Buru Jejak Broker Valas Polisi Pantau Pelabuhan

Laporan PPATK Soal Transaksi Tunai Tak Wajar

Minggu, 22 Januari 2012, 09:00 WIB
Buru Jejak Broker Valas Polisi Pantau Pelabuhan
ilustrasi/ist
RMOL.Pola transaksi transfer antar rekening bank mulai ditinggalkan. Pelaku kejahatan belakangan memilih transaksi tunai, karena lebih sulit diidentifikasi. Pengawasan lalulintas transaksi valuta asing (valas) secara tunai perlu diintensifkan.

Kabidpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, tran­­saksi valas secara tunai sulit di­identifikasi. Kendati begitu, pe­nyidik kepolisian tetap be­ker­ja­sama dengan Bea Cukai meng­op­ti­malkan pengungkapan ke­jahatan ini.

Menjawab pertanyaan berapa banyak laporan transaksi valas se­cara tunai yang masuk kepo­li­sian, ia belum bisa memastikan. Dia pun menolak membeberkan identitas broker valas yang ter­catat tinta merah alias diduga bermasalah.

Menurutnya, penanganan ka­sus ini adalah otoritas Bea Cukai. Jika terbukti ada tindak pidana da­lam transaksi tersebut, ke­po­li­sian, kejaksaan dan KPK baru bisa mengambil alih perkara.

Menanggapi data Pusat Pe­la­poran dan Analisis Transaksi Ke­u­angan (PPATK) mengenai tran­saksi valas yang dibawa per­ora­ngan secara langsung alias tunai, Boy mengatakan, perkara ini si­fatnya unik. Karena tran­sak­si­nya ber­sifat langsung, proses iden­­ti­fi­kasi ada tidaknya pe­lang­garan hu­kum perlu waktu. “Uang di­ba­wa per­orangan da­lam jumlah di luar ke­tentuan, pa­tut dicu­ri­gai,” ucapnya.

Dia sependapat, transaksi valas besar-besaran bisa bikin rupiah sempoyongan. Dengan kata lain, stabilitas ekonomi bisa tergang­gu. Dengan asumsi itu, dia men­duga, kelompok pemain valas ini adalah sindikat besar.

Deteksi kepolisian menye­but­kan, broker atau pelaku transaksi valas secara tunai dalam jumlah be­sar, biasanya keluar masuk wi­layah Indonesia lewat pelabuhan. Pelabuhan yang dipilih umumnya adalah pelabuhan yang sistem pe­ngamanannya tradisional. Se­hingga, dengan gampangnya mata uang asing dalam jumlah di luar batas kewajaran itu luput dari pengawasan. “Pengawasan yang masih lemah dan alat-alat pemin­dai yang kurang canggih di­man­faatkan para broker meloloskan mata uang asing ke dalam negeri maupun sebaliknya,” tuturnya.

Namun, pola para broker mu­dah terdeteksi jika melintasi pe­labuhan udara. Soalnya, piranti pe­mindai sudah canggih dan oto­ritas pengawasan di pelabuhan udara sangat ketat.

Target para broker valas mem­bawa uang dalam jumlah besar umumnya bervariasi. Analisis ke­polisian menyebutkan, ada yang sengaja menangguk keuntungan pribadi atas jatuhnya nilai tukar mata uang tertentu, khususnya ru­piah. Ada juga yang ditujukan un­tuk kepentingan kejahatan. Se­perti perdagangan narkotika, per­dagangan manusia, suap, dan tin­dak pidana lain seperti yang per­nah terjadi di Batam.

Hal itu diamini Ketua PPATK Muh­ammad Yusuf. Menurutnya, pada medio Mei, PPATK me­ne­rima laporan Ditjen Bea Cukai ten­tang masuknya valas 36,5 juta dolar Hong Kong dan 143,5 dolar Amerika Serikat. Selain itu, pada kurun yang sama terdapat laporan dana tunai ke luar Indonesia. Jum­lahnya 400 ribu Euro, 64 juta dolar AS dan 203 juta Yen. “PPATK sudah minta kepolisian, kejaksaan dan KPK menindak­lan­juti temuan Bea Cukai,” tuturnya.

Dia menduga, kepentingan me­laksanakan transaksi valas secara tunai ditujukan untuk menyuap dan tindak pidana lainnya.

Menurut Boy Rafli Amar, usa ha mengetahui target para broker valas membawa masuk dan ke­luar uang secara besar-besaran di­kembangkan Tim Direktorat II Eko­nomi Khusus (Dit II-Eksus) Bareskrim bersama Bea Cukai. Intinya, bekas Kapoltabes Pa­dang, Sumbar ini menambahkan, modus operandi pelaku kejahatan valas mulai bergeser. Pola trans­fer antar rekening yang lebih mu­dah diidentifikasi belakangan ditinggalkan.

Untuk kepentingan transaksi, pelaku memilih membawa uang tunai dalam jumlah tak wajar.  Yu­suf memastikan, pola tersebut dipilih karena tidak memiliki kon­sekuensi hukum berat. Arti­nya, jika seseorang kedapatan mem­bawa uang tunai melebihi ketentuan, Rp 100 juta, orang ber­sangkutan hanya dikenai ke­wa­ji­ban lapor Bea Cukai.

Sumber penyidik Bea Cukai me­ngatakan, laporan sejenis jum­lahnya sangat banyak. Dia me­nya­takan, laporan-laporan ten­tang over limit uang yang dibawa tunai, tidak dimasukan peti es. “La­poran itu kita teruskan ke Bank Indonesia,” tandasnya.

Dengan laporan tersebut, diha­rap­kan, jumlah peredaran uang di dalam negeri bisa tetap diken­da­li­kan Bank Sentral. Sele­bih­nya, kontrol pajak atas transaksi valas juga bisa diawasi. Dengan begitu, setoran pajak ke negara menjadi jelas.

Merugikan Negara Rp 778 Miliar

Ditjen Pajak dan Polri pernah membongkar sindikat manipulasi pajak empat perusahaan valuta asing (valas) di Batam serta satu perusahaan valas di Jakarta yang merugikan negara Rp 778 miliar.

“Ditjen Pajak dan Polri me­la­ku­kan penggerebekan di empat perusahaan valas di Batam pada 31 Agustus 2005. Hasilnya, kami menyita berbagai surat deposito, buku bank dan menahan empat dari lima pemilik perusahaan va­las itu,” kata Hadi Poernomo yang waktu itu menjabat sebagai Dir­jen Pajak.

Empat perusahaan valas dan pe­ngusahanya di Batam yang di­duga melakukan manipulasi pa­jak, yakni PT UBS dengan pe­ngusaha Bdm alias LT serta PT UBS dengan pengusaha Ms alias At. Dari dua perusahaan itu di­temukan transaksi valas senilai Rp 2 triliun dan kerugian negara minimal Rp 120 miliar.

Selain itu, PT JV dengan pe­ngu­saha Atd alias Th Sn ditemu­kan transaksi valas Rp 2,1 triliun dan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 153 miliar, PT PKMV dengan pengusaha Ats alias TSH ditemukan transaksi Rp 2,7 triliun dan kerugian ne­gara mencapai Rp 166 miliar ser­ta PT RLS dan PT JI yang di­m­i­li­­ki pengusaha berinisial PT di­temukan transaksi Rp 1,5 tri­liun dan negara dirugikan se­ki­tar Rp 339 miliar.

“Totalnya negara dirugikan se­kitar Rp 778 miliar akibat ma­ni­pulasi pajak dari permainan va­luta asing. Sudah empat pe­ngu­saha valas ditahan, satu pe­ngu­sa­ha valas masih dalam pengejaran karena sedang berada di Si­nga­pura untuk berobat. Tiga pe­ngu­saha valas itu ditahan di Mabes Polri dan satu pengusaha menjadi tahanan kota di Batam,” ujarnya.

“Pengusaha berinisial PT me­miliki dua perusahaan valas, satu di Jakarta dan satu lagi di Batam. Pengusaha valas PT ini yang be­lum ditahan karena masih di Si­nga­pura,” lanjutnya.

Modus operandi lima pengu­sa­ha valas ini ialah melakukan tran­saksi jual beli valas dengan jum­lah sangat besar, secara ter­se­lu­bung (dana diparkir di luar negeri seperti di Singapura dan Ma­lay­sia) sehingga hasil usaha dari tran­saksi valas tersebut tidak dila­porkan dalam Surat Pem­be­ri­ta­hu­an Pajak Tahunan (SPPT).

Dengan mengutip Pasal 39 Ayat 1 UU Perpajakan, dia me­nga­­takan, setiap orang yang de­ngan sengaja menyampaikan SPPT  dan atau keterangan yang isi­nya tidak benar atau tidak leng­­kap, sehingga dapat me­nim­bul­kan kerugian pada pendapa­tan ne­gara, dipidana penjara pa­ling lama 6 tahun dan denda pa­ling ting­gi 4 kali jumlah pajak teru­tang yang tidak atau kurang dibayar.

Pengawasan Sengaja Dibuat Lemah

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai, pelabuhan menjadi lokasi pe­nentu lolos tidaknya transaksi uang tunai, khususnya valuta asing (valas). Lemahnya me­ka­nisme pengawasan dan kontrol aparat, membuat negara bisa rugi besar.

Laporan Ditjen Bea Cukai pada Pusat Pelaporan dan  Ana­lisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai kasus ini pun diyakini baru sebagian kecil saja.

Pengembangan pelabuhan agar bisa menyaingi Singapura selama ini menemui hambatan se­rius. Ironisnya, hambatan itu justru datang dari internal. Mak­­sud dia, komitmen pejabat pelabuhan dalam mewujudkan sistem pengawasan yang cang­gih masih rendah.

Para penanggungjawab pela­bu­han saat ini, kata politisi asal Jatim itu, masih bekerja ber­da­sar­kan pola-pola lama. Sifat-si­fat buruk oknum tertentu seperti me­nerima suap masih sering­ka­li terdengar, bahkan ditemukan.

Eva memaparkan contoh ka­sus yang ditemuinya seperti, laporan seorang pejabat negara yang menyebut adanya pe­no­la­kan menerima hibah peralatan scan untuk pelabuhan-pela­bu­han di Indonesia dari Amerika. Padahal, tujuan adanya perala­tan tersebut nantinya, kapal-ka­pal tidak perlu singgah di Si­nga­pura untuk pemeriksaan barang. “Namun anehnya, tawaran hi­bah tersebut ditolak,” ujarnya.

Padahal di sisi lain, ia me­nga­ku menerima laporan pejabat pe­labuhan yang secara ekspilisit mengeluhkan keperluan penga­da­an peralatan scan canggih model tersebut. “Makanya saya agak heran,” katanya.

Dari laporan yang dite­rima­nya, ia menghubungkan de­ngan temuan PPATK yang meng­­ka­te­gorikan masih ada­nya oknum pegawai golongan III di Bea Cu­kai yang diduga memiliki re­kening jumbo. Hal tersebut bisa terjadi lantaran, praktik-praktik penya­la­h­gu­na­an kekuasaan atau abuse of  po­wer masih berjalan.

Secara sengaja, tambahnya, oknum-oknum yang menolak tawaran hibah alat scan ter­se­but, membuat sistem penga­wa­san dan kontrol lemah.

Jika hal ini dikaitkan dengan temuan transaksi valas dalam jumlah di luar batas kewajaran, hal itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan. Bisa jadi hal tersebut sengaja dilaporkan agar ada catatan prestasi. “Ada prestasi dikit-dikitlah, tapi yang tidak ketahuan kan masih ba­nyak,” kritiknya.

Tidak Pernah Sampai Pengadilan

Yenti Garnasih, Pengamat Money Laundry

Pengamat tindak pidana pen­cucian uang Yenti Ganarsih menyatakan, ketentuan dan sanksi bagi pembawa uang tunai di atas Rp 100 juta masih lemah. Ke­lemahan dari aturan tersebut membuat kasus-kasus seperti ini tidak pernah sampai meja hijau.

Sebaiknya, perkara transaksi tunai dalam bentuk valas dika­te­gorikan dalam kejahatan pe­nye­lundupan. “Sayang Un­dang-Undang Kepabenanan ha­nya menyebut sebagai pelang­ga­ran administrasi. Kenapa ti­dak dikategorikan sebagai ke­jahatan penyelundupan? Po­la­nya kan sama dengan me­nye­lun­dupkan barang tertentu,” ujar dosen Universitas Trisakti ini.

Doktor di bidang pencucian uang ini pun merasa kecewa atas tindakan aparat. Sejauh ini, otoritas pelabuhan hanya me­n­catat tanpa tindakan yang jelas dan transparan. Seharusnya, pe­nahanan uang dilakukan dan di­laporkan kepada pihak berwajib.  

Dari perkara yang ada terse­but, dia mempertanyakan, ke­na­pa uang dalam jumlah besar di­bawa secara fisik alias tunai. “Lalu apakah ada jaminan saat keluar masuknya, tidak ada per­mainan antara kurir dengan ok­num pengawas pelabuhan,” tu­tur­nya. Dia menambahkan, me­ngapa uang tersebut tidak di­transfer via bank. Apakah hal ter­sebut ditujukan untuk meng­hindari pelaporan?

Ironisnya, tambah dia, Pusat Pelaporan dan Analisis Tran­sak­si Keuangan (PPATK) sampai saat ini hanya sebatas me­nyam­pai­kan laporan. Tidak me­nga­na­lisis transaksi-transaksi uang tunai maupun valas secara men­dalam. Karena itulah, banyak perkara yang diasumsikan sama dengan penyelundupan, tidak sampai meja hijau.

 Lebih aneh lagi, di dunia ini, ha­­nya Indonesia yang ti­dak men­g­kualifikasikan ke­ja­ha­tan transaksi tunai secara berl­e­bi­han sebagai kejahatan penye­lun­­dupan. Melainkan ha­nya pe­langgaran adm­i­ni­s­tra­si yang ber­­sanksi pidana. “Ini aneh dan me­­malukan, maka pe­nye­lun­du­pan uang mera­j­ale­la,” tandasnya.

Sebaiknya, saran dia, salah satu langkah mendasar yang ha­rus di­ambil adalah mencabut Un­dang-Undang Kepabeanan. Ma­sukkan kejahatan transaksi keuangan atau valas tunai ini ke dalam un­dang-undang pidana. Sehingga jaksa bisa melak­sa­nakan tugas pe­nuntutan atas perkara ini. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA