Kasus Azmun Jaafar Masih Menggantung

Yang Ikut Rugikan Negara 1,2 Triliun Tak Tersentuh

Sabtu, 03 Desember 2011, 08:57 WIB
Kasus Azmun Jaafar Masih Menggantung
Teuku Azmun Jaafar

RMOL. Indonesia Corruption Watch (ICW) menagih komitmen KPK segera menyeret perusahaan yang diduga turut menimbulkan kerugian negara Rp 1,2 triliun dalam kasus Bupati Pelalawan, Riau, Teuku Azmun Jaafar.

Menurut aktivis ICW Tama S Langkun, berdasarkan Putusan Pe­ngadilan Nomor:12/PID.B/TPK/2008/PT.DKI, ada 15 perusahaan yang me­nik­mati duit kasus alih fungsi hutan itu. Tapi, belum satu orang pun pihak perusahaan yang di­seret KPK sebagai tersangka. Se­hing­ga, kasus ini masih menggantung.

Nilai kerugian negara yang di­kembalikan ke kas negara pun ma­sih jauh dari Rp 1,2 triliun.  “Se­lama ini, yang dieksekusi baru Teuku Azmun Jaafar. Dia juga wajib mengembalikan ke ne­gara sebesar Rp 19,83 miliar. Pi­hak perusahaan belum ter­sentuh,” katanya kepada Rakyat Merdeka.

Lima belas perusahaan itu yak­ni, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Selaras Abadi Utama, PT Uni­seraya, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri, CV Mutiara Les­­tari, PT Rimba Mutiara Per­mai, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Bhakti Praja Mulia, PT Trio Mas FDI, PT Satria Perkasa Agung, PT Mitra Hutani Jaya, CV Alam Jaya, CV Harapan Jaya dan PT Madukuro.

Menurut Tama, pe­ru­sa­haan-perusahaan yang ter­masuk dalam putusan tersebut da­pat diseret ke pengadilan. Yak­ni, dengan me­lihat keterkaitan mereka dalam penyalahgunaan we­wenang alih fungsi hutan.

“KPK perlu mendalami keter­kaitan 15 perusahaan tersebut oleh KPK.”

Tama mengatakan, seharusnya 15 perusahaan itu di­ke­na­kan Pasal 2 Undang-Undang Tin­dak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berbunyi, setiap orang yang secara sadar melawan hukum me­lakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau kor­po­rasi yang dapat merugikan ke­uangan negara atau pereko­no­mian negara, dipidana dengan pi­dana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dia pun menyayangkan KPK yang kerap tidak optimal dalam me­na­ngani kasus besar. “KPK mes­ti­nya tidak hanya melakukan fol­low the suspect, tapi juga me­la­ku­kan follow the money untuk me­nelusuri kemana uang negara yang hilang,” jelasnya.

Tama kesal, sebab, sekalipun sudah ada tersangka sejak 2008, tapi pendalaman untuk me­ngejar uang negara yang dibawa pergi pihak-pihak perusahaan itu tak kunjung dilakukan. “Dari pe­ner­bitan izin itu, KPK ha­rusnya tahu ke­mana mencari uang itu.”

Sebelumnya, Koalisi Anti Ma­fia Hutan mendorong kepolisian mengusut perusahaan-peru­sa­ha­an penikmat praktik korupsi ke­hu­tanan yang terjadi di Riau.

Mereka menyebutkan, para pe­rusak hutan bisa disidik dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, tentang pen­cegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang telah mencantumkan keja­ha­tan kehutanan sebagai salah satu kejahatan asal (proceeds of crime) pencucian uang.

Akan tetapi, hingga saat ini ti­dak satu pun perusak hutan yang dihukum dengan menggunakan undang-undang ini. Malah, polisi memisahkan penggunaan pasal ini.

Kini, harapan satu-satunya yang bisa mendobrak keleluasaan otak perusak hutan tinggal KPK. Menggunakan UU Tipikor, de­ngan sendirinya memungkinkan menghukum sekaligus pejabat, investor, perusahaan dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam perusakan hutan.

Seperti yang sudah dibukti­kan KPK dengan menindak pimpinan Surya Dumai Group di Kaliman­tan Timur yang ber­dalih mem­ba­ngun perkebunan sawit untuk meng­habiskan kayu di lahan kon­sesi ilegalnya. Da­lam kasus ini, Gubernur Kali­mantan Timur Su­warna AF juga men­jadi pihak yang turut ber­tanggung jawab.

Selain itu, pengembalian k­e­ru­gian negara dari korupsi sektor ke­hutanan pun sangat signifikan. Hingga saat ini, pengembalian ke­rugian negara yang terbesar oleh KPK adalah dari sektor kehutanan, yakni mencapai Rp 9,1 triliun pada 2010.

Namun, be­lum bisa menjerat pimpinan pe­rusahaan-perusahaan penikmat ko­rupsi di sektor ke­hu­tanan se­cara optimal.

KPK Harus Berani Seret Pengusaha

Boyamin Saiman, Aktivis LSM MAKI

Aktivis LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengi­ngat­kan KPK agar tidak hanya mem­bawa bekas Bupati Pela­la­wan, Riau, Teuku Azmun Jafar ke Pengadilan Tipikor. Dia men­desak KPK juga menyeret pihak-pihak lain yang terlibat kasus ini ke pengadilan.

Menurutnya, pimpinan pe­ru­sahaan-perusahaan yang me­nerima izin juga harus diusut se­cara tuntas oleh KPK, agar ke­rugian negara yang mencapai Rp 1,2 triliun bisa dikemba­li­kan ke kas negara. “Sekarang ma­salahnya, KPK berani tidak menyeret bos perusahaan-pe­rusahaan itu,” katanya.

Boyamin menilai, kelihatan se­kali kepala daerah dengan ke­kuasaannya memberikan ke­mu­dahan terhadap perusahaan-perusahaan rekanan. Maka, tak jarang korupsi terjadi dan hanya ber­henti pada Bupati yang bersangkutan.

Untuk itu, kata Boyamin, pi­hak 15 perusahaan yang me­nik­mati korupsi izin usaha pe­man­faatan hasil hutan kayu dan hu­tan tanaman (IUPHHK-HT) ha­rus diusut KPK juga.

“KPK ha­rus menelusuri ka­sus pe­nguasa yang meman­faat­kan kew­e­na­ngan­nya untuk ke­pentingan sen­diri, apalagi men­cari ke­un­tu­ngan dengan be­ker­ja­sama de­ngan swasta.”

Selain itu, menurut dia, apa yang diterima Bupati sebagai uang korupsi masih tergolong kecil dari keuntungan yang di­dapatkan atas terbitnya izin ter­sebut, karena negara dirugikan Rp 1,2 triliun.

Boyamin yakin, meski Az­mun Jafaar sudah dihukum, tapi pelanggaran akan terus terjadi, ka­rena izin tersebut sudah di­dapat perusahan-perusahaan tersebut.

“Semua proses tentunya akan dilanggar juga, maka KPK jangan berhenti di pelaku, tapi kejar juga jaringan lain yang merugikan negara lebih besar,” tandasnya.

Jika hanya berhenti di Bupati Pe­lalawan, tapi praktik pe­man­faatan izin ilegal masih ber­lang­sung, itu bisa menimbulkan ke­ru­sakan lingkungan seperti tim­bulnya longsor dan banjir. “Atas penggunaan izin tersebut ten­tunya kerusakan hutan akan ber­tambah parah,” katanya.

Nggak Adil Cuma Hukum Kepala Daerah

Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR

AnggotA Komisi III DPR Ahmad Yani meminta Ko­misi Pemberantasan Ko­rupsi jeli melihat masalah dan menyeret pihak-pihak swasta yang be­kerja sama dengan pejabat ne­gara dalam melakukan korupsi kolektif.

Menurutnya, tidak adil jika hanya kepala daerah yang dise­ret ke pengadilan sedang pihak swasta menikmati untung yang lebih besar. “Kalau KPK mau optimal kembalikan kerugian negara, swasta yang be­ker­ja­sama dan menikmati harus di­seret juga dong,” katanya.

Ahmad Yani berharap, pada kasus korupsi izin usaha pe­man­faatan hasil hutan kayu dan hutan tanaman (IUPHHK-HT), KPK berani mengambil tinda­kan tegas terhadap pihak 15 perusahaan yang disebutkan dalam putusan.

Dia menuturkan, kerugian negara yang mencapai Rp 1,2 tri­liun, tidak serta-merta di­nik­mati bupati saja. Maka, tidak berlebihan jika KPK melakukan pendalaman terhadap 15 pe­rusahaan itu.

“Pihak perusahaan swasta terkait perlu dipanggil dan di­ja­dikan tersangka. Bila perlu, aset-asetnya disita untuk me­ngembalikan kerugian ne­gara,” ujarnya.

Yani menyesalkan, KPK rajin menangkap pelaku kasus-kasus kecil dan tidak bisa me­ngem­balikan kerugian negara secara optimal.

Politisi PPP ini menilai, pola kerja KPK harus diubah dengan menelusuri aliran uang negara yang hilang, bukan semata me­nelusuri siapa yang bersalah.

“Kalau mencari siapa yang salah tentu kerugian negara ter­abaikan. Tapi kalau menelusuri kemana uang negara mengalir, tentu pelakunya juga akan ter­tangkap,” tandasnya.

Selama ini, kata dia, pe­nye­lesaian kasus yang dilakukan KPK sangat lambat, bahkan ada yang berlarut-larut. “Pola ini juga harus ditinggalkan. Ko­rup­si masih merajalela karena pola kerja KPK masih lambat.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA