RMOL. Pemberian grasi kepada narapidana kasus narkoba Schapelle Leigh Corby tidak ada kaitannya dengan upaya ekstradisi terpidana korupsi BLBI Adrian Kiki Ariawan.
“Pemberian grasi kepada Corby nggak muluskan upaya ekstradisi Kiki Ariawan. Sebab, ini kewenangan lembaga peradiÂlan di sana, bukan wewenang peÂmerintah Australia,’’ kata Ketua Tim Pemburu Koruptor (TPK) Darmono kepada Rakyat MerÂdeka, di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, tahun 2002 Adrian Kiki Ariawan dijatuhi hukuman seumur hidup di PengaÂdilan Negeri Jakarta Pusat secara in absentia. Adrian Kiki terbukti melakukan tindak pidana korupsi atas penyimpangan dana BLBI senilai Rp 1,5 triliun.
Kiki kemudian masuk dalam daftar buronan kasus korupsi yang lari ke luar negeri. Setelah itu, ditangkap otorisasi Australia pada 28 November 2008 di Perth, Australia Barat.
Dalam persidangan ekstradisi yang digelar di Australia tangÂgal 12 Agustus 2011, Kiki meÂngajuÂkan permohonan agar diriÂnya tiÂdak diharuskan pulang ke IndoÂnesia.
Darmono selanjutnya mengaÂtakan, kasus Kiki masih meÂnunggu keputusan banding peÂngaÂdilan Australia.
“Kita tunggu saja keputusanÂnya. Saya kira pengadilan di sana tidak terpeÂngaÂruh dengan pemÂberian grasi kepada Corby,’’ tamÂbah Wakil Jaksa Agung itu.
Berikut kutipan selengkapnya:
Dengan adanya grasi Corby ini, bukankah seharusnya peÂmeÂrintah Australia membantu ekstradisi Kiki Ariawan?
Dengan sistem hukum yang ada di sana tidak memungkinkan pemerintah Australia membantu. Padahal, kita sudah melaksanaÂkan aturan yang ada, termasuk asas kemanusiaan.
Masa tidak ada kompromi sih, lalu buat apa grasi diberiÂkan ke Corby?
Saya kira nggak ada kompromi seperti itu. Tidak mungkin ada timÂbal balik atas pemberian grasi terhadap Corby untuk memulusÂkan upaya ekstradisi Kiki AriaÂwan. Sebab, sistem hukum secara formal Australia tidak mungkin ada campur tangan pemerintah.
Apakah tidak ada pembahaÂsan mengenai Corby saat Jaksa Agung Basrief Arief bertemu dengan Jaksa Agung Australia?
Sama sekali tidak ada pemÂbicaraan mengenai kasus Corby dan Kiki antara Jaksa Agung IndoÂnesia dengan Jaksa Agung Australia saat menandatangani kerja sama beberapa bulan lalu.
Wewenang grasi itu kan sudah menjadi wewenang Presiden. PastiÂnya beliau mempunyai perÂtimbangan tersendiri, sehingga mengabulkan grasi.
Apa saja yang sudah dilakuÂkan Kejagung agar Kiki dieksÂtraÂdisi?
Membantu peradilan di sana, apa saja yang dibutuhkan, tentu diÂpenuhi agar Kiki bisa diesktraÂdisi. Makanya kami terus melaÂkuÂkan koordinasi dengan KeÂmenÂterian Luar Negeri dan keduÂtaan kita di Australia. Kami juga tentunya berkoordinasi dengan peÂmerintah Australia. Jika lemÂbaga peradilan di sana memerluÂkan data-data atas perkara Kiki, tentunya kita siap mem-back-up. Kita menyiapkan diri apa saja yang ingin di perÂtanyakan pengaÂdilan sana.
Kendalanya apa sih, kok bisa lama sekali?
Kendala utamanya perbedaan sistem hukum Australia dengan IndoÂnesia. Hukum di sana berÂtele-tele.
Orang yang mau diekstradisi itu diberi seluas-luasnya proses huÂkumnya.
Anda menyesalkan mundurÂnya putusan banding yang diÂajukan Kiki?
Jaksa Agung Australia saat datang ke sini menyatakan upaya hukum banding yang dilakukan Kiki sampai Juni 2012. Tetapi otoritas Australia memberikan kesempatan sampai September 2012, sehinggga proses hukumÂnya semakin panjang.
Padahal, saat konferensi jaksa se-Asia Pasifik dan Timur Tengah di Jakarta, Jaksa Agung Australia menjanjikan proses hukum yang panjang ini akan ditinjau kembali.
Tapi kenapa masih panjang?
Itu yang menjadi pertanyaan kami juga. Kewenangannya kan ada di sana. Kita hanya bisa meÂnunggu proses hukum itu. Kiki memiliki hak-hak hukum di sana. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: