RMOL. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa mobil Esemka saat ini kembali menjalani uji emisi. Esemka masuk Balai Thermodinamika Motor dan Propulsi di Serpong, Tangerang, sejak pekan lalu. Tapi masih menunggu antrian untuk pengecekan emisi.
Untuk mengingat kembali tentang Esemka, berikut ini waÂwanÂcara dengan Sukiyat, orang dari Kiat Motor, yang jadi inisiaÂtor perakitan Esemka.
Untuk sementara ini perkemÂbangan mobil, mandek.
Kenapa begitu?
Karena yang biayai tak ada lagi. Bikin banyak-banyak juga buat apa? Kenginan untuk proÂduksi masal dengan bekerja sama dengan perusahaan otoÂmotif maÂsih jauh. Kalau pun ada yang mau buat massal, itu pakai uang siapa? Siapa yang back-up?
Pemerintah apakah tidak memÂberi dukungan?
Pemerintah? Pemerintah yang mana? Sudahlah. Saya sudah cuÂkup bangga menunjukan bahwa Indonesia itu juga bisa (merakit mobil). Sebagai penyandang faÂbel dan anak-anak SMK, sudah mampu berkarya buat bangsa.
Kalau tidak berkembang, jadi tujuan Anda membuat moÂbil tersebut apa?
Ini bukan untuk menyaingi yang ada tapi mengimbangi. Kita sebagai negara berkembang tidak akan menyaingi negara yang sudah maju.
Apakah Anda berharap EsemÂka jadi mobil nasional?
Saya menyerahkan layak tidakÂnya mobil ini setelah ada hasil uji emisi kedua. Saya ikut dalam uji emisi pertama sebagai perakit, tapi tidak lolos. Kemudian saya dan tim bersama-sama memperÂbaiki kesalahannya. Dan kini diÂuji lagi. Kita lihat saja.
Bisakah Anda cerita kembali soal teknologi Esemka?
Teknologi yang dpergunakan tidak muluk-muluk.
Menggunakan alat yang tak begitu canggih karena alat cangÂgih seperti yang di luar negeri danaÂnya begitu besar.
Seperti apakah itu?
Teknologi alat seperti oven, alat mixing, spet dan alat lainnya adopsi antara Jerman, Cina dan Jepang. Belajarnya otodidak, tiÂdak ditempuh lewat pendidikan khusus. Ya salah satu belajarnya dengan berkunjung ke beberapa negara luar, terutama mengunÂjungi pabrik-pabrik otomotif, pabrik cat dan pabrik-pabrik lainÂnya. Ketika berkunjung ke paÂbrik, saya juga mengamati, beÂlajar dan bertanya.
Hal terpenting, kita mau berÂtanya dan berani ditolak. Bekerja secara profesional. Sebagai orang teknik memang syaratnya harus jujur. Kalau tak jujur kualitas barang akan bicara sendiri.
Bagaimana proses membuat Esemka?
Prosesnya di bengkel saya senÂdiri. Ada tim khusus. Yang kami buat yaitu body, jok, interior, dan eksterior. Sisanya beli. Jadi bisa dibilang saya hanya merakit. Ini seperti Boeing merekrut dari dari 38 ribu perusahaan, lalu jadilah Boeing. Kiat juga begitu, dari berapa ribu pabrik dikumpulkan menjadi satu jadilah Kiat. KemuÂdian merakit. Ban beli, karet beli, lampu beli, dan masih banyak lagi yang beli.
Intinya saya memÂbuat body, bukan membuat mobil. Dalam proses pembuatan ada bahan-bahan yang dipakai dari barang-barang bekas yang diolah kembali.
Apa tugas anak-anak SMK itu?
Mobil dirakit bersama anak-anak SMK di bengkel saya. Yang sudah dibuat ada 8 unit. Sebanyak 4 di Solo dan 4 lagi di Klaten.
Saya menganggarkan sau moÂbil sebesar Rp 350 juta. Ada banyak pihak yang membantu. Pribadi atau lembaga seperti DeÂpartemen Pendidikan. Saya juga menggunakan dana pribadi. Tapi pada kenyataannya, untuk biaya produksi berkisar Rp 200-jutaan. Jadi anggaran Rp 350 juta per unit itu masih ada sisa.
Bukankah saat dipromosiÂkan, harga jualnya Rp 90-120 juta?
Maksudnya begini mas! Kalau menjual dengan harga Rp 90 samÂpai Rp 120 juta itu juga bisa.
Tetapi, kualitas berbeda, yaitu di bawah mobil Esemka. Bisa diÂbilang kurang layak dengan harga seperti itu. Kalau ada yang mau, saya bisa membuatkan. Harga beda kualitas berbeda. Itu makÂsudÂnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: