Tersangka Kasus Kementerian Agama Ditahan Sebelum Tahun Baru

Perkiraan Kapuspenkum Kejaksaan Agung

Selasa, 06 Desember 2011, 09:10 WIB
Tersangka Kasus Kementerian Agama Ditahan Sebelum Tahun Baru
Noor Rachmad

RMOL. Sebelum tahun baru 2012, Kejaksaan Agung akan menahan dan memeriksa dua tersangka kasus pengadaan alat laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah se-Indonesia.

Hal itu disampaikan Kepala Pu­sat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Noor Rachmad saat dihubungi Rakyat Merdeka. “Sa­bar saja, penahanan dan peme­rik­sa­an kedua tersangka akan di­lakukan penyidik satu atau dua minggu lagi,” katanya.

Akan tetapi, Noor mengaku tidak bisa menyebut tanggal pasti penahanan tersebut. Alasannya, “Ini domain penyidik.”

Noor mengakui, selain belum ditahan, kedua tersangka juga be­lum dicegah untuk ke luar negeri. Lagi-lagi, dia beralasan, pe­ng­ajuan pencegahan ke Direktorat Jen­deral Imigrasi Kementerian Hu­kum dan HAM pun meru­pa­kan kewenangan penyidik. “Ter­gan­tung permintaan penyidik. Kejak­saan hanya bisa menunggu ha­sil proses penyidikan,” katanya.

Jika penyidik merasa ada ge­lagat tidak baik, kata Noor, pen­ce­gahan akan dilakukan untuk menghindari kaburnya tersangka. “Kalau curiga dan dirasa ada yang ganjil, maka akan dilakukan pen­cegahan, tapi ini tergantung pe­nyidik. Kejaksaan me­nye­rah­kan pemeriksaan, penahanan, penyitaan dan pencekalan kepada penyidik.”

Lantaran itu, dia menam­bah­kan, posisi kejaksaan saat ini be­lum bisa mengajukan upaya ce­gah kepada pihak Ditjen Imig­rasi. Kecuali, ada permintaan penyidik yang disebabkan tersangka tidak kooperatif. Tapi, jika kersangka kooperatif dalam menjalani pe­meriksaan, pencegahan tidak perlu dilakukan.

“Jika tersangka melakukan usa­ha-usaha yang menyulitkan, nah itu bisa dilakukan pen­ce­gah­an. Yang jelas, penahanan di­la­ku­kan pertengahan Desember,” tandasnya.

Sebelumnya, penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejagung mene­tap­kan dua tersangka dugaan korupsi di Kementerian Agama berdasarkan Surat Perintah Pe­nyidikan (Sprindik) Nomor 163/f.2/fd.1/11/2011 tanggal 29 No­vember 2011 atas nama Syai­fud­din, dan  164/f.2/fd.1/11/2011 tang­gal 29 November 2011 atas nama Ida Bagus Mahendra Jaya Martha.

Keduanya diduga melakukan mark up pada proyek pengadaan alat laboratorium IPA Madrasah Tsa­nawiyah dan Aliyah se-In­donesia.

Noor menjelaskan, atas dugaan ter­sebut keduanya ditetapkan se­bagai tersangka berdasarkan Pa­sal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No­mor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Noor menuturkan, dalam peng­adaan alat laboratorium yang dibiayai Anggaran Pendapatan Be­lanja Negara Perubahan (APBNP) 2010 dengan total pro­yek Rp 71,5  miliar itu, Kemenag me­menangkan PT Alfindo Nura­tama Perkasa dan PT Sean Hul­bert Jaya. “Rinciannya, Rp 27,5 miliar untuk pembangunan La­bo­ratoriunm IPA Madrasah Tsa­na­wiyah, sedangkan Aliyah sebesar Rp 44 miliar,” urainya.

Namun, lanjut Noor, kedua per­­usahaan tersebut malah men­subkontrakkan proyek ini kepada pihak ketiga dengan cara meng­gelembungkan harga terlebih dahulu. Selain itu, alat tidak dapat di­gunakan sebagaimana mes­ti­nya, karena berbeda dengan spesifikasi yang diharapkan.

Parahnya lagi, jelas Noor, sela­ku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Syaifuddin tidak ber­upa­ya mencegah mark up itu, begitu juga Mahendra yang tidak men­jalankan tugasnya mengecek ba­rang yang tidak sesuai spesi­fikasi. Akibat dari tindakan keduanya, negara diperkirakan mengalami kerugikan sebesar Rp 25 miliar.

Noor menambahkan, tidak ter­tutup kemungkinan tersangka kasus ini bertambah dari pihak re­kanan Kementerian Agama. “Tunggu saja hasil penyidikan, ter­sangka kasus ini bisa ber­tam­bah.”

REKA ULANG

Negara Diperkirakan Rugi Rp 25 Miliar

Kasus dugaan korupsi di Ke­men­terian Agama (Kemenag) ini ber­mula pada 2010. Saat itu, Ke­me­nag memperoleh dana dari Ang­garan Pendapatan Be­lan­ja Negara Perubahan (APBNP) untuk membiayai proyek peng­ada­an alat laboratorium Ilmu Pe­ngetahuan Alam (IPA) Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMU)  se-Indonesia.

Anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 71,5 miliar, dengan rin­cian Rp 27,5 miliar untuk Tsa­na­wiyah, sedangkan Ali­yah se­be­sar Rp 44 miliar.

Dalam proses pengadaan pro­yek, dihasilkan dua pemenang ten­der. Untuk  menjalankan pro­yek proyek pengadaan alat labo­ra­torium di Madrasah Tsa­na­wiyah, pemenang tender tersebut jatuh pada PT Alfiando Nuratama Perkasa. Sedangkan, untuk pro­yek Aliyah pemenang ten­der­nya adalah PT Sean Hulbert Jaya.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Ka­pus­penkum Kejagung), Noor Rach­mad menjelaskan, dugaan ko­rupsi muncul setelah peme­nang tender tidak langsung me­laksanakan proyek tersebut.

Menurut Noor, penyidik me­nilai, telah terjadi praktik mark up (penggelembungan harga). Ka­rena, dalam pelaksanaannya, ke­dua perusahaan pemenang tender mensubkontrakkan proyek ke­pa­da pihak ketiga. Sebelumnya, harga pengadaan itu digelem­bungkan terlebih dulu, sehingga ne­gara diperkirakan mengalami kerugian Rp 25 miliar.

Kejaksaan menemukan adanya kejanggalan. Syaifuddin selaku Pe­jabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak mencegah praktik mark up itu, sekalipun kejang­gal­an itu diketahuinya. “Terseretnya Syaifuddin dalam kasus tersebut, lantaran selaku PPK seolah me­lakukan pembiaran,” katanya.

Noor menambahkan, tersangka kedua, Ida Bagus Mahendra Jaya Martha yang bertindak menjadi Konsultan IT dianggap terlibat, ka­rena tidak mengecek barang ke­butuhan proyek dengan spe­si­fi­kasi yang sudah ditetapkan. Akibatnya, alat yang ada tidak da­pat digu­nakan sebagiamana mes­tinya.

Noor menjelaskan, berda­sar­kan Surat Perintah Penyidikan (Sprin­dik) No 163 dan 164/f.2/fd.1/11/2011 tanggal 29 No­vem­ber 2011, Syaifuddin dan Ma­hen­dra sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Meski sudah berstatus tersang­ka, keduanya belum ditahan. Bukan itu saja, Kejaksaan Agung juga belum mengajukan surat ke Dit­jen Imigrasi Kementerian Hu­kum dan HAM untuk mencegah Syaifuddin dan Mahendra ke luar negeri.

Padahal, lambatnya pence­gah­an tersangka ke luar negeri, se­ringkali membuat proses hukum menjadi lambat. Contohnya dapat terlihat pada kasus Nazaruddin, be­kas Bendahara Umum Partai De­mokrat. Sehari sebelum surat ce­gah itu turun, Nazar sudah per­gi ke Singapura dengan alasan ber­obat. Keterlambatan bertindak itu membuat proses hukumnya men­jadi lambat.

Perlu Dicegah Ke Luar Negeri

Alvon Kurnia Palma, Wakil Ketua YLBHI

Wakil Ketua Yayasan Lem­ba­ga Bantuan Hukum In­do­nesia (YLBHI) Alvon Kurnia Pal­ma menilai, Kejaksaan Agung tidak serius mem­be­ran­tas korupsi jika tidak menahan dan tidak mencegah tersangka kasus korupsi ke luar negeri.

“Kalau ingin objektif, saat pe­netapan tersangka, Kejak­sa­an Agung semestinya juga me­netapkan status cegah untuk men­cegah tersangka melarikan diri ke luar negeri. Apalagi, para ter­sangka itu tidak ditahan,” katanya.

Menurutnya, kemungkinan ter­sangka kabur ke luar negeri perlu diantisipasi sejak dini. Se­lain itu, penetapan status ce­gah juga bisa menghindari ke­cu­rigaan publik pada kejaksaan yang sering dianggap main mata dengan tersangka.

Namun, lanjut Alvon, se­ring­kali kerangka adminstratif mem­buat pencegahan sangat la­ma. Lantaran itu, ada baiknya sebelum penetapan tersangka, status cegah juga diurus, se­hing­ga tidak ada waktu untuk ka­bur. “Jangan sampai sebelum cegah dikeluarkan, tersangka su­dah kabur ke luar negeri.”

Dia mengingatkan, belajar dari Nazaruddin yang kabur ke luar negeri, cepatnya proses ce­gah bagi tersangka sangat pen­ting. Apalagi, penanganan ka­sus korupsi juga merupakan lang­­kah penting untuk me­ngem­­balikan kerugian negara. Jangan sampai kerugian negara itu ke­buru digondol tersangka ke luar negeri.

Alvon menjelaskan, aturan ce­gah terdapat pada Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Un­dang Nomor 6 Tahun 2011 ten­tang Keimigrasian. Di dal­am­nya disebutkan, cegah saat pro­ses penyelidikan atau penyi­dik­an merupakan pilihan kebijakan hu­kum yang konstitusional se­panjang pembatasan itu di­be­rikan untuk hak-hak derogable (hak yang bisa dikurangi).

Dia menambahkan, hak ber­ge­rak merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi atau di­batasi (derogable right) dengan un­dang-undang, sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) jo Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. “Cekal se­perti diatur Pasal 16 ayat (1) hu­ruf b itu merupakan pem­ba­tasan hak yang konstitusional,” tegasnya.

Aturan tersebut, kata Alvon juga tercantum dalam Pasal 27 jo Pasal 70 UU Nomor 39 Ta­hun 1999 tentang HAM yang menjamin hak bergerak, tetapi hak itu bisa dikurangi sepanjang diatur dalam undang-undang.

Dia menilai, prinsip ini juga tercantum dalam Pasal 12 point 3 Konvensi International Cove­nant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi lewat UU Nomor 12 Tahun 2005.

Blokir Rekening Para Tersangka

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nu­dirman Munir menilai, Ke­jak­san Agung tidak profesional, karena lambat mengajukan cegah ke luar negeri terhadap tersangka kasus pengadan alat laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Madrasah Tsa­na­wiyah (SMP) dan Aliyah (SMU) se-Indonesia.

Menurutnya, penetapan sta­tus cegah semestinya dilakukan pada saat pelaku ditetapkan se­bagai tersangka kasus korupsi. “Cegah itu wajib dilakukan, apalagi ketika keduanya sudah menjadi tersangka,” katanya.

Kata Nudirman, status cegah baru bisa dicabut jika pada masa penyidikan tidak dite­mu­kan cukup bukti. Dia khawatir, kasus korupsi ini akan berujung seperti  kasus-kasus sebe­lum­nya. Seringkali pelaku sudah ke luar negeri sebelum surat cegah dibuat. “Telat kalau baru be­ren­cana cegah, seharusnya ke­jak­saan otomatis mencegah pe­laku, bila perlu sebelum men­jadi tersangka.”

Selain pencegahan, kata Nu­dirman pembelokiran reke­ning dan penyitaan aset juga perlu dilakukan. Dengan pembelo­kir­an rekening, pelaku tidak bisa menggunakan uangnya untuk ke luar negeri.

Nudirman juga berharap, upaya sita jaminan dilakukan, sehingga pelaku tidak bisa ber­kutik walau baru tahap pe­nye­lidikan. Karena bisa dijadikan alat pengembalian kerugian ne­gara, jika tersangka kabur ke luar negeri.

“Kalau harta benda melebihi kerugian negara, biarkan saja ke luar negeri, toh uang dan har­ta bendanya bisa dijadikan pe­ngembalian kerugian negara,” ujarnya.

Sebaliknya, jika barang yang disita dan uang yang dibelokir nilainya jauh di bawah kerugian  negara, pelaku harus dicegah lebih lama atau ditahan jika tidak kooperatif.

Nudirman mengingatkan, pencegahan lebih awal dapat mencegah tersangka ke luar negeri, kabur dari pemeriksaan penyidik.

Jika demikian, tambah dia, masalahnya tergantung pada kooperatif atau tidaknya ter­sangka. Untuk itu cegah adalah langkah awal melihat niat baik tersangka. “Saat dilakukan pe­mang­gilan tersangka harus ada, di situ  bisa dilihat niat baik­nya.”

Politisi Golkar ini me­nam­bahkan, kalau sudah menjadi ter­sangka dan tidak kooperatif pa­da penegak hukum, maka pelaku harus ditahan, bukan pencegahan ke luar negeri lagi.

Bukan itu saja, dalam upaya me­ngembalikan kerugian ne­ga­ra, kejaksaan juga harus me­ne­rapkan pembuktian terbalik. Yak­ni dengan penyitaan aset dan pembelokiran rekening, bu­kan penindakan tersangka saja. “Ruh pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian negara, bukan hanya mengadili ter­sangka.” kata dia. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA