Tersangka Kasus Pengadaan Sistem Info Pajak Ditahan

Sempat Minta Pemeriksaannya Ditunda

Rabu, 22 Februari 2012, 09:35 WIB
Tersangka Kasus Pengadaan Sistem Info Pajak Ditahan
Direktorat Jenderal Pajak
RMOL. Kejaksaan Agung kembali menahan seorang tersangka kasus korupsi pengadaan di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, kemarin.

Tersangka itu adalah Di­rektur Utama PT Berca Hardaya Per­kasa (BHP) Lim Wendra Ha­lingkar. Lim disangka terlibat kasus korupsi pengadaan sistem informasi direktorat jenderal pa­jak (SIDJP), jasa pemeliharaan sistem monitoring pembayaran Ditjen Pajak dan pelaksanaan mo­dul penerimaan negara (MPN) Ditjen Pajak tahun 2006.

Lim akan menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, sampai kasus tersebut disi­dang­kan. “Kejaksaan Agung me­la­ku­kan penahanan terhadap ter­sang­ka Lim Wendra Halingkar, sejak hari ini selama 20 hari di Rutan Ci­pinang,” ujar Kepala Pusat Pe­nerangan dan Hukum Ke­jak­sa­an Agung Noor Rochmad, kemarin.

Dijelaskan Noor, perintah pe­na­hanan Lim itu sesuai surat sprint penahanan nomor 01/42/fd.1/02/2012 tertanggal 21 Februari 2012. Alasan dilakukan pe­nahanan, lanjut dia, untuk ke­pentingan penyidikan serta ada­nya kekhawatiran tersangka meng­hilangkan barang bukti, mengulangi perbuatannya, dan atau melarikan diri. “Tersangka sudah ditahan tadi sekitar pukul dua siang,” katanya.

Noor menambahkan, penyidik ke­jaksaan masih mengem­bang­kan kasus tersebut. “Tapi, ter­sang­ka baru belum ada,” lanjut jak­sa yang akan menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara ini.

Sejak ditetapkan sebagai ter­sangka pada 12 Januari 2012 de­ngan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) SP DIK No: Print-03/F.2/Fd.1/01/2012, Lim dipanggil kejaksaan untuk diperiksa pertama kali pada Senin, 13 Februari 2012. Namun, Lim tidak memenuhi panggilan penyidik. Pihak Lim malah meminta waktu agar menghadap penyidik pada 20 Februari.

Sehari sebelum penahanan, yak­ni Senin 20 Februari 2012, Liem memenuhi panggilan pe­nyi­dik pidana khusus Kejaksaan Agung. Selain Liem, tim pe­nyi­dik juga memanggil Direktur Go­vern­ment and Public Sector PT Berca Hardayaperkasa, Michael Gu­nawan.  Michael diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang sama.

Pemeriksaan Liem mulai di­lakukan sekitar pukul 09.00 WIB, sedangkan Michael sekitar pukul 12.00 WIB. Liem merupakan reka­nan penyedia jasa dan barang yang juga berperan dalam pe­nandatanganan sejumlah kontrak kerja sama.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dari Ditjen Pajak, yakni Ketua Panitia Lelang Bahar dan Pejabat Pem­buat Komitmen Pulung Sukarno. Bahar meringkuk di Rutan Sa­lemba cabang Kejaksaan Agung, sementara Pulung di Rutan Sa­lemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus ini bermula ketika Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan sekitar Rp 12 miliar dalam proyek pe­ngadaan sistem informasi yang menelan anggaran Rp 43 miliar. Atas temuan BPK itu, jajaran Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus me­lakukan penyelidikan dan me­ning­katkan status perkara itu ke pe­nyi­dikan pada 3 November 2011.

Berdasarkan audit BPK terse­but, ditemukan alat-alat yang ti­dak ada wujudnya dalam pe­nga­daan sistem informasi itu. Pe­nyi­dik menjerat ketiga tersangka de­ngan Pasal 2 dan 3 Undang Un­dang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa.

Pada November 2011, pe­nyi­dik Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan di kantor Di­rek­torat Jenderal Pajak. Soalnya, me­nurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, pihak Ditjen Pajak yang diminta mem­berikan sejumlah dokumen, tak memenuhi permintaan penyidik.

“Kami tidak bisa menunggu lama. Makanya, kami melakukan penyitaan dan penggeledahan. Kami turunkan tim dan ternyata ditemukan dokumennya sudah dipindahkan dari kantor pusat ke kantor pelayanan Jakarta Barat,” katanya.

REKA ULANG

Selain Menahan Tiga Tersangka

Selain menahan tiga tersangka, tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung memanggil dan meme­rik­sa rekanan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, George Bratadidjaja sebagai saksi kasus pada Selasa (14/2).

George yang merupakan Sys­tem Enginer PT Cisco System In­donesia, dikorek keterangannya se­bagai saksi kasus korupsi pe­ngembangan sistem informasi Di­r­ektorat Jenderal Pajak, jasa pemeliharaan sistem monitoring pembayaran Ditjen Pajak dan pelaksanaan modul penerimaan negara Ditjen Pajak.

George di­pe­riksa mulai pukul sembilan pagi di kantor K­e­jak­sa­an Agung, Jalan Sultan Hasa­nud­din, Nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Selain mengorek keterangan sejumlah saksi, penyidik juga me­lakukan penggeledahan dan pe­nyitaan di sejumlah lokasi. An­tara lain di dua rumah, yakni di Jalan Madrasah, Gandaria, Ja­kar­ta Selatan dan di Komplek Ci­nere, Depok, Jawa Barat. Kedua ru­mah itu milik salah seorang ter­sangka kasus ini, yakni Ketua Panitia Lelang Bahar.

Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus Arnold Angkouw, peng­ge­ledahan dan penyitaan yang dila­kukan penyidik Kejaksaan Agung itu sudah sesuai dengan undang-undang.

“Sesuai dengan un­dang-un­dang, jaksa mem­punyai we­we­nang melakukan peng­g­eledahan, menyita, karena itu merupakan bagian pengum­pu­lan alat bukti, dan alat bukti itu yang kami pakai apakah ada pe­langgaran pida­na­nya,” kata dia.

Menurut Koordinator LSM Ma­syarakat Transparansi Indo­ne­sia (MTI) Jamil Mubarok, pe­ngusutan kasus pengadaan sistem informasi Ditjen Pajak bisa men­jadi salah satu ajang pemulihan kepercayaan masyarakat ter­ha­dap Kejaksaan Agung.

“Ini menjadi salah satu pa­ra­me­ter bagi Kejaksaan Agung. Jika me­reka bisa me­nun­tas­kan­nya, maka tanggapan ma­sya­ra­kat akan positif. Tapi, jika per­kara ini mang­krak seperti se­jum­lah kasus lain, jangan salahkan bila publik kalau  mencaci maki mereka,” katanya.

Jamil pun mengingatkan, Ke­jaksaan Agung jangan mengusut kasus korupsi karena kepentingan atau perintah kelompok tertentu. “Be­nar-benarlah hadir sebagai lem­baga penegak hukum,” ujarnya.

Penanganan kasus pengadaan sist­em informasi di Ditjen Pajak itu, lanjut Jamil, akan menjadi ajang uji coba bagi kejaksaan un­tuk me­nun­jukkan kinerja yang po­sitif di mata masyarakat. “Ka­re­na­­nya tidak cu­kup hanya me­nang­kapi yang kecil-kecil, me­reka juga harus menjaring pejabat kakap yang terlibat. Ini menjadi momen­tum bagi Keja­gung untuk me­nun­jukkan kepada publik, mereka pun bisa sukes me­la­kukan pem­be­ran­ta­san korup­si,” sarannya.

Kenapa Pengusaha Ditahan Belakangan

Erna Ratnaningsih, Peneliti Senior KRHN

Menurut peneliti senior Kon­sor­sium Reformasi Hukum Na­sional (KRHN) Erna Rat­na­n­ingsih, ada dua jenis pena­ha­nan ter­sangka, yakni penahanan sub­yektif dan penahanan obyektif.

Dinamakan subyektif, kata Erna, karena hanya tergantung pada orang yang me­me­ri­n­tah­kan penahanan, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat sub­yektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP. Sedangkan pe­nahanan dengan syarat ob­yektif, dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP.

“Kewenangan untuk me­la­ku­kan penahanan memiliki unsur subyektif yang sering kali mem­berikan peluang untuk ne­gosiasi antara aparat penegak hukum dan tersangka,” ujar be­kas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini, kemarin.

Misalkan, lanjut Erna, dalam kasus ini, dua pejabat Ditjen Pa­jak lebih dahulu ditahan. Jak­sa dapat mengatakan bahwa ke­dua tersangka itu dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana.

“Pertanyaannya, mengapa ter­sangka dari pihak pengu­sa­ha ditahan belakangan? Pada­hal, dia juga memiliki kemung­kinan untuk melarikan diri dan menghilangkan barang bukti,” tandasnya.

Dalam urusan penahanan, menurut Erna, kekuasaan dan uang kerap menjadi kendala. “Biasanya orang yang kuat se­cara modal dan memiliki ke­kuasaan, sulit ditahan. Se­dang­kan yang hanya mencuri se­mang­ka, sandal cepat ditahan. Inilah potret penegakan hukum di Indonesia yang seperti mata pisau, tajam ke bawah dan tum­pul ke atas,” ujarnya.

Seharusnya, kata Erna, setiap warga negara sama kedud­u­kan­nya di depan hukum. Dalam ka­sus suap misalnya, antara yang diduga menyuap dan yang di­duga disuap harus sama per­la­kuannya. “Kenapa yang disuap ce­pat ditahan dan yang me­nyuap tidak cepat ditahan? Ini­lah yang harus dipertanyakan, karena kriteria yang digunakan untuk menahan sangat sub­yektif,” ujarnya.

Tidak Boleh Lokalisir Pelaku

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago meng­ap­re­sia­si langkah Kejaksaan Agung menahan para tersangka kasus korupsi pengadaan sistem in­for­masi Ditjen Pajak, jasa pe­me­li­haraan sistem monitoring pem­bayaran Ditjen Pajak dan pe­lak­sanaan modul pene­ri­maan negara.

“Saya kira penahanan para tersangka itu sudah merupakan sebuah langkah maju. Pena­ha­nan memang perlu untuk meng­hindari upaya menghilangkan ba­rang bukti, melarikan diri atau mengulangi perbuatan yang sama,” ujar Taslim, kemarin.

Meski demikian, politisi PAN ini mengingatkan Kejagung agar serius mengusut kasus ter­sebut. Dia juga meminta Ke­ja­gung tidak berhenti hanya pada pelaku-pelaku kelas teri. “Ja­ngan sampai orang yang se­sung­guhnya bertanggung jawab tidak tersentuh. Jangan pula pro­ses yang mereka lakukan hanya melokalisir pelaku pada orang-orang kecil,” ujarnya.

Taslim khawatir, bila penyi­di­kan kasus itu terlalu lama dan ber­tele-tele, bukan tidak mung­kin akan terjadi upaya yang ti­dak sehat, semisal adanya per­mainan dan deal yang pada akhirnya tidak bisa mengu­sut­nya sampai tuntas. Karena itu, lanjutnya, Kejaksaan Agung mesti transparan dan bekerja profesional.

“Mereka harus me­ngu­mum­kan proses yang sudah ber­lang­sung secara transparan, biar pub­lik bisa menilai dan men­ga­wasi,” ujarnya.

Sebab, kata Taslim, jika kerja Kejaksaan Agung benar, maka dapat mengangkat citra yang positif bagi korps adhyaksa. “Itu berdampak pada citra Ke­jagung,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA