Tersangka itu adalah DiÂrektur Utama PT Berca Hardaya PerÂkasa (BHP) Lim Wendra HaÂlingkar. Lim disangka terlibat kasus korupsi pengadaan sistem informasi direktorat jenderal paÂjak (SIDJP), jasa pemeliharaan sistem monitoring pembayaran Ditjen Pajak dan pelaksanaan moÂdul penerimaan negara (MPN) Ditjen Pajak tahun 2006.
Lim akan menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, sampai kasus tersebut disiÂdangÂkan. “Kejaksaan Agung meÂlaÂkuÂkan penahanan terhadap terÂsangÂka Lim Wendra Halingkar, sejak hari ini selama 20 hari di Rutan CiÂpinang,†ujar Kepala Pusat PeÂnerangan dan Hukum KeÂjakÂsaÂan Agung Noor Rochmad, kemarin.
Dijelaskan Noor, perintah peÂnaÂhanan Lim itu sesuai surat sprint penahanan nomor 01/42/fd.1/02/2012 tertanggal 21 Februari 2012. Alasan dilakukan peÂnahanan, lanjut dia, untuk keÂpentingan penyidikan serta adaÂnya kekhawatiran tersangka mengÂhilangkan barang bukti, mengulangi perbuatannya, dan atau melarikan diri. “Tersangka sudah ditahan tadi sekitar pukul dua siang,†katanya.
Noor menambahkan, penyidik keÂjaksaan masih mengemÂbangÂkan kasus tersebut. “Tapi, terÂsangÂka baru belum ada,†lanjut jakÂsa yang akan menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara ini.
Sejak ditetapkan sebagai terÂsangka pada 12 Januari 2012 deÂngan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) SP DIK No: Print-03/F.2/Fd.1/01/2012, Lim dipanggil kejaksaan untuk diperiksa pertama kali pada Senin, 13 Februari 2012. Namun, Lim tidak memenuhi panggilan penyidik. Pihak Lim malah meminta waktu agar menghadap penyidik pada 20 Februari.
Sehari sebelum penahanan, yakÂni Senin 20 Februari 2012, Liem memenuhi panggilan peÂnyiÂdik pidana khusus Kejaksaan Agung. Selain Liem, tim peÂnyiÂdik juga memanggil Direktur GoÂvernÂment and Public Sector PT Berca Hardayaperkasa, Michael GuÂnawan. Michael diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang sama.
Pemeriksaan Liem mulai diÂlakukan sekitar pukul 09.00 WIB, sedangkan Michael sekitar pukul 12.00 WIB. Liem merupakan rekaÂnan penyedia jasa dan barang yang juga berperan dalam peÂnandatanganan sejumlah kontrak kerja sama.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dari Ditjen Pajak, yakni Ketua Panitia Lelang Bahar dan Pejabat PemÂbuat Komitmen Pulung Sukarno. Bahar meringkuk di Rutan SaÂlemba cabang Kejaksaan Agung, sementara Pulung di Rutan SaÂlemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Kasus ini bermula ketika BaÂdan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan sekitar Rp 12 miliar dalam proyek peÂngadaan sistem informasi yang menelan anggaran Rp 43 miliar. Atas temuan BPK itu, jajaran Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus meÂlakukan penyelidikan dan meÂningÂkatkan status perkara itu ke peÂnyiÂdikan pada 3 November 2011.
Berdasarkan audit BPK terseÂbut, ditemukan alat-alat yang tiÂdak ada wujudnya dalam peÂngaÂdaan sistem informasi itu. PeÂnyiÂdik menjerat ketiga tersangka deÂngan Pasal 2 dan 3 Undang UnÂdang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa.
Pada November 2011, peÂnyiÂdik Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan di kantor DiÂrekÂtorat Jenderal Pajak. Soalnya, meÂnurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, pihak Ditjen Pajak yang diminta memÂberikan sejumlah dokumen, tak memenuhi permintaan penyidik.
“Kami tidak bisa menunggu lama. Makanya, kami melakukan penyitaan dan penggeledahan. Kami turunkan tim dan ternyata ditemukan dokumennya sudah dipindahkan dari kantor pusat ke kantor pelayanan Jakarta Barat,†katanya.
REKA ULANG
Selain Menahan Tiga Tersangka
Selain menahan tiga tersangka, tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung memanggil dan memeÂrikÂsa rekanan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, George Bratadidjaja sebagai saksi kasus pada Selasa (14/2).
George yang merupakan SysÂtem Enginer PT Cisco System InÂdonesia, dikorek keterangannya seÂbagai saksi kasus korupsi peÂngembangan sistem informasi DiÂrÂektorat Jenderal Pajak, jasa pemeliharaan sistem monitoring pembayaran Ditjen Pajak dan pelaksanaan modul penerimaan negara Ditjen Pajak.
George diÂpeÂriksa mulai pukul sembilan pagi di kantor KÂeÂjakÂsaÂan Agung, Jalan Sultan HasaÂnudÂdin, Nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Selain mengorek keterangan sejumlah saksi, penyidik juga meÂlakukan penggeledahan dan peÂnyitaan di sejumlah lokasi. AnÂtara lain di dua rumah, yakni di Jalan Madrasah, Gandaria, JaÂkarÂta Selatan dan di Komplek CiÂnere, Depok, Jawa Barat. Kedua ruÂmah itu milik salah seorang terÂsangka kasus ini, yakni Ketua Panitia Lelang Bahar.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus Arnold Angkouw, pengÂgeÂledahan dan penyitaan yang dilaÂkukan penyidik Kejaksaan Agung itu sudah sesuai dengan undang-undang.
“Sesuai dengan unÂdang-unÂdang, jaksa memÂpunyai weÂweÂnang melakukan pengÂgÂeledahan, menyita, karena itu merupakan bagian pengumÂpuÂlan alat bukti, dan alat bukti itu yang kami pakai apakah ada peÂlanggaran pidaÂnaÂnya,†kata dia.
Menurut Koordinator LSM MaÂsyarakat Transparansi IndoÂneÂsia (MTI) Jamil Mubarok, peÂngusutan kasus pengadaan sistem informasi Ditjen Pajak bisa menÂjadi salah satu ajang pemulihan kepercayaan masyarakat terÂhaÂdap Kejaksaan Agung.
“Ini menjadi salah satu paÂraÂmeÂter bagi Kejaksaan Agung. Jika meÂreka bisa meÂnunÂtasÂkanÂnya, maka tanggapan maÂsyaÂraÂkat akan positif. Tapi, jika perÂkara ini mangÂkrak seperti seÂjumÂlah kasus lain, jangan salahkan bila publik kalau mencaci maki mereka,†katanya.
Jamil pun mengingatkan, KeÂjaksaan Agung jangan mengusut kasus korupsi karena kepentingan atau perintah kelompok tertentu. “BeÂnar-benarlah hadir sebagai lemÂbaga penegak hukum,†ujarnya.
Penanganan kasus pengadaan sistÂem informasi di Ditjen Pajak itu, lanjut Jamil, akan menjadi ajang uji coba bagi kejaksaan unÂtuk meÂnunÂjukkan kinerja yang poÂsitif di mata masyarakat. “KaÂreÂnaÂÂnya tidak cuÂkup hanya meÂnangÂkapi yang kecil-kecil, meÂreka juga harus menjaring pejabat kakap yang terlibat. Ini menjadi momenÂtum bagi KejaÂgung untuk meÂnunÂjukkan kepada publik, mereka pun bisa sukes meÂlaÂkukan pemÂbeÂranÂtaÂsan korupÂsi,†sarannya.
Kenapa Pengusaha Ditahan Belakangan
Erna Ratnaningsih, Peneliti Senior KRHN
Menurut peneliti senior KonÂsorÂsium Reformasi Hukum NaÂsional (KRHN) Erna RatÂnaÂnÂingsih, ada dua jenis penaÂhaÂnan terÂsangka, yakni penahanan subÂyektif dan penahanan obyektif.
Dinamakan subyektif, kata Erna, karena hanya tergantung pada orang yang meÂmeÂriÂnÂtahÂkan penahanan, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subÂyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP. Sedangkan peÂnahanan dengan syarat obÂyektif, dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP.
“Kewenangan untuk meÂlaÂkuÂkan penahanan memiliki unsur subyektif yang sering kali memÂberikan peluang untuk neÂgosiasi antara aparat penegak hukum dan tersangka,†ujar beÂkas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini, kemarin.
Misalkan, lanjut Erna, dalam kasus ini, dua pejabat Ditjen PaÂjak lebih dahulu ditahan. JakÂsa dapat mengatakan bahwa keÂdua tersangka itu dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana.
“Pertanyaannya, mengapa terÂsangka dari pihak penguÂsaÂha ditahan belakangan? PadaÂhal, dia juga memiliki kemungÂkinan untuk melarikan diri dan menghilangkan barang bukti,†tandasnya.
Dalam urusan penahanan, menurut Erna, kekuasaan dan uang kerap menjadi kendala. “Biasanya orang yang kuat seÂcara modal dan memiliki keÂkuasaan, sulit ditahan. SeÂdangÂkan yang hanya mencuri seÂmangÂka, sandal cepat ditahan. Inilah potret penegakan hukum di Indonesia yang seperti mata pisau, tajam ke bawah dan tumÂpul ke atas,†ujarnya.
Seharusnya, kata Erna, setiap warga negara sama kedudÂuÂkanÂnya di depan hukum. Dalam kaÂsus suap misalnya, antara yang diduga menyuap dan yang diÂduga disuap harus sama perÂlaÂkuannya. “Kenapa yang disuap ceÂpat ditahan dan yang meÂnyuap tidak cepat ditahan? IniÂlah yang harus dipertanyakan, karena kriteria yang digunakan untuk menahan sangat subÂyektif,†ujarnya.
Tidak Boleh Lokalisir Pelaku
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago mengÂapÂreÂsiaÂsi langkah Kejaksaan Agung menahan para tersangka kasus korupsi pengadaan sistem inÂforÂmasi Ditjen Pajak, jasa peÂmeÂliÂharaan sistem monitoring pemÂbayaran Ditjen Pajak dan peÂlakÂsanaan modul peneÂriÂmaan negara.
“Saya kira penahanan para tersangka itu sudah merupakan sebuah langkah maju. PenaÂhaÂnan memang perlu untuk mengÂhindari upaya menghilangkan baÂrang bukti, melarikan diri atau mengulangi perbuatan yang sama,†ujar Taslim, kemarin.
Meski demikian, politisi PAN ini mengingatkan Kejagung agar serius mengusut kasus terÂsebut. Dia juga meminta KeÂjaÂgung tidak berhenti hanya pada pelaku-pelaku kelas teri. “JaÂngan sampai orang yang seÂsungÂguhnya bertanggung jawab tidak tersentuh. Jangan pula proÂses yang mereka lakukan hanya melokalisir pelaku pada orang-orang kecil,†ujarnya.
Taslim khawatir, bila penyiÂdiÂkan kasus itu terlalu lama dan berÂtele-tele, bukan tidak mungÂkin akan terjadi upaya yang tiÂdak sehat, semisal adanya perÂmainan dan deal yang pada akhirnya tidak bisa menguÂsutÂnya sampai tuntas. Karena itu, lanjutnya, Kejaksaan Agung mesti transparan dan bekerja profesional.
“Mereka harus meÂnguÂmumÂkan proses yang sudah berÂlangÂsung secara transparan, biar pubÂlik bisa menilai dan menÂgaÂwasi,†ujarnya.
Sebab, kata Taslim, jika kerja Kejaksaan Agung benar, maka dapat mengangkat citra yang positif bagi korps adhyaksa. “Itu berdampak pada citra KeÂjagung,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: