Kejaksaan Agung Baru Sita Rumah & Duit Djoko Tjandra

MA Tolak PK Yang Diajukan Terpidana Kasus Bank Bali

Senin, 27 Februari 2012, 10:03 WIB
Kejaksaan Agung Baru Sita Rumah & Duit Djoko Tjandra
Djoko Tjandra

RMOL. Kejaksaan belum bisa melaksanakan perintah Mahkamah Agung untuk mengeksekusi terpidana kasus cessie (hak tagih utang) Bank Bali Djoko S Tjandra alias Tjan Kok Hui. Aset buronan ini yang disita pun baru sebatas rumah di bilangan Simpruk Golf I, Permata Hijau, Jakarta Selatan.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Noor Roch­mad menyatakan, Kejagung belum menerima salinan putusan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) kasus Djoko Tjandra.

Karena hal ini, kejaksaan be­lum bisa merinci lan­gkah detil un­tuk menyeret pu­lang Djoko dari Singapura. “Kami belum te­rima salinan putusan PK dari MA. Belum ada itu,” katanya, Ju­mat sore (24/2).

Salinan putusan MA, lanjut­nya, mutlak diperlukan untuk mengeksekusi terpidana maupun aset terpidana. Namun, dia tak bisa memastikan, kapan ke­jak­sa­an akan menerima salinan putu­san PK ke Kejagung. “Itu wewe­nang MA,” kata jaksa yang akan bertugas sebagai Kepala Kejak­saan Tinggi Sumatera Utara ini.

Selaku pelaksana tugas ekse­kusi aset Djoko, Kepala Kejak­sa­an Negeri (Kajari) Jakarta Se­latan Mayhudi pun mengaku be­lum bisa melaksanakan perintah ter­sebut. Senada dengan K­a­pus­pen­kum, dia mengatakan, pi­hak­­nya belum menerima tem­bu­san berupa salinan putusan PK dari MA.

Kepala Biro Hukum dan Hu­mas MA Ridwan Mansyur me­nyata­kan, MA tidak bisa begitu saja me­ngirim salinan putusan PK ke ke­jaksaan. Menurut dia, ketetapan isi putusan PK tersebut perlu dirang­kum dan dibenahi. Setelah ada pembenahan, baru salinannya di­kirim ke kejaksaan untuk ditin­daklanjuti dengan proses eksekusi serta ke tangan terpidana.

Sumber di lingkungan MA me­ng­informasikan, untuk mera­pi­kan salinan putusan PK, perlu waktu minimal satu bulan. “Pa­ling cepat satu bulan setelah putu­san, salinannya akan dikirim. Tapi kami berusaha selesaikan ini secepatnya,” kata dia.

Sebelumnya, Ketua Tim Pem­buru Koruptor (TPK) Darmono mengatakan, pihaknya masih melacak jejak pelarian Djoko. Iro­nisnya, dia menyebut bahwa ke­beradaan buronan tersebut sam­pai kini belum diketahui.

Wa­kil Jaksa Agung ini pun meminta bantuan semua pihak yang me­ngetahui keberadaan Djoko agar berkoordinasi dengan kejaksaan. Saat ditanya mengenai eksekusi aset Djoko, dia juga belum mau mengomentari hal ini secara gamblang.

Menurutnya, kejaksaan telah menyiapkan rencana eksekusi pada 16 Juni 2009. Akan tetapi, pada 10 Juni 2009, yang ber­sang­kutan sudah kabur dari Indonesia. Alhasil, eksekusi badan terhadap Djoko gagal dilakukan. Tim eksekutor yang terdiri dari jaksa Kejari Jaksel hanya menemukan rumah Djoko di bilangan Permata Hijau, Jaksel.

Sejak saat itu, Kejagung ber­koordinasi dengan kepolisian in­ter­nasional (Interpol) dan Ditjen Imigrasi. Pelacakan jejak Djoko diintensifkan dengan mem­a­suk­kan nama yang bersangkutan ke dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol.

Menanggapi perburuan Djoko, Kepala Bagian Pene­ra­ngan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, data Interpol se­lama ini meng­iden­ti­­fikasi Djo­­ko Tjan­dra berada di Si­nga­pura. “Ke­be­ra­daannya di­iden­tifikasi Interpol di Singa­pura. In­formasi me­­nge­nai hal ini se­lalu diterima Sek­re­tariat In­ter­pol Polri,” katanya.

Hanya, selama ini kepolisian menemukan kendala dalam me­ngeksekusi Djoko. Kendala yang dimaksud antara lain, tidak ada­nya perjanjian ekstradisi dengan Singapura serta belum tuntasnya per­kara hukum yang melilit bu­ronan tersebut. Bekas Kasat Ran­mor Polda Metro Jaya ini ber­ha­rap, putusan PK MA, bisa diman­faatkan Interpol memaksa bu­ro­nan itu pulang dari luar negeri.

Untuk eksekusi putusan PK MA terhadap bekas Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, Noor Rochmad juga be­lum bisa memperkirakan langkah yang akan dilaksanakan kejak­saan. Pasalnya, Syahril se­belum­nya sudah menjalani penahanan dan menyelesaikan kewajiban hukumnya.  Kajari Jakarta Pusat Febrytrianto pun mengaku se­na­da. Dia belum bersedia memberi keterangan rinci.

Persoalan eksekusi mencuat akibat MA menolak permohonan PK terpidana kasus BLBI terkait cessie Bank Bali, Djoko Tjandra dan Syahril Sa­bi­rin. “Me­nya­ta­kan menolak permohonan PK ter­pidana Djoko S Tjandra dan me­nyatakan putusan PK Nomor 12 PK/Pidsus/2009 tertanggal 12 Juni 2009 tetap dinyatakan berla­ku,” ujar Ridwan Mansyur.

REKA ULANG

Dari Tingkat Pertama Hingga PK

Djoko S Tjandra adalah terpi­dana kasus korupsi Bank Bali. Di pengadilan tingkat pertama, putu­san majelis hakim menyatakan Djoko lepas dari segala tuntutan hukum.

Majelis menilai, dakwaan jaksa terbukti, tetapi perbuatan Djoko bukan tindak pidana. Selanjut­nya, jaksa kasasi dan putusan ma­jelis hakim agung kasasi diwarnai dissenting opinion yang me­nyatakan Djoko dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.

Di tingkat PK (pertama), per­mo­honan PK jaksa dikabulkan. Djoko divonis dua ta­hun pen­jara dan diwajibkan mem­ba­yar denda Rp 15 juta. Uang DJoko se­besar Rp 546 mi­liar di Bank Permata -dulu Bank Bali- pun di­sita negara.

Sehari setelah pu­tusan PK itu, Djoko dinyatakan bu­ron ke Pa­pua Nugini dan me­lanjutkan pe­larian ke Singapura. Dalam pe­lariannya ini, Djoko mengajukan PK melalui kuasa hukumnya OC Kaligis. Hingga kini, Djoko ma­sih dinyatakan buron.

Kasus ini bermula dari piutang Bank Bali di Bank Dagang Ne­gara Indonesia (BDNI) sebe­sar Rp 598 miliar dan Bank Umum Nasional (BUN) Rp 200 miliar. Pada 11 Januari 1999, Bank Bali dan PT EGP (yang mengaku bisa menarik kembali dana tersebut) membuat perjanjian pengalihan hak tagih piutang (cessie).

Pada 3 Juni 1999, Badan Pe­nyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menginstruksikan trans­fer dana dari rekening Bank Bali di BI ke sejumlah rekening se­ni­lai Rp 798 miliar. Rinciannya ada­lah sebagai berikut, Rp 404 mi­liar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan

Setelah tagihan itu cair, PT EGP menyurati BPPN bahwa permintaan agar kewajiban BUN kepada Bank Bali£sebesar Rp 204 miliar dan bunga Rp 342 mi­liar (total Rp 546 miliar) diba­yar­kan kepada PT EGP. Selanjutnya, uang Rp 546 miliar tersebut men­jadi fee PT EGP yang ber­hasil mengalihkan piutang.

Namun karena kasusnya me­n­cuat dan Djoko Tjandra diadili, PT EGP menaruh duit tersebut di escrow account Bank Bali. Syah­ril juga ikut diadili dalam kasus tersebut karena dianggap terlibat dalam menyetujui pembayaran kepada PT EGP. Padahal, transfer dana ke rekening Bank Bali di BI tidak termasuk program penja­mi­nan pemerintah. Ini menga­ki­batkan negara dirugikan hingga Rp 904,64 miliar.

Dari tiga ter­dak­wa dalam ka­sus ini, yakni Syahril, Djo­ko Tjan­dra dan Pan­de N Lubis (se­laku Wakil Ketua BPPN), hanya Pande yang awal­nya te­r­bukti ber­salah. Pande di­ganjar hu­kuman empat tahun pen­jara, plus denda Rp 30 juta subsider enam bulan ku­rungan.

Tidak Boleh Lupa Tangkap Buron BLBI

Trimedya Pandjaitan Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan meminta Jaksa Agung Basrief Arief tidak takut menghadapi Djoko Soe­giar­to Tjandra. Selain mengu­pa­yakan penangkapan, jaksa diminta gencar mengembalikan aset negara yang dikemplang ko­­ruptor dana Bantuan Likui­di­tas Bank Indonesia (BLBI) itu.

“Yang paling krusial dalam kasus ini adalah bagaimana jak­sa mengupayakan pe­ngem­ba­li­an kerugian negaranya,” kata dia. Na­mun, persoalan penang­kapan buronan BLBI dalam ka­sus Bank Bali itu juga tak boleh di­lupakan. Hendaknya ada lang­kah siste­matis kejaksaan dalam memu­langkan buronan ini. “Jak­sa Agung tidak boleh takut de­ngan Djoko S Tjandra,” tandasnya.

Dia menilai, belum disam­pai­kan­nya salinan putusan penin­jauan kembali (PK) dari MA ke kejaksaan, tidak boleh jadi alasan jaksa tak menuntaskan masalah ini.

Trimedya pun mengingatkan, PK adalah proses hukum luar biasa. Semestinya, sebelum masuk tahap PK, jaksa sudah bisa bergerak mengeksekusi aset para koruptor.

Dengan kata lain, begitu per­kara masuk tahap kasasi, ke­jak­saan sudah mengeksekusi aset mereka. Atau paling tidak, mem­­bekukan dan memblokir aset orang-orang yang diduga bermasalah hukum. Dengan be­gitu, para terdakwa tidak sem­pat lagi melarikan atau meng­hi­langkan aset mereka. Se­hing­ga, kendala kesulitan menyita aset tidak senantiasa me­ng­gan­jal proses pengembalian ke­rugian negara.

Dia menambahkan, Djoko Tjandra lihai memanfaatkan celah hukum untuk meloloskan diri. Karena itu, penegak hukum tak boleh kalah melawan manu­ver koruptor ini. Dia meng­ingat­kan, kelihaian Djoko ter­lihat dari keberhasilannya kabur ke luar negeri. Selain itu, setelah bertahun-tahun, jaksa dinilai nyaris tak bisa menyentuh aset-aset Djoko di luar harta berupa rumah di kawasan Permata Hi­jau, Jakarta Selatan.

Ketakberdayaan jaksa mela­wan manuver buronan yang di­duga sembunyi di Singapura ini, tambahnya, menjadi pekerjaan rumah besar bagi kejaksaan. Dia pun berjanji akan menagih janji Jaksa Agung membe­res­kan hal ini.

Perlu Kerja Sama Dengan Yang Lain

Fadli Nasution Ketua PMHI

Ketua Perhimpunan Magis­ter Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution menyatakan, kepiawaian Djoko S Tjandra memporak-porandakan hukum di Tanah Air jadi pelajaran bagi jajaran penegak hukum. Ia pun meminta semua pihak memberi penilaian proporsional dalam menanggapi persoalan ini.

Di satu sisi, menurut dia, ke­jak­saan mempunyai tang­gung­jawab terbesar dalam kasus Djoko Tjandra. Namun peranan institusi lain dalam menangani kasus ini juga tidak boleh di­abai­kan. Menurutnya, Ditjen Imig­rasi Kementerian Hukum dan HAM, Interpol, Kemen­te­rian Luar Negeri dan Kemen­te­rian Keuangan hendaknya be­kerja­sama intensif dalam mengu­pa­yakan pemulangan buronan ini.

“Tanpa sinergi dari seluruh elemen tersebut, saya yakin Djoko S Tjandra tidak akan bisa dibawa pulang ke Tanah Air,” katanya.  Dengan kata lain, dia me­ngingatkan, persoalan me­nyangkut buronnya Djoko, hen­daknya tidak dibebankan pada kejaksaan saja. Seluruh  jajaran yang kompten di bidang terse­but, semestinya bahu-membahu menuntaskan kasus ini.

Dia menyatakan, ketidak­mam­­puan Tim Pemburu Ko­rup­tor saat ini, semestinya tak dijadikan sebagai alat men­diskreditkan kejaksaan. Justru sebaliknya, kinerja tim tersebut seharusnya didukung semua pihak. Apalagi sambungnya, tak sedikit koruptor di luar negeri mendapat perlindungan negara yang jadi lokasi persem­bu­nyian­­nya. Jadi, meski su­dah ada putusan hukum mengikat, ke­jaksaan kerap gagal meng­ek­se­kusi badan koruptor.

“Tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan negara lain membuat eksekusi badan ko­ruptor di luar negeri menjadi sulit,” tuturnya.

Karena itu, dia meminta pe­me­­rintah serius mengup­a­ya­kan langkah hukum lain dalam me­ngatasi problem model de­mi­kian. Dengan kata lain, ja­ngan sampai perjanjian eks­tradisi se­nantiasa jadi alasan yang me­ngganjal perburuan koruptor. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA