Hakim Jonlar Hanya Kena Potong Tunjangan

Dilaporkan Terima Suap Dari Terdakwa

Rabu, 07 Desember 2011, 09:01 WIB
Hakim Jonlar Hanya Kena Potong Tunjangan
Ilustrasi, ketuk palu hakim

RMOL. Majelis Kehormatan Hakim (MKH) akhirnya menjatuhkan sanksi bagi Jonlar Purba. Tapi, hakim yang sebelumnya bertugas di Pengadilan Negeri Wamena ini, hanya dijatuhi hukuman berupa sanksi tertulis dengan pemotongan uang tunjangan selama tiga bulan sebesar 75 persen.

Jonlar dinilai telah melakukan pe­langgaran Kode Etik dan Pe­doman Perilaku Hakim, wa­lau­pun dengan pelanggaran yang sa­ngat ringan. Padahal, dia digiring ke MKH dengan tuduhan yang se­rius, menerima duit dari terdakwa.

“Memutuskan, menyatakan pembelaan hakim terlapor dapat diterima sebagian. Menyatakan ter­lapor terbukti melakukan pe­langgaran kode etik dan pedoman perilaku hakim serta men­ja­tuh­kan hukuman disiplin ringan, be­rupa hukuman tertulis, dan di­ku­rangi tunjangan kinerja 75 persen selama tiga bulan,” ujar Ketua MKH Imam Soebechi dalam sidang pembacaan putusan di Ge­dung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, kemarin.

Dalam pertimbangannya, MKH tidak bisa membuktikan suap yang dituduhkan kepada Jonlar. Selain itu, tuduhan yang menyebut bahwa Jonlar turut memberikan bantuan dengan menyusun pembelaan, memori banding dan memori kasasi serta iming-iming akan membebaskan para terdakwa dengan imbalan Rp 125 juta, tidak terbukti. Tu­di­ngan yang menyebut dirinya me­lakukan pertemuan-pertemuan di luar persidangan dengan para ter­dakwa pun tidak terbukti.

Namun, Jonlar mengakui per­nah berkomunikasi dengan ter­pi­dana kasus illegal loging Mulyadi lewat telepon. Hal itulah yang membuat MKH memutuskan, Jon­lar telah melanggar kode etik ha­kim, kendati unsur suapnya tidak terbukti.

“Hakim terlapor di de­pan MKH mengaku pernah menerima telepon dari terdakwa illegal log­ging bernama Mulyadi Bantang tanpa sengaja. Konteks per­bi­nca­ngan itu memberikan pe­r­san­g­ka­an kuat, selama ini terjadi ko­mu­nikasi kuat antara Mulyadi dan hakim terlapor di luar pe­r­si­da­ngan,” ujar anggota MKH Imam Anshori Saleh yang membacakan pertimbangan.

Dalam komunikasi via telepon itu, menurut Imam, Mulyadi me­nyampaikan kepada Jonlar bahwa upaya banding yang dia lakukan sudah turun putusan hakimnya. Hasilnya, putusan banding me­nguatkan hukuman yang dijatuh­kan majelis hakim pada tingkat se­belumnya.

Mendengar keluhan itu, Jonlar mengeluarkan saran­nya untuk Mulyadi. “Silakan aju­kan upaya kasasi jika memang ti­dak puas dengan putusan ban­ding,” ujar Imam mengutip isi sa­ran Jonlar kepada Mulyadi.

Jonlar menyangkal tuduhan suap yang diarahkan kepadanya. MKH pun menyatakan, laporan Pendeta Esmon Walilo pada 9 Mei 2011 ke Mahkamah Agung tidak akurat. Esmon mengaku di­minta para terdakwa kasus pem­balakan liar untuk melaporkan Ketua Majelis Hakim yang me­nangani kasus itu, Jonlar Purba ke MA.

“Saksi tidak melihat sendiri pemberian uang Rp 125 juta ke Jonlar. Tidak mendengar sendiri soal permintaan membebaskan para terdakwa. Esmon Walilo ha­nya karena menjabat sebagai Ke­tua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama di sana, mela­por­­kannya. Mereka kecewa dan merasa dizalimi karena dihukum, dan mengaku sudah memberikan uang agar diberikan putusan be­bas,” urai Imam Anshori Saleh.

Atas putusan tersebut, Jonlar mengaku menerima sanksi yang dijatuhkan kepadanya. “Saya mengerti dan menerima,” ujarnya singkat.

Seusai sidang, Jonlar mengaku tidak pernah melakukan apapun yang dituduhkan kepadanya. Bah­kan terkait telepon itu, dia me­ngaku tidak tahu bahwa itu no­mor terdakwa kasus yang pernah diputusnya. “Tetapi ya sudahlah, saya merasa itulah keputusan yang dibuat Ma­jelis, dan kita hor­ma­ti,” ujarnya.

Putusan ini jauh lebih ringan dari rekomendasi Badan Pe­nga­was Mahkamah Agung untuk me­mecat Jonlar. Dia disidang oleh MKH karena diduga melakukan pelanggaran berat terhadap Kode etik dan Pedoman Hakim.

Sekadar mengingatkan, MKH terdiri empat unsur Komisi Yu­di­sial (KY) dan tiga dari MA. Tiga hakim MA adalah Imam Soebechi sebagai Ketua MKH, Hamdan dan Surya Jaya sebagai anggota. Sedangkan empat ang­gota MKH dari KY adalah Imam Anshori Saleh, Suparman Mar­juki, Abbas Said dan Tau­fiqur­rohman Syahuri.

REKA ULANG


Yang Dipecat Dalam Sekali Sidang

Selasa dua pekan lalu, tiga ha­kim disidang Majelis Ke­hor­ma­tan Hakim (MKH) secara ber­uru­tan. Ketiganya diduga melakukan pelanggaran berat atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Dalam satu kali sidang, dua ha­kim divonis MKH terbukti me­la­kukan pelanggaran berat terha­dap Kode Etik dan Pedoman Ha­kim, yakni hakim Pengadilan Ne­geri (PN) Yogyakarta yang se­belumnya bertugas di PN Kupang Dwi Djanuwanto dan hakim Mah­­kamah Syariah Tapaktuan, Dai­nuri. Mereka diberhentikan de­ngan tidak hormat alias dipecat.

Sedangkan putusan bagi Jonlar Purba, hakim yang sebelumnya bertugas di Pengadilan Negeri Wa­mena, dikeluarkan MKH sam­pai tiga kali sidang. Putusannya pun bukan pemecatan, tapi hanya pemotongan tunjangan sebesar 75 persen selama tiga bulan.  

MKH memutuskan, hakim Mahkamah Syariah Tapaktuan, Dainuri terbukti melakukan asu­sila terhadap wanita bernama Evi Kusuma yang sedang me­nga­ju­kan gugatan cerai. Gugatan itu di­tangani Dainuri.

“Terlapor me­ngg­osok-gosok punggung Evi Kusuma dalam keadaan telanjang di sebuah hotel tempat terlapor menginap,” ujar Ketua MKH Imam Soebechi saat membacakan pertimbangannya.

Selain itu, Dainuri telah men­janjikan pengurusan perceraian Evi dengan putusan cerai. “Me­mu­tuskan, menjatuhkan sanksi di­siplin berat dengan pem­ber­hen­tian tidak hormat, tidak dengan permintaan sendiri,” tegas Imam.

Untuk hakim Dwi Dja­nu­wanto, MKH juga memutuskan pemberhentian. Sebab, Dwi ter­bukti sering meminta tiket pesa­wat kepada terdakwa dalam ka­sus yang ditanganinya. Dwi juga pernah diberikan sanksi oleh MA karena tidak disiplin, karena itu dia dipindahkan ke PN Kupang.

Selain itu, Dwi terbukti mel­a­kukan perbuatan tercela. “Me­ngi­rimkan SMS yang isinya tidak se­nonoh, yakni mengajak terdakwa menonton striptis yang lengkap de­ngan cewek yang bisa dipang­ku, dan disuruh mengisap-isap dengan bayaran Rp 500 ribu per jam,” ujar anggota MKH Abbas Said saat membacakan pe­r­tim­bangan MKH.

Dwi, menurut MKH, juga sa­ngat tidak disiplin, sering ter­lam­bat sidang karena bolak balik Ku­pang Yogyakarta. “Bahkan tidak tahu jadwal persidangannya. Sudah sering terjadi,” ujar Abbas.

Karena itu, Dwi diganjar hu­ku­man dipecat dari jabatan hakim. “Memutuskan, me­nya­ta­kan ter­lapor Dwi Djanuwanto me­la­ku­kan pelanggaran berat kode etik dan pedoman perilaku ha­kim de­ngan pemberhentian ti­dak hormat dari jabatannya se­bagai hakim,” tegas Abbas.

Ketiga hakim itu disidang sesuai Pasal 20 ayat 6 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, junto Pasal 23 ayat 4 Undang-Un­dang Nomor 22 Tahun 2004 ten­tang Komisi Yudisial. Ketiganya diberi kesempatan melakukan pembelaan di MKH.

Ingatkan MKH Terus Terbuka

Dewi Asmara, Anggota Komisi III

Anggota Komisi III DPR Dewi Asmara mendukung ke­terbukaan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam meng­ge­lar sidang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Ha­kim. Sebab, proses yang trans­paran sangat diperlukan sebagai wujud kesiapan menghadapi kontrol publik.

Dengan keterbukaan itu, ma­sya­rakat bisa mengontrol, apa­kah MKH betul-betul men­yi­dang­kan hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pe­do­man Perilaku Hakim.

Apa­kah betul ada hakim yang di­pecat MKH atau dij­a­tuhi sanksi yang lain. Tapi, jika sidang itu tertutup dan hakim yang disidang hanya dise­but­kan inisialnya, maka ma­sya­rakat tak akan percaya apa yang disampaikan MKH.

Selain harus transaparan, Dewi mengingatkan agar per­sidangan yang digelar Majelis Kehormatan Hakim mesti ber­jalan obyektif. “Saya meng­hor­mati putusan MKH, apapun itu. Saya hanya menekankan pada prosesnya, mesti transparan dan obyektif,” ujarnya.

Dia berharap, pola penga­wa­san hakim melalui MKH bisa berjalan efektif. Sebab, MKH merupakan perpaduan Komisi Yudisial (KY) sebagai penga­was eksternal hakim dengan Ma­hkamah Agung (MA) seba­gai pengawas internal.

“Ma­ka­nya kami memperkuat posisi Majelis Kehormatan Hakim, juga memperkuat KY,” ujar po­litisi Golkar ini.

Dewi pun mengingatkan agar Komisi Yudisial dan Mah­kamah Agung profesional dalam me­lakukan penye­lidi­kan terhadap hakim yang dila­porkan mel­a­ku­kan pelang­ga­ran kode etik.

“Mestinya proses itu benar-benar dilakukan. Menemukan bukti-bukti yang akurat, ke­te­ra­ngan-keterangan yang kuat, se­hingga dalam MKH tidak akan menimbulkan banyak per­de­ba­tan,” tandasnya.

Kegagalan MKH mem­bu­k­tikan hakim Jonlar Purba me­ne­rima suap dari terdakwa kasus illegal logging, menurut Dewi, mengindikasikan keti­dak­pro­fe­sionalan. Semestinya, lanjut dia, MKH sudah mengantongi buk­ti-bukti dan keterangan-ke­tera­ngan yang kuat saat meng­giring hakim ke sidang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Peri­laku Hakim. “Tapi, biar ba­gai­mana pun, saya hormati kepu­tu­san Majelis Kehormatan Ha­kim,” ujarnya.

Pengawasan Tumpang Tindih

Yulianto, Wakil Ketua KRHN

Pada bulan ini, tiga hakim di­sidang Majelis Kehormatan Ha­kim (MKH). Satu hakim me­rupakan rekomendasi Komisi Yudisial (KY), yakni Dwi Dja­nuwanto. Dwi adalah hakim Pe­ngadilan Negeri (PN) Yogya­karta yang sebelumnya bertu­gas di PN Kupang.

Dua lagi adalah hakim yang direkomendasikan Mahkamah Agung (MA) untuk diber­hen­ti­kan, yakni Dainuri dan Jonlar Purba. Dainuri adalah hakim Mah­kamah Syariah di Tapa­k­tuan, Jonlar merupakan hakim di PN Bale Bandung. Sebelum ke PN Bale Bandung, Jonlar adalah hakim di PN Wamena dan menjadi Wakil Ketua PN Wamena.

Jadi, MKH merupakan pe­nga­was hakim yang terdiri dari unsur Komisi Yudisial dan Mah­kamah Agung. KY meru­pa­kan pengawas eksternal, se­dangkan MA merupakan pe­nga­was internal. Konkretnya, MKH terdiri dari empat per­wa­ki­lan KY dan tiga perwakilan MA.

Akan tetapi, menurut Wakil Ke­tua Komisi Reformasi Hu­kum Nasional (KRHN) Yu­lian­to, dalam proses pengawasan hakim, posisi KY dan MA tetap saja kerap berbenturan meski mereka telah bergabung dalam MKH.  “Ada fungsi yang tum­pang tindih antara Komisi Yu­disial dan Mahkamah Agung,” tandasnya, kemarin.

Terlepas dari tumpang tindih fungsi tersebut, Yulianto mengi­ngatkan agar MKH tetap terbu­ka dalam memproses para ha­kim yang diduga melakukan pe­langgaran Kode Etik dan Pe­do­man Perilaku Hakim. Ke­mu­dian, meneruskan pelanggaran itu ke ranah pidana jika memang ada unsur tindak pidananya. Mi­salnya melaporkannya ke Polri dan KPK.

Yulianto juga me­nitik­be­rat­kan perlunya proses yang trans­paran serta aturan yang adil da­lam proses pengawasan hakim. Dengan proses seperti itu, kata dia, putusan MKH akan fair. “Proses yang baik akan mem­buat hasil dan putusannya pun lebih adil,” ingatnya.

Ketiga hakim itu disidang se­suai Pasal 20 ayat 6 Undang Un­dang Nomor 48 Tahun 2009 ten­tang Perubahan Kedua atas Un­d­ang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, junto Pasal 23 ayat 4 undang-Un­dang Nomor 22 Tahun 2004 ten­tang Komisi Yudisial. Ke­tiganya pun diberi kesempatan melakukan pem­belaan di MKH. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA