RMOL. Majelis Kehormatan Hakim (MKH) akhirnya menjatuhkan sanksi bagi Jonlar Purba. Tapi, hakim yang sebelumnya bertugas di Pengadilan Negeri Wamena ini, hanya dijatuhi hukuman berupa sanksi tertulis dengan pemotongan uang tunjangan selama tiga bulan sebesar 75 persen.
Jonlar dinilai telah melakukan peÂlanggaran Kode Etik dan PeÂdoman Perilaku Hakim, waÂlauÂpun dengan pelanggaran yang saÂngat ringan. Padahal, dia digiring ke MKH dengan tuduhan yang seÂrius, menerima duit dari terdakwa.
“Memutuskan, menyatakan pembelaan hakim terlapor dapat diterima sebagian. Menyatakan terÂlapor terbukti melakukan peÂlanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim serta menÂjaÂtuhÂkan hukuman disiplin ringan, beÂrupa hukuman tertulis, dan diÂkuÂrangi tunjangan kinerja 75 persen selama tiga bulan,†ujar Ketua MKH Imam Soebechi dalam sidang pembacaan putusan di GeÂdung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, kemarin.
Dalam pertimbangannya, MKH tidak bisa membuktikan suap yang dituduhkan kepada Jonlar. Selain itu, tuduhan yang menyebut bahwa Jonlar turut memberikan bantuan dengan menyusun pembelaan, memori banding dan memori kasasi serta iming-iming akan membebaskan para terdakwa dengan imbalan Rp 125 juta, tidak terbukti. TuÂdiÂngan yang menyebut dirinya meÂlakukan pertemuan-pertemuan di luar persidangan dengan para terÂdakwa pun tidak terbukti.
Namun, Jonlar mengakui perÂnah berkomunikasi dengan terÂpiÂdana kasus illegal loging Mulyadi lewat telepon. Hal itulah yang membuat MKH memutuskan, JonÂlar telah melanggar kode etik haÂkim, kendati unsur suapnya tidak terbukti.
“Hakim terlapor di deÂpan MKH mengaku pernah menerima telepon dari terdakwa illegal logÂging bernama Mulyadi Bantang tanpa sengaja. Konteks perÂbiÂncaÂngan itu memberikan peÂrÂsanÂgÂkaÂan kuat, selama ini terjadi koÂmuÂnikasi kuat antara Mulyadi dan hakim terlapor di luar peÂrÂsiÂdaÂngan,†ujar anggota MKH Imam Anshori Saleh yang membacakan pertimbangan.
Dalam komunikasi via telepon itu, menurut Imam, Mulyadi meÂnyampaikan kepada Jonlar bahwa upaya banding yang dia lakukan sudah turun putusan hakimnya. Hasilnya, putusan banding meÂnguatkan hukuman yang dijatuhÂkan majelis hakim pada tingkat seÂbelumnya.
Mendengar keluhan itu, Jonlar mengeluarkan saranÂnya untuk Mulyadi. “Silakan ajuÂkan upaya kasasi jika memang tiÂdak puas dengan putusan banÂding,†ujar Imam mengutip isi saÂran Jonlar kepada Mulyadi.
Jonlar menyangkal tuduhan suap yang diarahkan kepadanya. MKH pun menyatakan, laporan Pendeta Esmon Walilo pada 9 Mei 2011 ke Mahkamah Agung tidak akurat. Esmon mengaku diÂminta para terdakwa kasus pemÂbalakan liar untuk melaporkan Ketua Majelis Hakim yang meÂnangani kasus itu, Jonlar Purba ke MA.
“Saksi tidak melihat sendiri pemberian uang Rp 125 juta ke Jonlar. Tidak mendengar sendiri soal permintaan membebaskan para terdakwa. Esmon Walilo haÂnya karena menjabat sebagai KeÂtua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama di sana, melaÂporÂÂkannya. Mereka kecewa dan merasa dizalimi karena dihukum, dan mengaku sudah memberikan uang agar diberikan putusan beÂbas,†urai Imam Anshori Saleh.
Atas putusan tersebut, Jonlar mengaku menerima sanksi yang dijatuhkan kepadanya. “Saya mengerti dan menerima,†ujarnya singkat.
Seusai sidang, Jonlar mengaku tidak pernah melakukan apapun yang dituduhkan kepadanya. BahÂkan terkait telepon itu, dia meÂngaku tidak tahu bahwa itu noÂmor terdakwa kasus yang pernah diputusnya. “Tetapi ya sudahlah, saya merasa itulah keputusan yang dibuat MaÂjelis, dan kita horÂmaÂti,†ujarnya.
Putusan ini jauh lebih ringan dari rekomendasi Badan PeÂngaÂwas Mahkamah Agung untuk meÂmecat Jonlar. Dia disidang oleh MKH karena diduga melakukan pelanggaran berat terhadap Kode etik dan Pedoman Hakim.
Sekadar mengingatkan, MKH terdiri empat unsur Komisi YuÂdiÂsial (KY) dan tiga dari MA. Tiga hakim MA adalah Imam Soebechi sebagai Ketua MKH, Hamdan dan Surya Jaya sebagai anggota. Sedangkan empat angÂgota MKH dari KY adalah Imam Anshori Saleh, Suparman MarÂjuki, Abbas Said dan TauÂfiqurÂrohman Syahuri.
Yang Dipecat Dalam Sekali Sidang
Selasa dua pekan lalu, tiga haÂkim disidang Majelis KeÂhorÂmaÂtan Hakim (MKH) secara berÂuruÂtan. Ketiganya diduga melakukan pelanggaran berat atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dalam satu kali sidang, dua haÂkim divonis MKH terbukti meÂlaÂkukan pelanggaran berat terhaÂdap Kode Etik dan Pedoman HaÂkim, yakni hakim Pengadilan NeÂgeri (PN) Yogyakarta yang seÂbelumnya bertugas di PN Kupang Dwi Djanuwanto dan hakim MahÂÂkamah Syariah Tapaktuan, DaiÂnuri. Mereka diberhentikan deÂngan tidak hormat alias dipecat.
Sedangkan putusan bagi Jonlar Purba, hakim yang sebelumnya bertugas di Pengadilan Negeri WaÂmena, dikeluarkan MKH samÂpai tiga kali sidang. Putusannya pun bukan pemecatan, tapi hanya pemotongan tunjangan sebesar 75 persen selama tiga bulan.
MKH memutuskan, hakim Mahkamah Syariah Tapaktuan, Dainuri terbukti melakukan asuÂsila terhadap wanita bernama Evi Kusuma yang sedang meÂngaÂjuÂkan gugatan cerai. Gugatan itu diÂtangani Dainuri.
“Terlapor meÂnggÂosok-gosok punggung Evi Kusuma dalam keadaan telanjang di sebuah hotel tempat terlapor menginap,†ujar Ketua MKH Imam Soebechi saat membacakan pertimbangannya.
Selain itu, Dainuri telah menÂjanjikan pengurusan perceraian Evi dengan putusan cerai. “MeÂmuÂtuskan, menjatuhkan sanksi diÂsiplin berat dengan pemÂberÂhenÂtian tidak hormat, tidak dengan permintaan sendiri,†tegas Imam.
Untuk hakim Dwi DjaÂnuÂwanto, MKH juga memutuskan pemberhentian. Sebab, Dwi terÂbukti sering meminta tiket pesaÂwat kepada terdakwa dalam kaÂsus yang ditanganinya. Dwi juga pernah diberikan sanksi oleh MA karena tidak disiplin, karena itu dia dipindahkan ke PN Kupang.
Selain itu, Dwi terbukti melÂaÂkukan perbuatan tercela. “MeÂngiÂrimkan SMS yang isinya tidak seÂnonoh, yakni mengajak terdakwa menonton striptis yang lengkap deÂngan cewek yang bisa dipangÂku, dan disuruh mengisap-isap dengan bayaran Rp 500 ribu per jam,†ujar anggota MKH Abbas Said saat membacakan peÂrÂtimÂbangan MKH.
Dwi, menurut MKH, juga saÂngat tidak disiplin, sering terÂlamÂbat sidang karena bolak balik KuÂpang Yogyakarta. “Bahkan tidak tahu jadwal persidangannya. Sudah sering terjadi,†ujar Abbas.
Karena itu, Dwi diganjar huÂkuÂman dipecat dari jabatan hakim. “Memutuskan, meÂnyaÂtaÂkan terÂlapor Dwi Djanuwanto meÂlaÂkuÂkan pelanggaran berat kode etik dan pedoman perilaku haÂkim deÂngan pemberhentian tiÂdak hormat dari jabatannya seÂbagai hakim,†tegas Abbas.
Ketiga hakim itu disidang sesuai Pasal 20 ayat 6 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, junto Pasal 23 ayat 4 Undang-UnÂdang Nomor 22 Tahun 2004 tenÂtang Komisi Yudisial. Ketiganya diberi kesempatan melakukan pembelaan di MKH.
Ingatkan MKH Terus Terbuka
Dewi Asmara, Anggota Komisi III
Anggota Komisi III DPR Dewi Asmara mendukung keÂterbukaan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam mengÂgeÂlar sidang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku HaÂkim. Sebab, proses yang transÂparan sangat diperlukan sebagai wujud kesiapan menghadapi kontrol publik.
Dengan keterbukaan itu, maÂsyaÂrakat bisa mengontrol, apaÂkah MKH betul-betul menÂyiÂdangÂkan hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan PeÂdoÂman Perilaku Hakim.
ApaÂkah betul ada hakim yang diÂpecat MKH atau dijÂaÂtuhi sanksi yang lain. Tapi, jika sidang itu tertutup dan hakim yang disidang hanya diseÂbutÂkan inisialnya, maka maÂsyaÂrakat tak akan percaya apa yang disampaikan MKH.
Selain harus transaparan, Dewi mengingatkan agar perÂsidangan yang digelar Majelis Kehormatan Hakim mesti berÂjalan obyektif. “Saya mengÂhorÂmati putusan MKH, apapun itu. Saya hanya menekankan pada prosesnya, mesti transparan dan obyektif,†ujarnya.
Dia berharap, pola pengaÂwaÂsan hakim melalui MKH bisa berjalan efektif. Sebab, MKH merupakan perpaduan Komisi Yudisial (KY) sebagai pengaÂwas eksternal hakim dengan MaÂhkamah Agung (MA) sebaÂgai pengawas internal.
“MaÂkaÂnya kami memperkuat posisi Majelis Kehormatan Hakim, juga memperkuat KY,†ujar poÂlitisi Golkar ini.
Dewi pun mengingatkan agar Komisi Yudisial dan MahÂkamah Agung profesional dalam meÂlakukan penyeÂlidiÂkan terhadap hakim yang dilaÂporkan melÂaÂkuÂkan pelangÂgaÂran kode etik.
“Mestinya proses itu benar-benar dilakukan. Menemukan bukti-bukti yang akurat, keÂteÂraÂngan-keterangan yang kuat, seÂhingga dalam MKH tidak akan menimbulkan banyak perÂdeÂbaÂtan,†tandasnya.
Kegagalan MKH memÂbuÂkÂtikan hakim Jonlar Purba meÂneÂrima suap dari terdakwa kasus illegal logging, menurut Dewi, mengindikasikan ketiÂdakÂproÂfeÂsionalan. Semestinya, lanjut dia, MKH sudah mengantongi bukÂti-bukti dan keterangan-keÂteraÂngan yang kuat saat mengÂgiring hakim ke sidang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman PeriÂlaku Hakim. “Tapi, biar baÂgaiÂmana pun, saya hormati kepuÂtuÂsan Majelis Kehormatan HaÂkim,†ujarnya.
Pengawasan Tumpang Tindih
Yulianto, Wakil Ketua KRHN
Pada bulan ini, tiga hakim diÂsidang Majelis Kehormatan HaÂkim (MKH). Satu hakim meÂrupakan rekomendasi Komisi Yudisial (KY), yakni Dwi DjaÂnuwanto. Dwi adalah hakim PeÂngadilan Negeri (PN) YogyaÂkarta yang sebelumnya bertuÂgas di PN Kupang.
Dua lagi adalah hakim yang direkomendasikan Mahkamah Agung (MA) untuk diberÂhenÂtiÂkan, yakni Dainuri dan Jonlar Purba. Dainuri adalah hakim MahÂkamah Syariah di TapaÂkÂtuan, Jonlar merupakan hakim di PN Bale Bandung. Sebelum ke PN Bale Bandung, Jonlar adalah hakim di PN Wamena dan menjadi Wakil Ketua PN Wamena.
Jadi, MKH merupakan peÂngaÂwas hakim yang terdiri dari unsur Komisi Yudisial dan MahÂkamah Agung. KY meruÂpaÂkan pengawas eksternal, seÂdangkan MA merupakan peÂngaÂwas internal. Konkretnya, MKH terdiri dari empat perÂwaÂkiÂlan KY dan tiga perwakilan MA.
Akan tetapi, menurut Wakil KeÂtua Komisi Reformasi HuÂkum Nasional (KRHN) YuÂlianÂto, dalam proses pengawasan hakim, posisi KY dan MA tetap saja kerap berbenturan meski mereka telah bergabung dalam MKH. “Ada fungsi yang tumÂpang tindih antara Komisi YuÂdisial dan Mahkamah Agung,†tandasnya, kemarin.
Terlepas dari tumpang tindih fungsi tersebut, Yulianto mengiÂngatkan agar MKH tetap terbuÂka dalam memproses para haÂkim yang diduga melakukan peÂlanggaran Kode Etik dan PeÂdoÂman Perilaku Hakim. KeÂmuÂdian, meneruskan pelanggaran itu ke ranah pidana jika memang ada unsur tindak pidananya. MiÂsalnya melaporkannya ke Polri dan KPK.
Yulianto juga meÂnitikÂbeÂratÂkan perlunya proses yang transÂparan serta aturan yang adil daÂlam proses pengawasan hakim. Dengan proses seperti itu, kata dia, putusan MKH akan fair. “Proses yang baik akan memÂbuat hasil dan putusannya pun lebih adil,†ingatnya.
Ketiga hakim itu disidang seÂsuai Pasal 20 ayat 6 Undang UnÂdang Nomor 48 Tahun 2009 tenÂtang Perubahan Kedua atas UnÂdÂang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, junto Pasal 23 ayat 4 undang-UnÂdang Nomor 22 Tahun 2004 tenÂtang Komisi Yudisial. KeÂtiganya pun diberi kesempatan melakukan pemÂbelaan di MKH. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: