Tapi dalam prakteknya, calon perseorangan menemui banyak hambatan. Tidak hanya dibebani persyaratan dukungan awal yang memberatkan oleh KPU, tetapi juga keihlasan kalangan parpol yang masih setengah hati terhadap munculnya calon independen.
"Dari hasil investigasi Pilkada DKI Watch di lapangan terhadap proses verifikasi faktual calon independen, ditemukan berbagai masalah yang muncul," kata Koordinator Pilkada DKI Watch, Yusak Farhan, dalam siaran pers yang diterima
Rakyat Merdeka Online, Senin (27/2).
Masalah itu antara lain, pertama, metode verifikasi faktual mengharuskan adanya verifikasi dukungan 100 persen sebagaimana diatur dalam peraturan KPU Nomor 13/2010 dan peraturan KPU DKI Jakarta nomor 06/Kpts/Kpu-Prov-010/2011. Padahal, UU 12/2008, tidak mengatur secara detail mekanisme verifikasi, apakah dengan sistem sampling atau semua dukungan. Dalam membuat peraturan verifikasi, harusnya KPU mempertimbangkan aspek teknis lapangan terkait dampak verifikasi 100 persen dukungan apalagi masa waktu verifikasi di PPS hanya 14 hari sesuai ketentuan UU 12/2008. Bahkan, praktik di lapangan, efektifnya tidak lebih dari enam hari.
"Dalam kasus Pilkada DKI, bagaimana mungkin menghadirkan atau mendatangi kurang lebih 1 juta pendukung dari dua calon independen untuk diverifikasi dalam tempo dua minggu? Bagaimana jika ada 3, 4, atau 5 pasangan calon independen yang mendaftarkan diri? Tentu saja ini sangat merepotkan PPS dalam melakukan verifikasi," lanjutnya.
Apalagi, metode yang digunakan di lapangan dalam prakteknya lebih dibebankan kepada pasangan calon, di mana tim sukses yang harus menggiring pendukung untuk dihadirkan dan diverifikasi PPS. Implikasinya, biaya politik pasangan calon independen semakin membengkak karena harus menyebar undangan, menghadirkan pendukung dan mengawal proses verifikasi langsung di lapangan.
Kedua, KPUD DKI Jakarta beserta perangkatnya (PPK, PPS) tampak tidak siap dengan implikasi metode verifikasi 100 persen atau seluruh pendukung pasangan calon independen. Selain minimnya anggaran verifikasi, KPU juga memiliki keterbatasan jumlah perangkat penyelenggara pemilu dibanding dengan jumlah dukungan yang harus diverifikasi.
Ketiga, telah ada penggiringan opini bahwa seolah-olah semua calon independen gagal karena melakukan manipulasi dukungan berupa KTP ganda, KTP kadaluwarsa dan lainnya. Padahal, mereka telah bekerja keras selama hampir satu tahun untuk mengumpulkan dukungan. Proses ini harus dihargai, apalagi pelaksanaan verifikasi masih berlangsung, dan belum ada keputusan fiinal dari KPU DKI Jakarta mengenai lolos tidaknya calon independen. Penggiringan opini tersebut adalah bentuk pendzaliman terhadap calon independen.
"Calon independen telah dizalimi keberadaannya oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan calon independen lolos verifikasi. Saya mendesak kepada semua kalangan untuk menghormati proses verifikasi faktual calon independen yang sedang dilaksanakan," ujarnya.
Dia ingatkan kembali kepada semua kalangan bahwa kehadiran calon independen adalah amanat UU, lahir dari perdebatan panjang dan melelahkan untuk memperkuat sistem politik Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.
"KPU DKI Jakarta beserta perangkatnya harus melaksanakan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan dengan memberikan waktu yang cukup agar dapat dibuktikan benar tidaknya dukungan warga," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: