WAWANCARA

Fahmi Idris: Saya Ikut Gugat Grasi Corby Bukan Gara-gara Sakit Hati

Jumat, 01 Juni 2012, 08:43 WIB
Fahmi Idris: Saya Ikut Gugat Grasi Corby Bukan Gara-gara Sakit Hati
Fahmi Idris

RMOL. Bekas Menteri Perindustrian Fahmi Idris bukan ahli hukum. Tapi ikut bergabung dengan Adnan Buyung Nasution dan Yusril Ihza Mahendra mau menggugat pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby.

Yusril Ihza Mahendra dan Fah­mi Idris terkena reshuffle ka­bi­net saat perombakan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Kemu­dian Adnan Buyung Nasution per­nah menjadi Dewan Pertim­bangan Presiden.

“Saya tidak sakit hati karena ter­­kena reshuffle kabinet. Ini ti­dak ada kaitannya dengan guga­tan tersebut. Masalah narkoba ini kan musuh masyarakat. Saya me­rasa prihatin saja, kenapa diberi­kan grasi terhadap narapidana nar­koba,’’ ujar Fahmi Idris ke­pada Rakyat Merdeka, kemarin.

Seperti diketahui, Yusril Izha Mahendra mengaku telah ditun­juk Gerakan Nasional Anti Madat (Granat) untuk menjadi koordina­tor tim kuasa hukum Granat da­lam menggugat presiden ke PTUN.

“Saya barusan (Senin, 28/5) rapat dengan Pak Adnan Buyung, Hikmahanto Juwana, Fahmi Idris, minta saya jadi ketua tim un­tuk menggugat pemberian grasi kepada Corby,” kata Yusril.

Fahmi Idris selanjutnya me­nga­takan, pemberian grasi lima tahun kepada Corby telah me­lang­gar rasa keadilan masyarakat yang terganggu hidupnya karena narkoba.

“Dengan pemberian grasi ke­pada Corby, maka baik pemakai maupun yang sedang menjalani hukuman di penjara akibat nar­koba pasti akan terganggu rasa kea­dilannya,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Presiden memberikan grasi se­suai konstitusi, apanya yang digugat?

Saya rasa sudah jelas. Secara in­ternasional ada dua musuh besar masyarakat yaitu terorisme dan narkoba. Makanya dikeluar­kan konvensi pemberantasan narkoba.

Indonesia pun menerima kon­vensi itu, dan sudah ada Undang-Undangnya. Tapi kita langgar aturan itu. Padahal, narkoba itu ancaman bagi kehidupan umat manusia. Maka harus diperangi, dilawan dan dihukum berat.


Pemberian grasi itu meru­pa­kan hak presiden, kenapa di­per­masalahkan?

Benar. Saya akui grasi itu hak presiden untuk diberikan kepada orang-orang yang terkena huku­man. Tapi harus lihat dulu dong hukuman apa yang diberikan oleh orang-orang yang diberi grasi itu.

Kalau pelaku teroris dengan hukuman mati, tidak diberi grasi.

Maka sudah seharusnya nara­pi­dana narkoba juga tidak diberi­kan. Sebab, di mata dunia, nar­koba itu saudara kembarnya te­ror­isme.  Ini berarti tidak kosis­ten. Apa­lagi ini permintaan Australia.

    

Yakin gugatan itu menang?

Ya dong. Kita sudah melaku­kan rapat yang dihadiri beberapa pakar hukum. Seharusnya jangan berbelas kasihan dengan orang-orang yang terlibat narkoba.

   

Apa hasil rapat itu?

Kita membicarakan tentang pengajuan gugatan. Sekarang se­dang mempersiapkan. Saya rasa, tidak semudah mengembalikan tangan.

   

Anda menilai pemerintah ta­kluk dengan permintaan Aus­tra­lia?

Bisa dibilang begitu. Presiden itu kan harus minta na­sihat, ha­rus dilihat keja­hatan apa yang di­la­kukan orang itu. Kalau kasus­nya terorisme dan narkoba, wa­laupun yang minta se­luruh dunia, jangan di­kabulkan dong.

Masa yang min­ta Aus­tralia saja kita sudah takut. Apa yang mem­buat kita takut. Padahal kalau kita laksanakan hukuman itu, mau bilang apa Australia.

   

Barangkali takut menggangu hubungan diplomatik dengan Australia?

Saya yakin nggak akan ter­ganggu sedikitpun. Bahkan mereka akan menghargai kepu­tu­­san kita jika tidak memberikan grasi. Atau Corby ini bisa di­beri­kan hukuman seimbang. Misal­nya, tidak diberikan grasi tetapi hukumannya dilanjutkan di Aus­tralia. Itu masih dapat di­me­ngerti.

Ada contoh kecil, anak-anak muda dari Inggris melakukan pelanggaran di Singapura dan dikenakan hukuman cambuk. Lalu, pemerintah Inggris melalui Menlu, Perdana menteri hingga Ratu Elizabeth agar Singapura membatalkan hukuman itu.

Namun, sesuai dengan ke­ten­tuan hukum di Singapura, meski sebagai negara kecil tetap me­nolak permintaan Inggris. Tapi hubungan diplomatiknya tetap berjalan baik.


Artinya Indonesia tidak te­gas?

Di Asia ini kan terkenal yang melakukan pelanggaran terhadap narkoba hukumannya berat. Ka­lau di Singapura, Malaysia, Thai­land hukumannya mati. Hanya di Indonesia saja yang lemah sekali, sehingga Indonesia ini dibanjiri barang-barang gelap itu.

Seperti kita ketahui bahwa be­lum lama ini masuklah 1,3 juta bu­tir ekstasi. Karena Indonesia di­anggap aman. Apalagi sekarang diberikan grasi, mereka akan meng­anggap enteng hukuman di In­donesia ini.

   

Apa dampak pemberian gra­si itu?

Kita dianggap sebagai negara yang tidak konsisten menerima konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sudah meng­anggap narkoba sebagai musuh manusia.

Selain itu, kejadian ini menun­jukkan bahwa kita mendeklarasi­kan negeri ini bisa dimasuki obat-obatan terlarang. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA