"Kalau sudah kejadian baru gelar operasi besar, mereka (polisi) itu ibarat sprinter bukan pelari marathon yang energinya bisa terpakai jangka panjang," kata Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Sabtu, 25/2).
Dari pengamatannya, sudah lama terbukti bahwa kepolisian bahkan jaksa dan hakim tidak berani menindak tegas para pelaku premanisme. Yang dimaksudnya tentu saja bukan preman-preman kelas teri yang berkeliaran di jalanan.
Bahkan, dalam banyak kasus yang mengakibatkan cacat seumur hidup pada korban, para pelaku premanisme cuma dijatuhi hukuman ringan. Penegakan hukum yang inkonsisten itulah yang menjadikan para pelaku semakin liar beraksi. Misalnya terhadap kepala preman John Kei, Pengadilan Negeri Surabaya cuma menjatuhkan delapan bulan penjara dalam perkara pemotongan jari saudara sepupunya di Tual, Maluku Tenggara, pada 2008 lalu.
"Sekali lagi saya yakin polisi tahu siapa saja kepala preman-preman itu, tapi dibiarkan, atau dalam bahasa saya, mereka takut kalau tidak berteman dengan preman," jelasnya.
Diungkapkan Mustofa, para preman ini bisa dimanfaatkan sebagai alat promosi jabatan di kalangan pejabat polisi. Sudah jadi rahasia umum bahwa beberapa petinggi Polri mengenal baik siapa saja tokoh-tokoh preman, khususnya di Ibukota.
"Kalau saatnya untuk ditangkap ya ditangkap, kalau saatnya bisa dilepas yang lepas juga. Itu bisa digunakan untuk promosi jabatan. Jelas selama ini keberadaan mereka dimanfaatkan," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: