WAWANCARA

Didi Irawadi Syamsuddin: Kepentingan Koruptor Dikatakan Hak Asasi, Rakyat Marah Besar

Minggu, 25 Maret 2012, 09:02 WIB
Didi Irawadi Syamsuddin: Kepentingan Koruptor Dikatakan Hak Asasi, Rakyat Marah Besar
Didi Irawadi Syamsuddin
RMOL.Apakah kebijakkan penge­tatan remisi bagi koruptor dan teroris sudah sesuai dengan atu­ran hukum yang berlaku?

Kebijakan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM ten­tang pengetatan pemberian re­misi dan pembebasan ber­syarat telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pe­masya­rakatan, Pera­turan Pe­me­rintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksa­naan Hak Warga Binaan Pema­syara­katan, serta Peraturan Menteri Hu­kum dan HAM Nomor M.01.Pk.04-10 Tahun 2007 ten­tang Syarat dan Tata Cara Pelak­sanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Yang patut digarisbawahi, PP dan Peraturan Menteri di atas menyebutkan pula bahwa pem­bebasan bersyarat bagi narapi­dana korupsi wajib memper­hati­­kan rasa keadilan masya­rakat. Saat ini, sebagian masya­rakat tak henti-hentinya menu­ntut peme­rintah agar secara kon­sisten dan sungguh-sungguh memberantas korupsi.

Beberapa anggota Komisi III DPR seperti Bambang Soe­satyo dari Golkar misalnya, meng­anggap bahwa ada peraturan yang dilanggar?

Kebijakan pengetatan pembe­rian remisi dan pembebasan ber­syarat bagi koruptor tak me­langgar ketentuan dalam Un­dang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan kebijakan itu sela­ras dengan ke­tentuan hu­kum internasional, yang diatur melalui kon­vensi internasional tentang UNCAC (United Nations Con­vention Againts Corruption) Tahun 2003, yang telah dirati­fikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Menurut UNCAC Tahun 2003, negara harus memper­tim­bangkan secara ketat pemberian pembe­basan bersyarat bagi narapidana korupsi.

Apakah dasar hukum terse­but cukup untuk menjadi dasar kebijakan?

Dasar hukumnya sudah ada tuh, kalaupun perlu ada penyem­purnaan dasar peraturan dalam pengambilan kebijakkan ini, ti­dak harus dengan cara menga­ju­kan interpelasi. Kalaupun seba­gian kawan-kawan di DPR me­mandang perlu adanya perbai­kan aturan dalam penerapan kebijak­kan tersebut tentu bukan di forum interpelasi, mari kita duduk ber­sama, kita benahi ber­sama. Gitu dong. Menteri Hu­kum dan HAM dan kawan-ka­wan Komisi III dapat duduk ber­sama dan sem­purnakan pengam­bilan keputusan tersebut sesuai aturan. Bukan dengan interplasi.

Kenapa Anda anti-inter­plasi?

Karena interpelasi seharusnya digunakan untuk kebijakkan yang gawat, misalnya harga sandang pangan tidak terkira dan tidak terjangkau jutaan orang, boleh kita melakukan interpelasi. Atau misalnya fasilitas kesehatan publik menyangkut obat-obatan tiba-tiba sulit didapat, atau pen­didikan secara nasional jauh dari ha­rapan atau terpuruk itu boleh, nah itu silakan interpelasi.

Jadi inter­pe­lasi pe­nge­ta­tan remisi yang diajukan beberapa anggota DPR tersebut tidak tepat?

Kalau interpelasi ini untuk segelintir kepentingan koruptor, jelas tidak tepat forumnya. Ka­rena itu menyangkut kepentingan yang sempit. Sebagai rakyat kita juga pasti bertanya dong, selama ini interpelasi dimanapun untuk kepentingan umum.

Pendukung interpelasi meng­anggap interpelasi untuk pene­gakan hukum bukan dukung koruptor...

Jangan tanyakan hal ini kepada saya, karena itu kan alasan mereka. Tapi kalau kita tanya ke mayoritas publik Indonesia. La­ku­kan polling hari ini, mayoritas rakyat Indonesia pasti tidak ber­kenan jika hak interpelasi hanya sekadar untuk segelintir orang yang bermasalah dengan hukum.

Itu kan alasan mereka, silakan saja mereka ngomong begitu, tapi kenyataanya bagaimana. Silakan wawancarai LSM-LSM dan para penggiat antikorupsi dan seba­gian besar tokoh masyarakat yang mempunyai komitmen meme­rangi korupsi, mereka tidak akan mau sekadar kepentingan sempit para koruptor ini dibawa ke hak interpelasi koruptor.

PTUN mengabulkan guga­tan terhadap pengetatan remisi tersebut...

Putusan itu terhadap tujuh orang, ya kita ikuti alur PTUN. Dan gugatan ini kan hanya ber­dampak pada tujuh orang, tetapi kebijakkan atau semangat pe­ngetatan itukan tentu tidak boleh surut sampai kapan pun.

PTUN gugatan terhadap tujuh orang yang sebelumnya men­dapat hak dari Kementerian sudah diakui pemerintah. Guga­tan itu menyangkut orang-orang sebelum kebijakkan menteri yang baru dan itu sudah dikoreksi, jadi mereka tentu dilepaskan. Tetapi kebijakkan ini selanjutnya nggak boleh terhenti dong.

Kalau dari kaca mata Hak Asasi Manusia, apakah tepat jika pengetatan ini dianggap melanggar HAM?

Tidak tepat dong. Kalau kita lihat deklarasi Hak Asasi Manu­sia, HAM adalah hak untuk hi­dup, hak untuk mendapatkan ke­merdekaan berpendapat, meme­luk agama, mendapat pendidikan, hak-hak yang melekat sejak dilahirkan.

Sedangkan remisi kan hadiah dari negara, masa hak asasi ma­nusia. Remisi ini kan kebijakan negara, kalau kepentingan korup­tor lalu dikatakan hak asasi bisa marah rakyat. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA