WAWANCARA

Sukiyat: Kalau Harga Esemka 90-an Juta, Kualitasnya Kurang Layak...

Sabtu, 09 Juni 2012, 10:59 WIB
Sukiyat: Kalau Harga Esemka 90-an Juta, Kualitasnya Kurang Layak...
mobil Esemka

RMOL. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa mobil Esemka saat ini kembali menjalani uji emisi. Esemka masuk Balai Thermodinamika Motor dan Propulsi di Serpong, Tangerang, sejak pekan lalu. Tapi masih menunggu antrian untuk pengecekan emisi.

Untuk mengingat kembali tentang Esemka, berikut ini wa­wan­cara dengan Sukiyat, orang dari Kiat Motor, yang jadi inisia­tor perakitan Esemka.

Bagaimana perkembangan mo­bil Esemka ini sekarang?

Untuk sementara ini perkem­bangan mobil, mandek.


Kenapa begitu?

Karena yang biayai tak ada lagi. Bikin banyak-banyak juga buat apa? Kenginan untuk pro­duksi masal dengan bekerja sama dengan perusahaan oto­motif ma­sih jauh. Kalau pun ada yang mau buat massal, itu pakai uang siapa? Siapa yang back-up?


Pemerintah apakah tidak mem­beri dukungan?

Pemerintah? Pemerintah yang mana? Sudahlah. Saya sudah cu­kup bangga menunjukan bahwa Indonesia itu juga bisa (merakit mobil). Sebagai penyandang fa­bel dan anak-anak SMK, sudah mampu berkarya buat bangsa.


Kalau tidak berkembang, jadi tujuan Anda membuat mo­bil tersebut apa?

Ini bukan untuk menyaingi yang ada tapi mengimbangi. Kita sebagai negara berkembang tidak akan menyaingi negara yang sudah maju.


Apakah Anda berharap Esem­ka jadi mobil nasional?

Saya menyerahkan layak tidak­nya mobil ini setelah ada hasil uji emisi kedua. Saya ikut dalam uji emisi pertama sebagai perakit, tapi tidak lolos. Kemudian saya dan tim bersama-sama memper­baiki kesalahannya. Dan kini di­uji lagi. Kita lihat saja.


Bisakah Anda cerita kembali soal teknologi Esemka?

Teknologi yang dpergunakan tidak muluk-muluk.

Menggunakan alat yang tak begitu canggih karena alat cang­gih seperti yang di luar negeri dana­nya begitu besar.


Seperti apakah itu?

Teknologi alat seperti oven, alat mixing, spet dan alat lainnya adopsi antara Jerman, Cina dan Jepang. Belajarnya otodidak, ti­dak ditempuh lewat pendidikan khusus. Ya salah satu belajarnya dengan berkunjung ke beberapa negara luar, terutama mengun­jungi pabrik-pabrik otomotif, pabrik cat dan pabrik-pabrik lain­nya. Ketika berkunjung ke pa­brik, saya juga mengamati, be­lajar dan bertanya.


Hal terpenting, kita mau ber­tanya dan berani ditolak. Bekerja secara profesional. Sebagai orang teknik memang syaratnya harus jujur. Kalau tak jujur kualitas barang akan bicara sendiri.


Bagaimana proses membuat Esemka?

Prosesnya di bengkel saya sen­diri. Ada tim khusus. Yang kami buat yaitu body, jok, interior, dan eksterior. Sisanya beli. Jadi bisa dibilang saya hanya merakit. Ini seperti Boeing merekrut dari dari 38 ribu perusahaan, lalu jadilah Boeing. Kiat juga begitu, dari berapa ribu pabrik dikumpulkan menjadi satu jadilah Kiat. Kemu­dian merakit. Ban beli, karet beli, lampu beli, dan masih banyak lagi yang beli.

Intinya saya mem­buat body, bukan membuat mobil. Dalam proses pembuatan ada bahan-bahan yang dipakai dari barang-barang bekas yang diolah kembali.


Apa tugas anak-anak SMK itu?

Mobil dirakit bersama anak-anak SMK di bengkel saya. Yang sudah dibuat ada 8 unit. Sebanyak 4 di Solo dan 4 lagi di Klaten.


Anggaran berapa?

Saya menganggarkan sau mo­bil sebesar Rp 350 juta. Ada banyak pihak yang membantu. Pribadi atau lembaga seperti De­partemen Pendidikan. Saya juga menggunakan dana pribadi. Tapi pada kenyataannya, untuk biaya produksi berkisar Rp 200-jutaan. Jadi anggaran Rp 350 juta per unit itu masih ada sisa.


Bukankah saat dipromosi­kan, harga jualnya Rp 90-120 juta?

Maksudnya begini mas! Kalau menjual dengan harga Rp 90 sam­pai Rp 120 juta itu juga bisa.

Tetapi, kualitas berbeda, yaitu di bawah mobil Esemka. Bisa di­bilang kurang layak dengan harga seperti itu. Kalau ada yang mau, saya bisa membuatkan. Harga beda kualitas berbeda. Itu mak­sud­nya.  [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA