerahnya mengadu kekuatan dengan incumbent di putaran dua Pilkada. Sungguh, bayangan akan hal itu tak mengada-ada!
[ald]
BERITA TERKAIT: