WAWANCARA

Bambang Soesatyo: Amir Dan Denny Jilat Ludah Sendiri

Minggu, 25 Maret 2012, 08:56 WIB
Bambang Soesatyo: Amir Dan Denny Jilat Ludah Sendiri
Bambang Soesatyo
RMOL.Kenapa Anda mendukung in­terplasi pengetatan remisi ko­ruptor?

Kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi sudah cacat sejak awal. Semula, judul ke­bijakannya ‘Moratorium Re­misi’. Karena dihujani kecaman dari masyarakat, beberapa jam ke­mudian judul kebijakan itu beru­bah menjadi ‘Pengetatan Remisi’. Tetap saja kebijakan ini illegal karena melanggar Un­dang Un­dang Nomor 12 Ta­hun 1995 ten­tang Pemasyara­katan, dan me­langgar Peraturan Peme­rintah Nomor 28 Tahun 2006 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasya­ra­katan, terma­suk pem­berian remisi.

Mekanisme apa yang di­langgar?

Mekanisme penetapan kebija­kan ini sangat amatiran. Kebija­kan ini ditetapkan melalui telepon oleh Denny Indrayana (Wamen­kumham) pada 30 Oktober 2011. Keesokan harinya, 31 Oktober 2011, perintah lisan itu langsung dijadikan surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan. Tampak serba buru-buru, karena surat edaran itu bertujuan segera membatalkan pelaksanaan surat keputusan (SK) Remisi Menkumham yang diterbitkan Menkumham sebe­lum­nya. SK Remisi Menkumham itu akan diterbitkan Menkumham sebelumnya.

Surat keputusan (SK) remisi Menkumham itukan diberlaku­kan bagi 102 terpidana koruptor dan narkotika, untuk periode 28 hingga 30 oktober 2011. Agar pembatalan itu sah, diterbitkanlah surat keputusan Menkumham yang membatalkan remisi para terpidana. Tetapi tanggal pener­bitan SK pembatalan itu dua minggu kemudian, tepatnya 16 November 2011. Tetap saja tam­pak konyol Kepmen (Keputusan Menteri) pembatalan itu merujuk ke PP No. 32/1999, tetapi PP ini sudah usang, sebab telah diganti dengan PP No.28/2006.

Akibat penetapan kebijakkan yang demikian amatiran itu, 102 narapidana merasa dizolimi oleh Menkumham dan wakilnya.

Apa ada dasar lain yang mem­buat Anda yakin ada atu­ran yang dilanggar dalam kebi­jak­kan tersebut?

Fakta tentang penzoliman itu sudah diperkuat PTUN. Setidak­nya kebijakkan pengetatan remisi itu sudah diuji pengadilan. Ke­bijakkan itu nyata-nyata berten­tangan dengan undang-undang yang berlaku. Wajarlah jika sis­tem hukum juga memberi ruang kepada 102 narapidana yang dizolimi itu untuk mengajukan tun­tutan kepada pihak yang me­lakukan penzoliman.

Menkumham Amir Syam­suddin kan ajukan banding...

Kita menduga, Langkah Amir Syamsudin dan Denny Indrayana menjilat ludahnya sendiri dengan mengajukan banding, patut di­duga untuk menghindari tang­gung jawab hukum perbuatan mereka yang mengarah pada pelanggaran Pasal 421 KUHP Buku ke II Bab 27 tentang keja­hatan jabatan yang bunyinya:  “Seorang pejabat yang menya­lahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiar­kan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan” dan atau pasal 333 KUHP dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara. Adapun isi pasal 333 ayat 1: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseo­rang atau meneruskan peram­pasan kemerdekaan yang demi­kian, diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.”

Terkait dengan pasal 421 patut diduga Denny dengan kewe­nangan­nya mengeluarkan surat edaran yang kemudian disusul oleh SK menteri yang kemudian dilaksanakan oleh jajarannya yang berakibat dirampasnya hak-hak orang lain, dalam hal ini terpidana yang seharusnya sudah memenuhi syarat untuk men­dapat kebebasan bersyarat.

Argumen Menkumham, pe­ngetatan tersebut dilakukan berdasarkan Undang-Undang 12/1995, UU 32/1999. PP 28/2006 dan sesuai dengan kese­pa­katan UNAC (United Nation Against Corruption)...

Yang dipersoalkan DPR bukan pengetatannya. Kita setuju remisi dihapuskan. Tapi tidak boleh dengan melanggar aturan dan undang-undang. Katanya ahli hukum, masa tidak mengerti ba­gaimana untuk merubah keten­tuan peraturan dan Undang-undang. Dan itu terkonfirmasi da­lam keputusan PTUN bahwa kebijakkan abal-abal itu salah.   

Ada yang menilai interplasi da­lam kasus ini tidak tepat...

Yang bilang tidak tepat itu ti­dak mengerti hukum, tapi me­nya­lahgunakan kekuasaan. Ini ne­gara hukum, bukan negara suka-suka.

Untuk kepentingan siapa in­terplasi itu? Apakah bela ko­rup­­tor?

Kepentingan hukum. Sebab, kita setuju koruptor dihukum mati.

Kami tantang pemerintahan hari ini untuk memasukkan hu­kuman mati pada koruptor pada RUU Tipikor yang masih di tangan pemerintah. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA