Kabidpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, tranÂÂsaksi valas secara tunai sulit diÂidentifikasi. Kendati begitu, peÂnyidik kepolisian tetap beÂkerÂjaÂsama dengan Bea Cukai mengÂopÂtiÂmalkan pengungkapan keÂjahatan ini.
Menjawab pertanyaan berapa banyak laporan transaksi valas seÂcara tunai yang masuk kepoÂliÂsian, ia belum bisa memastikan. Dia pun menolak membeberkan identitas broker valas yang terÂcatat tinta merah alias diduga bermasalah.
Menurutnya, penanganan kaÂsus ini adalah otoritas Bea Cukai. Jika terbukti ada tindak pidana daÂlam transaksi tersebut, keÂpoÂliÂsian, kejaksaan dan KPK baru bisa mengambil alih perkara.
Menanggapi data Pusat PeÂlaÂporan dan Analisis Transaksi KeÂuÂangan (PPATK) mengenai tranÂsaksi valas yang dibawa perÂoraÂngan secara langsung alias tunai, Boy mengatakan, perkara ini siÂfatnya unik. Karena tranÂsakÂsiÂnya berÂsifat langsung, proses idenÂÂtiÂfiÂkasi ada tidaknya peÂlangÂgaran huÂkum perlu waktu. “Uang diÂbaÂwa perÂorangan daÂlam jumlah di luar keÂtentuan, paÂtut dicuÂriÂgai,†ucapnya.
Dia sependapat, transaksi valas besar-besaran bisa bikin rupiah sempoyongan. Dengan kata lain, stabilitas ekonomi bisa tergangÂgu. Dengan asumsi itu, dia menÂduga, kelompok pemain valas ini adalah sindikat besar.
Deteksi kepolisian menyeÂbutÂkan, broker atau pelaku transaksi valas secara tunai dalam jumlah beÂsar, biasanya keluar masuk wiÂlayah Indonesia lewat pelabuhan. Pelabuhan yang dipilih umumnya adalah pelabuhan yang sistem peÂngamanannya tradisional. SeÂhingga, dengan gampangnya mata uang asing dalam jumlah di luar batas kewajaran itu luput dari pengawasan. “Pengawasan yang masih lemah dan alat-alat peminÂdai yang kurang canggih diÂmanÂfaatkan para broker meloloskan mata uang asing ke dalam negeri maupun sebaliknya,†tuturnya.
Namun, pola para broker muÂdah terdeteksi jika melintasi peÂlabuhan udara. Soalnya, piranti peÂmindai sudah canggih dan otoÂritas pengawasan di pelabuhan udara sangat ketat.
Target para broker valas memÂbawa uang dalam jumlah besar umumnya bervariasi. Analisis keÂpolisian menyebutkan, ada yang sengaja menangguk keuntungan pribadi atas jatuhnya nilai tukar mata uang tertentu, khususnya ruÂpiah. Ada juga yang ditujukan unÂtuk kepentingan kejahatan. SeÂperti perdagangan narkotika, perÂdagangan manusia, suap, dan tinÂdak pidana lain seperti yang perÂnah terjadi di Batam.
Hal itu diamini Ketua PPATK MuhÂammad Yusuf. Menurutnya, pada medio Mei, PPATK meÂneÂrima laporan Ditjen Bea Cukai tenÂtang masuknya valas 36,5 juta dolar Hong Kong dan 143,5 dolar Amerika Serikat. Selain itu, pada kurun yang sama terdapat laporan dana tunai ke luar Indonesia. JumÂlahnya 400 ribu Euro, 64 juta dolar AS dan 203 juta Yen. “PPATK sudah minta kepolisian, kejaksaan dan KPK menindakÂlanÂjuti temuan Bea Cukai,†tuturnya.
Dia menduga, kepentingan meÂlaksanakan transaksi valas secara tunai ditujukan untuk menyuap dan tindak pidana lainnya.
Menurut Boy Rafli Amar, usa ha mengetahui target para broker valas membawa masuk dan keÂluar uang secara besar-besaran diÂkembangkan Tim Direktorat II EkoÂnomi Khusus (Dit II-Eksus) Bareskrim bersama Bea Cukai. Intinya, bekas Kapoltabes PaÂdang, Sumbar ini menambahkan, modus operandi pelaku kejahatan valas mulai bergeser. Pola transÂfer antar rekening yang lebih muÂdah diidentifikasi belakangan ditinggalkan.
Untuk kepentingan transaksi, pelaku memilih membawa uang tunai dalam jumlah tak wajar. YuÂsuf memastikan, pola tersebut dipilih karena tidak memiliki konÂsekuensi hukum berat. ArtiÂnya, jika seseorang kedapatan memÂbawa uang tunai melebihi ketentuan, Rp 100 juta, orang berÂsangkutan hanya dikenai keÂwaÂjiÂban lapor Bea Cukai.
Sumber penyidik Bea Cukai meÂngatakan, laporan sejenis jumÂlahnya sangat banyak. Dia meÂnyaÂtakan, laporan-laporan tenÂtang over limit uang yang dibawa tunai, tidak dimasukan peti es. “LaÂporan itu kita teruskan ke Bank Indonesia,†tandasnya.
Dengan laporan tersebut, dihaÂrapÂkan, jumlah peredaran uang di dalam negeri bisa tetap dikenÂdaÂliÂkan Bank Sentral. SeleÂbihÂnya, kontrol pajak atas transaksi valas juga bisa diawasi. Dengan begitu, setoran pajak ke negara menjadi jelas.
Merugikan Negara Rp 778 Miliar
Ditjen Pajak dan Polri pernah membongkar sindikat manipulasi pajak empat perusahaan valuta asing (valas) di Batam serta satu perusahaan valas di Jakarta yang merugikan negara Rp 778 miliar.
“Ditjen Pajak dan Polri meÂlaÂkuÂkan penggerebekan di empat perusahaan valas di Batam pada 31 Agustus 2005. Hasilnya, kami menyita berbagai surat deposito, buku bank dan menahan empat dari lima pemilik perusahaan vaÂlas itu,†kata Hadi Poernomo yang waktu itu menjabat sebagai DirÂjen Pajak.
Empat perusahaan valas dan peÂngusahanya di Batam yang diÂduga melakukan manipulasi paÂjak, yakni PT UBS dengan peÂngusaha Bdm alias LT serta PT UBS dengan pengusaha Ms alias At. Dari dua perusahaan itu diÂtemukan transaksi valas senilai Rp 2 triliun dan kerugian negara minimal Rp 120 miliar.
Selain itu, PT JV dengan peÂnguÂsaha Atd alias Th Sn ditemuÂkan transaksi valas Rp 2,1 triliun dan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 153 miliar, PT PKMV dengan pengusaha Ats alias TSH ditemukan transaksi Rp 2,7 triliun dan kerugian neÂgara mencapai Rp 166 miliar serÂta PT RLS dan PT JI yang diÂmÂiÂliÂÂki pengusaha berinisial PT diÂtemukan transaksi Rp 1,5 triÂliun dan negara dirugikan seÂkiÂtar Rp 339 miliar.
“Totalnya negara dirugikan seÂkitar Rp 778 miliar akibat maÂniÂpulasi pajak dari permainan vaÂluta asing. Sudah empat peÂnguÂsaha valas ditahan, satu peÂnguÂsaÂha valas masih dalam pengejaran karena sedang berada di SiÂngaÂpura untuk berobat. Tiga peÂnguÂsaha valas itu ditahan di Mabes Polri dan satu pengusaha menjadi tahanan kota di Batam,†ujarnya.
“Pengusaha berinisial PT meÂmiliki dua perusahaan valas, satu di Jakarta dan satu lagi di Batam. Pengusaha valas PT ini yang beÂlum ditahan karena masih di SiÂngaÂpura,†lanjutnya.
Modus operandi lima penguÂsaÂha valas ini ialah melakukan tranÂsaksi jual beli valas dengan jumÂlah sangat besar, secara terÂseÂluÂbung (dana diparkir di luar negeri seperti di Singapura dan MaÂlayÂsia) sehingga hasil usaha dari tranÂsaksi valas tersebut tidak dilaÂporkan dalam Surat PemÂbeÂriÂtaÂhuÂan Pajak Tahunan (SPPT).
Dengan mengutip Pasal 39 Ayat 1 UU Perpajakan, dia meÂngaÂÂtakan, setiap orang yang deÂngan sengaja menyampaikan SPPT dan atau keterangan yang isiÂnya tidak benar atau tidak lengÂÂkap, sehingga dapat meÂnimÂbulÂkan kerugian pada pendapaÂtan neÂgara, dipidana penjara paÂling lama 6 tahun dan denda paÂling tingÂgi 4 kali jumlah pajak teruÂtang yang tidak atau kurang dibayar.
Pengawasan Sengaja Dibuat Lemah
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai, pelabuhan menjadi lokasi peÂnentu lolos tidaknya transaksi uang tunai, khususnya valuta asing (valas). Lemahnya meÂkaÂnisme pengawasan dan kontrol aparat, membuat negara bisa rugi besar.
Laporan Ditjen Bea Cukai pada Pusat Pelaporan dan AnaÂlisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai kasus ini pun diyakini baru sebagian kecil saja.
Pengembangan pelabuhan agar bisa menyaingi Singapura selama ini menemui hambatan seÂrius. Ironisnya, hambatan itu justru datang dari internal. MakÂÂsud dia, komitmen pejabat pelabuhan dalam mewujudkan sistem pengawasan yang cangÂgih masih rendah.
Para penanggungjawab pelaÂbuÂhan saat ini, kata politisi asal Jatim itu, masih bekerja berÂdaÂsarÂkan pola-pola lama. Sifat-siÂfat buruk oknum tertentu seperti meÂnerima suap masih seringÂkaÂli terdengar, bahkan ditemukan.
Eva memaparkan contoh kaÂsus yang ditemuinya seperti, laporan seorang pejabat negara yang menyebut adanya peÂnoÂlaÂkan menerima hibah peralatan scan untuk pelabuhan-pelaÂbuÂhan di Indonesia dari Amerika. Padahal, tujuan adanya peralaÂtan tersebut nantinya, kapal-kaÂpal tidak perlu singgah di SiÂngaÂpura untuk pemeriksaan barang. “Namun anehnya, tawaran hiÂbah tersebut ditolak,†ujarnya.
Padahal di sisi lain, ia meÂngaÂku menerima laporan pejabat peÂlabuhan yang secara ekspilisit mengeluhkan keperluan pengaÂdaÂan peralatan scan canggih model tersebut. “Makanya saya agak heran,†katanya.
Dari laporan yang diteÂrimaÂnya, ia menghubungkan deÂngan temuan PPATK yang mengÂÂkaÂteÂgorikan masih adaÂnya oknum pegawai golongan III di Bea CuÂkai yang diduga memiliki reÂkening jumbo. Hal tersebut bisa terjadi lantaran, praktik-praktik penyaÂlaÂhÂguÂnaÂan kekuasaan atau abuse of poÂwer masih berjalan.
Secara sengaja, tambahnya, oknum-oknum yang menolak tawaran hibah alat scan terÂseÂbut, membuat sistem pengaÂwaÂsan dan kontrol lemah.
Jika hal ini dikaitkan dengan temuan transaksi valas dalam jumlah di luar batas kewajaran, hal itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan. Bisa jadi hal tersebut sengaja dilaporkan agar ada catatan prestasi. “Ada prestasi dikit-dikitlah, tapi yang tidak ketahuan kan masih baÂnyak,†kritiknya.
Tidak Pernah Sampai Pengadilan
Yenti Garnasih, Pengamat Money Laundry
Pengamat tindak pidana penÂcucian uang Yenti Ganarsih menyatakan, ketentuan dan sanksi bagi pembawa uang tunai di atas Rp 100 juta masih lemah. KeÂlemahan dari aturan tersebut membuat kasus-kasus seperti ini tidak pernah sampai meja hijau.
Sebaiknya, perkara transaksi tunai dalam bentuk valas dikaÂteÂgorikan dalam kejahatan peÂnyeÂlundupan. “Sayang UnÂdang-Undang Kepabenanan haÂnya menyebut sebagai pelangÂgaÂran administrasi. Kenapa tiÂdak dikategorikan sebagai keÂjahatan penyelundupan? PoÂlaÂnya kan sama dengan meÂnyeÂlunÂdupkan barang tertentu,†ujar dosen Universitas Trisakti ini.
Doktor di bidang pencucian uang ini pun merasa kecewa atas tindakan aparat. Sejauh ini, otoritas pelabuhan hanya meÂnÂcatat tanpa tindakan yang jelas dan transparan. Seharusnya, peÂnahanan uang dilakukan dan diÂlaporkan kepada pihak berwajib.
Dari perkara yang ada terseÂbut, dia mempertanyakan, keÂnaÂpa uang dalam jumlah besar diÂbawa secara fisik alias tunai. “Lalu apakah ada jaminan saat keluar masuknya, tidak ada perÂmainan antara kurir dengan okÂnum pengawas pelabuhan,†tuÂturÂnya. Dia menambahkan, meÂngapa uang tersebut tidak diÂtransfer via bank. Apakah hal terÂsebut ditujukan untuk mengÂhindari pelaporan?
Ironisnya, tambah dia, Pusat Pelaporan dan Analisis TranÂsakÂsi Keuangan (PPATK) sampai saat ini hanya sebatas meÂnyamÂpaiÂkan laporan. Tidak meÂngaÂnaÂlisis transaksi-transaksi uang tunai maupun valas secara menÂdalam. Karena itulah, banyak perkara yang diasumsikan sama dengan penyelundupan, tidak sampai meja hijau.
Lebih aneh lagi, di dunia ini, haÂÂnya Indonesia yang tiÂdak menÂgÂkualifikasikan keÂjaÂhaÂtan transaksi tunai secara berlÂeÂbiÂhan sebagai kejahatan penyeÂlunÂÂdupan. Melainkan haÂnya peÂlanggaran admÂiÂniÂsÂtraÂsi yang berÂÂsanksi pidana. “Ini aneh dan meÂÂmalukan, maka peÂnyeÂlunÂduÂpan uang meraÂjÂaleÂla,†tandasnya.
Sebaiknya, saran dia, salah satu langkah mendasar yang haÂrus diÂambil adalah mencabut UnÂdang-Undang Kepabeanan. MaÂsukkan kejahatan transaksi keuangan atau valas tunai ini ke dalam unÂdang-undang pidana. Sehingga jaksa bisa melakÂsaÂnakan tugas peÂnuntutan atas perkara ini. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: