Dijelaskan, kebijakan BLSM kepada penduduk miskin sebesar 150 ribu per bulan secara teknoratis memang akan membantu mengkonversi penambahan pendapatan orang miskin menghadapi potensi inflasi yang tinggi dalam jangka pendek.
"Bagi saya, kebijakan ini bisa diterima tetapi tetap abai variabel lain, bahwa fakta empirik selama ini membuktikan tingkat inflasi selalu lebih tinggi dari perkiraan teknorasi yang dihitung oleh pemerintah maupun pihak lembaga penelitian kampus," jelas ekonom Dahnil Anzar Simanjuntak kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 2/3).
Dia mencontohkan kasus inflasi ketika kenaikan BBM dua kali pada periode kepemimpinan Presiden SBY pada periode pertama. Perkiraan pemerintah dan dunia kampus, inflasi ada pada kisaran 7-10 persen. Tapi, faktanya inflasi akibat kenaikan dua kali harga BBM tersebut mencapai 17 persen. Kenaikan jumlah orang miskin justru tetap terjadi meskipun ada bantuan langsung tunai.
Kedua, sambung Dahnil, pemerintah abai terhadap fakta bahwa orang miskin yang mencapai 29,89 juta jiwa (BPS, September 2011) itu akan dibantu via BLSM sebesar 150 ribu masih akan tetap miskin meskipun mereka memperoleh bantuan tersebut. Karena inflasi justru langsung menghajar daya beli mereka bahkan kemungkinan 150 ribu itu sama sekali tidak membantu karena inflasi yang lebih tinggi.
Ketiga, masih kata Dahnil, pemerintah abai terhadap kemungkinan besar akan tertariknya mereka yang selama ini berdasarkan data BPS adalah masuk kategori masyarakat hampir miskin yang jumlahnya mencapai 27, 12 juta jiwa atau 10,28 persen yang akibat dari kenaikan BBM ini akan menyeret mereka ke dalam garis kemiskinan dan mereka ini sama sekali tidak memperoleh BLSM itu. Belum lagi mereka yang tidak miskin kemungkinan juga akan tertarik ke hampir miskin akibat inflasi tersebut.
"Oleh sebab itu, saran saya pemerintah fokus pada antisipasi dan pengendalian inflasi. karena justru inflasi ini yang akan sangat mengancam ekonomi indonesia pasca kenaikan BBM. Oleh sebab itu rencana, rencana kebijakan kenaikan TDL (tarif dasar listrik) atau administered price yang bisa menjadi faktor pendorong inflasi harus ditunda dulu," paparnya.
"Cukuplah kenaikan BBM yang menjadi faktor pendorong inflasi. Jangan ditambah lagi dengan faktor lain yang akan mengakibatkan inflasi menjadi sangat tinggi," demikian dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten ini. [zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: