RMOL. Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto menilai realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2012 tidak kredibel. Sebab, saat pembahasannya hanya sebulan.
“Pembahasan yang singkat seperti itu memerlukan validitas data dan skema yang baik. KeÂmuÂdian dibuat instrumen skeÂnario jika terjadi perubahan-perubahan asumsi yang materinya seharusÂnya disediakan pemerintah,’’ paÂpar Setya Novanto kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Berikut kutipan selengkapnya:
Bisa disebutkan ukuran tiÂdak kredibel itu?
APBN-P 2012 disusun dengan asumsi kenaikan harga minyak eceran bersubsidi saat itu. TerÂnyata tidak mengalami kenaikan. Syarat deviasi 15 persen dalam enam bulan terakhir juga tidak akan terpenuhi, sehingga pemeÂrintah tidak memiliki ruang meÂnaikkan harga BBM bersubsidi.
Bukannya ada ruang pemeÂrinÂtah melakukan pembatasan konsumsi BBM?
Betul. Hal itu sebenarnya tidak terlalu masalah jika pemerintah serius melakukan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Pembatasan yang rencananya dilakukan pemerintah sejak April 2012 lalu juga tidak berhasil diÂlaksanakan. Akibatnya subsidi BBM kita mengalami pembengÂkakan. Lebih parah lagi memÂbengÂkaknya kuota BBM berÂsubsidi melampaui target 40 juta KL dalam APBN-P 2012.
Beberapa asumsi makro kita tidak sejalan dengan kenyataan yang ada saat ini, seperti pertumÂbuhan ekonomi, lifting minyak, nilai tukar, dan inflasi. Hal ini juga berpengaruh terhadap postur APBN-P 2012. Di samping tidak kredibel dari sisi asumsi makro, APBN-P 2012 juga mengalami masalah dengan posturnya. PerÂhitungan kami, defisitnya dapat melanggar Undang-UnÂdang NoÂmor 17 Tahun 2003 tentang KeÂuaÂngan Negara karena melebihi batas 3 persen.
Bisa dijelaskan perhitunganÂnya?
Begini, APBN-P 2012 disusun dengan defisit 2,23 persen dari GDP atau Rp 190 triliun. Akibat tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi, jumlah subsidi BBM akan mengalami pembengkakan, dari Rp 137 triliun menjadi seÂkitar Rp 178 triliun atau ada tamÂbahan Rp 41 triliun yang renÂcaÂnanya akan digunakan untuk komÂpensasi sebesar Rp 30,6 triliun.
Akibat kenaikan harga BBM bersubsidi tidak naik, kompensasi kenaikan juga dibatalkan, seÂhingga perhitungan saya, dari sisi harga BBM, kita mendapatkan tambahan defisit Rp 11 triliun. Saya sendiri memprediksikan kuota BBM bersubsidi 40 juta KL akan terlampaui sekitar 3 juta KL, sehingga dibutuhkan tambahan sekitar Rp 5.500 X 3.000 atau seÂkitar Rp 16,5 triliun. Dari subsidi BBM saja kita butuh sekitar Rp 27 triliun, sehingga total defisit kita Rp 217 triliun atau sekitar 2,64 persen dari GDP.
Kalau ditambahkan dengan defisit ABPD se-Indonesia yang diperkirakan pemerintah sebesar 0,5 persen dari GDP, berarti total defisit kita sekarang 3,14 persen GDP. Ini berarti melanggar bataÂsan 3 persen sesuai digariskan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Terus terang saja kami memÂberikan apresiasi yang luarbiasa atas pidato Bapak Presiden untuk melakukan penghematan energi di berbagai bidang, terÂmasuk proÂgram diversifikasi energi. Kami juga mengharapÂkan jajaran keÂmenterian teknis yang menangani program-proÂgram tersebut dapat mengimÂplementasikan arahan Bapak Presiden lebih baik lagi agar tiÂdak terjadi distorsi dalam pelakÂsanaan di lapangan.
Apa ada jalan keluar mengaÂtasi masalah ini?
Menurut hemat saya, pemeÂrinÂtah harus mengajukan RAPBN-P 2012, atau perubahan kedua atas APBN 2012. Perbaikan dari sisi asumsi makro seperti inflasi diturunkan menjadi 4 persen, lifting minyak yang lebih reaÂlistis, 900 ribu barel per hari meÂnurut saya lebih realistis walauÂpun akan menurunkan peneriÂmaan migas kita.
Pertumbuhan ekonomi kita juga perlu lebih dicermati karena dari target 6,5 persen, kenyaÂtaannya di kwartal 1 ini hanya 6,3 persen. Dari sisi postur juga kita perlu penyesuaian untuk peningÂkatan penerimaan negara dari sumber lain seperti pajak dan pengÂhematan belanja negara yang kurang prioritas. Intinya kita perlu mengamankan APBN kita agar defisitnya tidak menyentuh 3 persen.
Bagaimana caranya?
Mengutak atik penerimaan dan belanja selama tidak meÂnganggu iklim usaha dan kinerja pemeÂrintah. Kita juga masih dapat menggunakan SAL yang ada saat ini yang dalam perÂhitungan saya masih tersisa Rp 67 triliun karena digunakan Rp 30 triliun pada APBN-P 2012.
Banyak daerah langka BBM, apa yang perlu dilakukan?
Masalah yang utama menurut saya adalah kita tidak memiliki data base kebutuhan riil BBM non subsidi. Kita hanya mematok kuota BBM subsidi, sehingga tidak bisa dipantau jika terjadi transfer pemakaian dari BBM non subsidi ke BBM subsidi. Selain itu, pengawasan kita juga lemah. Pembatasan BBM berÂsubsidi tidak dijalankan oleh pemerintah.
Untuk itu perbaikan data base perlu dilakukan melalui audit penggunaan BBM bersubsidi dan subsidi, penguatan pengawaÂsaÂnan pemerintah harus berani melakukan pembatasan. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: