RMOL. Indonesia Corruption Watch (ICW) menagih komitmen KPK segera menyeret perusahaan yang diduga turut menimbulkan kerugian negara Rp 1,2 triliun dalam kasus Bupati Pelalawan, Riau, Teuku Azmun Jaafar.
Menurut aktivis ICW Tama S Langkun, berdasarkan Putusan PeÂngadilan Nomor:12/PID.B/TPK/2008/PT.DKI, ada 15 perusahaan yang meÂnikÂmati duit kasus alih fungsi hutan itu. Tapi, belum satu orang pun pihak perusahaan yang diÂseret KPK sebagai tersangka. SeÂhingÂga, kasus ini masih menggantung.
Nilai kerugian negara yang diÂkembalikan ke kas negara pun maÂsih jauh dari Rp 1,2 triliun. “SeÂlama ini, yang dieksekusi baru Teuku Azmun Jaafar. Dia juga wajib mengembalikan ke neÂgara sebesar Rp 19,83 miliar. PiÂhak perusahaan belum terÂsentuh,†katanya kepada Rakyat Merdeka.
Lima belas perusahaan itu yakÂni, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Selaras Abadi Utama, PT UniÂseraya, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri, CV Mutiara LesÂÂtari, PT Rimba Mutiara PerÂmai, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Bhakti Praja Mulia, PT Trio Mas FDI, PT Satria Perkasa Agung, PT Mitra Hutani Jaya, CV Alam Jaya, CV Harapan Jaya dan PT Madukuro.
Menurut Tama, peÂruÂsaÂhaan-perusahaan yang terÂmasuk dalam putusan tersebut daÂpat diseret ke pengadilan. YakÂni, dengan meÂlihat keterkaitan mereka dalam penyalahgunaan weÂwenang alih fungsi hutan.
“KPK perlu mendalami keterÂkaitan 15 perusahaan tersebut oleh KPK.â€
Tama mengatakan, seharusnya 15 perusahaan itu diÂkeÂnaÂkan Pasal 2 Undang-Undang TinÂdak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berbunyi, setiap orang yang secara sadar melawan hukum meÂlakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korÂpoÂrasi yang dapat merugikan keÂuangan negara atau perekoÂnoÂmian negara, dipidana dengan piÂdana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Dia pun menyayangkan KPK yang kerap tidak optimal dalam meÂnaÂngani kasus besar. “KPK mesÂtiÂnya tidak hanya melakukan folÂlow the suspect, tapi juga meÂlaÂkuÂkan follow the money untuk meÂnelusuri kemana uang negara yang hilang,†jelasnya.
Tama kesal, sebab, sekalipun sudah ada tersangka sejak 2008, tapi pendalaman untuk meÂngejar uang negara yang dibawa pergi pihak-pihak perusahaan itu tak kunjung dilakukan. “Dari peÂnerÂbitan izin itu, KPK haÂrusnya tahu keÂmana mencari uang itu.â€
Sebelumnya, Koalisi Anti MaÂfia Hutan mendorong kepolisian mengusut perusahaan-peruÂsaÂhaÂan penikmat praktik korupsi keÂhuÂtanan yang terjadi di Riau.
Mereka menyebutkan, para peÂrusak hutan bisa disidik dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, tentang penÂcegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang telah mencantumkan kejaÂhaÂtan kehutanan sebagai salah satu kejahatan asal (proceeds of crime) pencucian uang.
Akan tetapi, hingga saat ini tiÂdak satu pun perusak hutan yang dihukum dengan menggunakan undang-undang ini. Malah, polisi memisahkan penggunaan pasal ini.
Kini, harapan satu-satunya yang bisa mendobrak keleluasaan otak perusak hutan tinggal KPK. Menggunakan UU Tipikor, deÂngan sendirinya memungkinkan menghukum sekaligus pejabat, investor, perusahaan dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam perusakan hutan.
Seperti yang sudah dibuktiÂkan KPK dengan menindak pimpinan Surya Dumai Group di KalimanÂtan Timur yang berÂdalih memÂbaÂngun perkebunan sawit untuk mengÂhabiskan kayu di lahan konÂsesi ilegalnya. DaÂlam kasus ini, Gubernur KaliÂmantan Timur SuÂwarna AF juga menÂjadi pihak yang turut berÂtanggung jawab.
Selain itu, pengembalian kÂeÂruÂgian negara dari korupsi sektor keÂhutanan pun sangat signifikan. Hingga saat ini, pengembalian keÂrugian negara yang terbesar oleh KPK adalah dari sektor kehutanan, yakni mencapai Rp 9,1 triliun pada 2010.
Namun, beÂlum bisa menjerat pimpinan peÂrusahaan-perusahaan penikmat koÂrupsi di sektor keÂhuÂtanan seÂcara optimal.
KPK Harus Berani Seret Pengusaha
Boyamin Saiman, Aktivis LSM MAKI
Aktivis LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengiÂngatÂkan KPK agar tidak hanya memÂbawa bekas Bupati PelaÂlaÂwan, Riau, Teuku Azmun Jafar ke Pengadilan Tipikor. Dia menÂdesak KPK juga menyeret pihak-pihak lain yang terlibat kasus ini ke pengadilan.
Menurutnya, pimpinan peÂruÂsahaan-perusahaan yang meÂnerima izin juga harus diusut seÂcara tuntas oleh KPK, agar keÂrugian negara yang mencapai Rp 1,2 triliun bisa dikembaÂliÂkan ke kas negara. “Sekarang maÂsalahnya, KPK berani tidak menyeret bos perusahaan-peÂrusahaan itu,†katanya.
Boyamin menilai, kelihatan seÂkali kepala daerah dengan keÂkuasaannya memberikan keÂmuÂdahan terhadap perusahaan-perusahaan rekanan. Maka, tak jarang korupsi terjadi dan hanya berÂhenti pada Bupati yang bersangkutan.
Untuk itu, kata Boyamin, piÂhak 15 perusahaan yang meÂnikÂmati korupsi izin usaha peÂmanÂfaatan hasil hutan kayu dan huÂtan tanaman (IUPHHK-HT) haÂrus diusut KPK juga.
“KPK haÂrus menelusuri kaÂsus peÂnguasa yang memanÂfaatÂkan kewÂeÂnaÂnganÂnya untuk keÂpentingan senÂdiri, apalagi menÂcari keÂunÂtuÂngan dengan beÂkerÂjaÂsama deÂngan swasta.â€
Selain itu, menurut dia, apa yang diterima Bupati sebagai uang korupsi masih tergolong kecil dari keuntungan yang diÂdapatkan atas terbitnya izin terÂsebut, karena negara dirugikan Rp 1,2 triliun.
Boyamin yakin, meski AzÂmun Jafaar sudah dihukum, tapi pelanggaran akan terus terjadi, kaÂrena izin tersebut sudah diÂdapat perusahan-perusahaan tersebut.
“Semua proses tentunya akan dilanggar juga, maka KPK jangan berhenti di pelaku, tapi kejar juga jaringan lain yang merugikan negara lebih besar,†tandasnya.
Jika hanya berhenti di Bupati PeÂlalawan, tapi praktik peÂmanÂfaatan izin ilegal masih berÂlangÂsung, itu bisa menimbulkan keÂruÂsakan lingkungan seperti timÂbulnya longsor dan banjir. “Atas penggunaan izin tersebut tenÂtunya kerusakan hutan akan berÂtambah parah,†katanya.
Nggak Adil Cuma Hukum Kepala Daerah
Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR
AnggotA Komisi III DPR Ahmad Yani meminta KoÂmisi Pemberantasan KoÂrupsi jeli melihat masalah dan menyeret pihak-pihak swasta yang beÂkerja sama dengan pejabat neÂgara dalam melakukan korupsi kolektif.
Menurutnya, tidak adil jika hanya kepala daerah yang diseÂret ke pengadilan sedang pihak swasta menikmati untung yang lebih besar. “Kalau KPK mau optimal kembalikan kerugian negara, swasta yang beÂkerÂjaÂsama dan menikmati harus diÂseret juga dong,†katanya.
Ahmad Yani berharap, pada kasus korupsi izin usaha peÂmanÂfaatan hasil hutan kayu dan hutan tanaman (IUPHHK-HT), KPK berani mengambil tindaÂkan tegas terhadap pihak 15 perusahaan yang disebutkan dalam putusan.
Dia menuturkan, kerugian negara yang mencapai Rp 1,2 triÂliun, tidak serta-merta diÂnikÂmati bupati saja. Maka, tidak berlebihan jika KPK melakukan pendalaman terhadap 15 peÂrusahaan itu.
“Pihak perusahaan swasta terkait perlu dipanggil dan diÂjaÂdikan tersangka. Bila perlu, aset-asetnya disita untuk meÂngembalikan kerugian neÂgara,†ujarnya.
Yani menyesalkan, KPK rajin menangkap pelaku kasus-kasus kecil dan tidak bisa meÂngemÂbalikan kerugian negara secara optimal.
Politisi PPP ini menilai, pola kerja KPK harus diubah dengan menelusuri aliran uang negara yang hilang, bukan semata meÂnelusuri siapa yang bersalah.
“Kalau mencari siapa yang salah tentu kerugian negara terÂabaikan. Tapi kalau menelusuri kemana uang negara mengalir, tentu pelakunya juga akan terÂtangkap,†tandasnya.
Selama ini, kata dia, peÂnyeÂlesaian kasus yang dilakukan KPK sangat lambat, bahkan ada yang berlarut-larut. “Pola ini juga harus ditinggalkan. KoÂrupÂsi masih merajalela karena pola kerja KPK masih lambat.†[Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: