Kasus Surat Putusan Palsu Mahkamah Konstitusi Aneh

Sebagian Bukti Dinyatakan Sudah Hilang

Rabu, 28 Maret 2012, 09:46 WIB
Kasus Surat Putusan Palsu Mahkamah Konstitusi Aneh
ilustrasi

RMOL. Kasus surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditangani Bareskrim Polri tampaknya tak bakal tuntas secara utuh. Otak pemalsuan itu sepertinya tak bakal menjadi tersangka, apalagi terpidana. Tanda-tanda itu sudah tampak dari pernyataan Kepala Bareskrim Komjen Sutarman, bukti yang dicari kepolisian sebagian sudah hilang.

Akan tetapi, Ketua Panja Mafia Pemilu DPR Chairuman Harahap mengingatkan, kepolisian tidak bisa begitu saja menghentikan kasus ini. Soalnya, alur persi­da­ngan kasus itu sudah sangat jelas.

Lantaran ada yang divonis ber­salah sebagai pembuat surat, ten­tu ada pihak lain yang berperan se­bagai pengguna surat. Per­soa­lan­nya, baru pihak pembuat surat yang menjadi tersangka dan ter­dakwa perkara tersebut. “Aneh, pengguna surat yang  sudah ter­buka di pengadilan, tidak segera dijadikan tersangka,” katanya, kemarin.

Semestinya, lanjut Chairuman, kepolisian cermat membaca fak­ta-fakta hukum yang sudah ter­papar di persidangan. Hal itulah yang seharusnya menjadi pe­do­man kepolisian menentukan arah penyelidikan dan penyidikan. “Fakta hukum yang terungkap di pengadilan itu bersifat mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar.

Jadi, tak ada alasan bagi ke­po­lisian untuk tidak melanjutkan pro­ses kasus ini. Dalih bukti-bukti ada yang hilang, tidak bisa men­jadi alasan untuk meng­hen­ti­kan perkara,” tegasnya.

Selaku pelapor, Ketua Mah­ka­mah Konstitusi Mahfud MD me­nyerahkan penanganan kasus ter­sebut ke kepolisian. We­wenang melanjutkan atau menghentikan perkara surat palsu itu, lanjutnya, ada di tangan kepolisian.

“Terserah polisi. Kewajiban kami melaporkan, dan itu sudah kami lakukan,” ujar bekas Men­teri Pertahanan ini.

Kepala Bareskrim Komjen Su­tarman mengaku, Polri kesulitan menemukan bukti kasus surat palsu putusan MK. Soalnya, bukti yang dicari kepolisian sebagian sudah hilang. Bahkan, bukti yang hilang adalah bukti vital.

Yaitu, bukti elektronik berupa data percakapan telepon. Di situ terekam pembicaraan para pihak, yang dicurigai sebagai peran­cang, pembuat dan pengguna su­rat palsu tersebut.

Dia menduga, bukti elektronik tersebut hilang akibat tenggat waktu penyimpanannya sudah dua tahun lebih. Sutarman me­nam­bahkan, jajarannnya sudah beru­sa­ha melacak bukti dengan meng­kopi salinan data telepon dari ser­ver operator.  “Servernya sudah kami angkat, kami taping. Tapi bukti-buktinya sudah hilang,” kata bekas K­a­polda Metro Jaya ini.

Kendati begitu, Sutarman me­ngaku belum memastikan apakah akan menghentikan perkara ini atau tidak. Yang jelas, polisi be­lum menetapkan tersangka baru kasus surat palsu putusan MK, terkait sengketa perolehan suara calon anggota DPR pada Pemilu Legislatif 2009 di Daerah Pe­mi­lihan (Dapil) Sulawesi Selatan I. “Jika buktinya cukup, kepolisian tidak ragu mengambil langkah hukum,” katanya.

Seperti diketahui, surat palsu MK itu berisi penjelasan tentang sengketa penghitungan suara Pileg untuk Dapil Sulsel I. Surat palsu itu diduga dijadikan dasar rapat pleno KPU, sehingga me­mu­tuskan caleg dari Partai Ha­nura, Dewie Yasin Limpo sebagai peraih kursi anggota DPR pada Pileg 2009 dari Dapil Sulsel I. Namun, setelah MK mengungkap surat yang dipakai palsu, KPU mengubah keputusannya.

Gara-gara kasus itu, bekas ang­gota KPU yang kini pengurus DPP Partai Demokrat Andi Nur­pati, bekas hakim MK Arsyad Sa­nusi dan anaknya, Nesyawati sem­pat diperiksa penyidik Mabes Polri se­bagai saksi. Arsyad dan Nesyawati belakangan diketahui saling kenal dengan Dewi Yasin Limpo.

Pentingnya bukti berupa re­ka­man telepon ini dilatari penga­kuan terpidana Masyhuri Hasan. Di persidangan, bekas juru pang­gil MK ini menyatakan, beberapa kali menerima telepon dari se­jum­lah orang seperti Andi Nur­pati yang meminta surat segera di­kirim. Sedangkan kontak tele­pon dengan Dewi Yasin Limpo, se­butnya, berisi agar salinan surat MK segera disampaikan ke KPU.

Sejauh ini, Polri baru sebatas menjerat dua tersangka pembuat su­rat palsu MK, yakni bekas Pa­ni­tera MK Zaenal Arifin Hoesein dan Masyhuri. Masyhuri telah di­vonis terbukti bersalah dan di­pi­dana penjara selama satu tahun.

Padahal, Polri mengakui, da­lam ka­sus surat palsu ini terjadi pe­lang­­garan pidana dari pihak pem­buat, pengguna dan pemberi pe­rin­tah atau aktor intelektual.

REKA ULANG

Terbukti Palsukan Surat Bersama-sama

Dalam persidangan kasus surat palsu putusan Mahkamah Kons­titusi, juru panggil MK Masyhuri Hasan menyebut nama caleg Par­tai Hanura Dewi Yasin Limpo, ha­kim MK Arsyad Sanusi dan anak­nya Nesyawati, serta anggota KPU Andi Nurpati.

Majelis Hakim yang mena­nga­ni perkara ini, kemudian me­mu­tus Masyhuri terbukti terlibat pemalsuan tersebut, sehingga di­jatuhi vonis satu tahun penjara.

“Menyatakan terdakwa telah ter­bukti secara sah dan meya­kin­kan memalsukan surat secara ber­sama-sama,” kata Ketua Majelis Hakim Herdi Agusten dalam si­dang di Pengadilan Negeri Ja­kar­ta Pusat, Selasa (3/1).

Kendati begitu, yang kemudian men­jadi tersangka setelah Masy­huri, baru sebatas bekas panitera MK Zaenal Arifin Hoesein. Sam­pai saat ini, berkas per­ka­ra Zaenal pun belum lengkap. Belum bisa dibawa ke pengadilan.

Menurut Kepala Bareskrim Polri Sutarman, jajarannya masih perlu menambah bukti untuk menguatkan sangkaan seperti yang diminta kejaksaan. Dengan begitu, berkas perkara Zaenal baru bisa naik ke penuntutan.

Sutarman menjelaskan, belum lengkapnya berkas perkara (P-19) tersangka Zainal terkait pada masalah pembuktian. Sehingga, kejaksaan mengembalikan berkas tersebut ke Bareskrim.

Jaksa peneliti kasus ini menilai, berkas kurang lengkap karena tidak menyertakan bukti berupa rekaman telepon dan data ko­munikasi tersangka dengan pihak lain yang dicurigai terlibat per­kara tersebut.

Petunjuk jaksa, kata Sutar­man, tengah dilengkapi penyidik Polri. Persoalannya, yang dimin­ta jaksa masuk kategori bukti yang sulit. Pasalnya, bukti be­rupa rekaman pembicaraan tele­pon tersangka dengan pihak lain­nya telah hilang.

Namun, katanya, kepolisian tetap berupaya opti­mal me­leng­ka­pi berkas perkara tersangka Zai­nal. Apalagi, lengkapnya ber­kas perkara tersebut akan mem­bantu kepolisian menen­tu­kan siapa tersangka baru kasus ini. “Bu­kti ini sangat penting dan sulit,” katanya.

Cari Siapa Yang Sengaja Hilangkan Barang Bukti

Andi Rio Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­nilai, kepolisian kurang optimal menindaklanjuti kasus surat putusan palsu Mahkamah Kons­titusi (MK).

Jika bukti-bukti pembicaraan telepon hilang, menurut dia, se­harusnya polisi mencari siapa pihak yang diduga meng­hi­langkan bukti tersebut. “Jangan berhenti sampai di situ saja,” katanya, kemarin.

Dia mengakui, penelusuran ka­sus ini membutuhkan ke­cer­matan. Akan tetapi, hilangnya barang bukti tak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan perkara ini.

Malah, ia berpendapat, kasus ini bisa dikembangkan ke ber­bagai arah, asalkan para pim­pi­nan dan penyidik Bareskrim te­liti dan tekun.

Andi juga yakin, kasus yang relatif rumit ini melibatkan ba­nyak kalangan. Artinya, ke­ja­ha­tan seperti ini bukan keja­ha­tan individual. “Ada kelompok terorganisir yang me­la­ks­an­a­kan kejahatan secara kons­pi­ratif,” tuturnya.

Lantaran itu, dia me­nya­yang­kan jika fakta persidangan yang sudah terpapar gamblang, tak direspon kepolisian. Me­nu­rut­nya, banyak pintu masuk yang bisa digunakan kepolisian untuk mengungkap kasus ini.

Keterangan pelapor, saksi-saksi dan terdakwa dinilai cu­kup untuk mengembangkan pe­nyeliidkan. Jadi, sambung dia, kepolisian tidak bisa berpatokan pada metode  penyelidikan yang baku.

“Harus inovatif dalam me­nen­tukan langkah. Dengan be­gitu, kasus ini bisa diungkap se­cara gamblang. Tidak me­nyi­sa­kan tanda tanya lagi bagi ma­sya­­rakat,” ujarnya.

Terkesan Ada Rasa Sungkan

Neta S Pane, Ketua Presidium IPW

Ketua Presidium LSM Indo­nesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, pola penye­lidi­kan dan penyidikan kasus surat putusan palsu MK me­nun­juk­kan, kepolisian ragu-ragu me­nun­taskan perkara itu.

Bisa jadi, katanya, keragu-raguan itu muncul karena ada pe­rasaan sungkan untuk me­nin­dak oknum yang punya kede­katan dengan kekuasaan. “Apa pun posisinya, hendaknya prin­sip penegakan hukum tidak bo­leh surut,” katanya.

Siapa pun pada dasarnya mem­punyai kedudukan hukum yang sama. Dengan begitu, ti­dak boleh ada tebang pilih da­lam penanganan kasus ini.

Menurut dia, kepolisian hen­daknya tidak bisa diintervensi siapa pun. Posisinya sebagai penegak hukum, harus bebas kepentingan. Dengan asumsi itu, maka kasus seberat apa pun pasti dapat dituntaskan sampai akar-akarnya.

 Dia sangat menyayangkan, kasus ini berjalan lambat. Apa­lagi, kasus ini merupakan kasus yang dilaporkan Ketua Mah­ka­mah Konstitusi Mahfud MD. Menurutnya, laporan ketua lembaga tinggi negara tersebut memiliki bobot yang tinggi alias penting.

Dia yakin, jika tak punya bo­bot yang sangat penting, Mah­fud MD tak akan rela lembaga dan anak buahnya diobok-obok oleh kepolisian. Jadi, kata dia, sayang jika pengusutan kasus ini hanya berjalan setengah-setengah.

Apalagi, tambahnya, kasus ini juga direspon Komisi II DPR dengan membentuk Panja Ma­fia Pemilu. Artinya, kepolisian hendaknya mampu menafsirkan dan menjawab rekomendasi politik yang telah disampaikan. “Ini sangat penting untuk di­jawab kepolisian dengan sikap dan cara yang profesional. Bu­kan sebalik­nya,” tutur Neta. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA