Diduga Hamili Tahanan, Jaksa Terancam Dipecat

Kejagung Terima Banyak Laporan Jaksa Nakal

Sabtu, 26 November 2011, 09:35 WIB
Diduga Hamili Tahanan, Jaksa Terancam Dipecat
ilustrasi, pelantikan jaksa

RMOL. Kejaksaan Agung telah memberhentikan sementara Sistoyo, jaksa Kejaksaan Negeri Cibinong yang ditangkap KPK lantaran diduga menerima suap. Kejagung juga akan menonaktifkan sejumlah jaksa nakal lain, seperti jaksa yang diduga menghamili tahanan.

“Di Surabaya, ada laporan dari wanita bernama Marta, bahwa jak­sa Hary Sutopo telah meng­ha­milinya. Wanita itu sedang dita­han di Rutan Madaeng, karena kasus penipuan dan penggelapan. Rupanya Hary sering datang ke rutan. Dia menghamili Marta,” kata Jaksa Agung Muda Pe­nga­wasan (Jamwas) Marwan Effen­dy kepada Rakyat Merdeka.

Hary Sutopo, lanjut Jamwas, ma­sih dalam proses pe­nyeli­di­kan. “Kami masih telusuri buk­ti­nya. Sebab, Hary menolak dise­but menghamili. Kami masih me­mer­lukan saksi-saksi lain. Jika ter­bukti menghamili, dia harus di­copot,” ujar Marwan, Kamis (24/11).

Di Solo, lanjut Marwan, pihak­nya sedang menelusuri laporan mengenai jaksa yang suka minta jatah proyek. “Masih dalam pro­ses klarifikasi. Di sana ada jaksa yang minta jatah, ikut-ikut pro­yek dan tender. Di  Sumatera, ada jak­sa yang kerap memanggil-mang­gil kontraktor, pimpro-pim­pro dan para pejabat pembuat ko­mitmen proyek untuk dimintai uang. Semua itu kami proses dan akan kami tindak,” katanya.

Jajaran Jamwas juga sedang me­lakukan penyelidikan di Pur­wakarta dan Karawang, Jawa Ba­rat dan beberapa kota lainnya. “Se­jumlah kasus narkoba, ke­ke­rasan dalam rumah tangga yang dilakukan jaksa, kami proses. Pi­d­ana umum seperti itu telah kami serahkan ke pihak kepolisian untuk diproses,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Marwan, pi­hak­nya masih memproses penco­potan dua kepala kejaksaan tinggi (kajati) dan tiga jaksa lainnya dari jabatan struktural.

Selain dua orang kajati itu, tiga jak­sa dicopot dari jabatannya, yak­ni dua kepala seksi dan satu kepala cabang kejaksaan negeri. Ketiganya bertugas di Kejari Ma­luku Utara. Dua kepala seksi itu akan dicopot karena melakukan pe­merasan terhadap keluarga ter­sangka sebuah perkara. Se­dang­kan kepala cabang kejari itu di­du­ga melakukan penggelapan dana operasional kantor.

Nah, daftar jaksa bermasalah itu bertambah panjang setelah Sistoyo yang baru 10 bulan ber­tu­gas di Kejari Cibinong, dibekuk KPK. Wajah Korps Adhyaksa kembali tercoreng. Tidak mau ke­h­ilangan muka berkali-kali, Sis­to­yo segera diberhentikan se­mentara. “Begitu dia ditangkap KPK, jadi tersangka dan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, saya langsung merekomendasikan kepada Jaksa Agung untuk memberhentikannya sementara,” ujar Marwan.

Marwan menjelaskan, Sistoyo berpangkat Jaksa Muda dengan golongan III D, betugas di Kejari Cibinong sebagai Kepala Sub Bagian Pembinaan. “Sistoyo juga sudah kami rekomedasikan untuk dipecat,” tandasnya.

Dalam urusan penangkapan Sistoyo, Marwan mengapresiasi upaya KPK yang turut membantu kinerja kejaksaan. Tapi, dia ber­harap, upaya memburu jaksa se­perti itu dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung. Marwan juga berharap, upaya menangkapi jak­sa seperti itu tidak ditunggangi mua­tan tertentu, seperti mem­ba­ngun citra negatif bagi kejaksaan yang kebetulan ada jaksa yang maju menjadi calon pimpinan KPK. Atau, mengejar citra di ak­hir masa jabatan pimpinan KPK.

“Yang saya sesalkan, mestinya KPK juga kasih informasi ke ke­jaksaan atau berkoordinasi de­ngan kami. Sebab, di kejaksaan pun ada kewenangan pe­nga­wa­san. Penangkapan seperti itu ba­gus saja, tetapi jangan karena mo­men menjelang akhir jabatan. Le­bih penting, bukan soal tangkap menangkap, tapi bagaimana men­cegahnya,” ujar dia.

Yang Paling Penting Pengawasan Eksternal

Erna Ratnaningsih, Ketua Badan Pengurus YLBHI

Ketua Badan Pengurus Ya­yasan Lembaga Bantuan Hu­kum Indonesia (YLBHI) Erna Ratnaningsih belum yakin ada perubahan signifikan dalam pola pengawasan internal di kejaksaan.

Menurut dia, selain perlu pe­ningkatan kinerja pengawasan internal Kejagung, pengawasan eksternal pun perlu diper­ha­ti­kan. “Saya kira pengawasan jaksa kita masih jauh dari ha­rapan. Internal mereka memang perlu terus ditingkatkan. Yang pa­ling penting adalah penga­wa­s­an eksternal,” ujarnya.

Kehadiran Komisi Kejaksaan yang dianggap sebagai bagian dari pengawasan eksternal, me­nurut Erna, tidak berefek apa­pun. “Komisi Kejaksaan itu si­fatnya hanya menerima lapo­ran, memberikan petuah-pe­tuah, rekomendasi, jadi tidak me­mi­liki efek yang efektif. Ka­lau mau, Komisi Kejaksaan itu di­beri kewenangan tegas me­nin­dak jaksa nakal. Komisi itu juga harus diisi orang-orang yang independen serta memiliki in­ tegritas,” katanya.

Menurut Erna, membangun kejaksaan yang bermartabat, dengan jaksa-jaksa profesional, benar-benar memiliki integritas dalam pekerjaannya, baik dalam menyusun dakwaan dan me­nyi­dik, tidak bisa dilakukan hanya dengan iming-iming renumerasi ataupun pengawasan internal. Karakter jaksa harusnya sudah digodok sejak awal rekrutmen.

“Orang-orang yang cerdas, terampil dan memiliki integ­ri­taslah yang layak direkrut men­jadi jaksa. Jangan yang ber­da­sarkan titipan, atau karena so­gok,” kata Erna.

Jika sudah begitu, lanjut dia, maka persoalan kesejahteraan seperti pemberian renumerasi pun pantas dilakukan. “Setuju saja kalau tingkat kesejahteraan mereka diperhatikan, tetapi harus selaras dengan kinerja dan perilaku,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Remunerasi Perlu Segera Dievaluasi

Syarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding me­nyam­paikan, kian banyaknya ulah kotor jaksa yang terungkap, membuktikan perlunya sebuah upaya serius membenahi ins­titusi kejaksaan. Pembenahan institusi kejaksaan, tidak boleh retorika kosong belaka.

“Persoalan yang banyak ter­jadi di kejaksaan perlu disikapi secara kritis. Evaluasi pola pem­binaan dan pengawsan jak­sa menjadi krusial untuk segera ditingkatkan,” ujar Syarifuddin Sudding.

Politisi Partai Hanura itu me­nyarankan agar dibuatkan se­buah pola pengawasan yang efektif serta pola kinerja yang profesional bagi institusi ke­jaksaan. “Diupayakan agar ada road map yang jelas, dan di­perlukan untuk internal ke­jaksaan,” ujarnya.

Dia setuju agar jaksa pelaku kri­minal, penerima suap dan tin­dak pidana korupsi lainnya di­tin­dak berat dan diberi sanksi te­gas. “Saya kira ini juga me­nyang­kut moral dan perilaku, ya harus diambil sikap tegas,”ujar Suding.

Dia setuju agar kesejahteraan jaksa ditingkatkan melalui remunerasi. Tapi nyatanya, tin­da­kan menyimpang jaksa tidak berkurang. Karena itu, menurut Suding, sebaiknya dilakukan eva­luasi menyeluruh terhadap para jaksa. “Kita sepakat perlu ada peningkatan kesejahteraan, tapi rupanya remunerasi tidak membawa peningkatan signi­fi­kan. Tidak ada korelasi positif dengan perilaku. Ini perlu di­evaluasi,” ujarnya.

Pengawasan terhadap kinerja jaksa, lanjutnya, mesti benar-benar menunjukkan perubahan langgam kerja dan perilaku. Jika tidak, maka tidak mustahil suatu saat publik semakin tidak per­ca­ya dengan institusi itu dan di­anggap tidak ada gunanya.

“Ini masalah kepercayaan. Jika ternyata dalam mel­ak­sa­na­­kan tugas dan wewe­nang­nya jaksa tidak bisa dipercaya, pub­lik bisa drop. Ini perlu di­per­hatikan dengan serius,” ingat­nya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA