Dua Lagi, Direktur RSUD Dikorek Penyidik Mabes

Telusuri Kasus Korupsi di Kemenkes

Senin, 07 November 2011, 08:51 WIB
Dua Lagi, Direktur RSUD Dikorek Penyidik Mabes
Kementerian Kesehatan
RMOL.Polisi masih mengusut kasus korupsi di Kementerian Kesehatan. Pemeriksaan direktur rumah sakit umum daerah diperlukan guna mengkros cek kebenaran pengakuan tersangka bekas Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretariat BP2SDM Kemenkes Syamsul Bahri.

Komitmen mengentaskan du­gaan korupsi dalam proyek ber­anggaran Rp 492 miliar ini, di­sam­paikan Direktur III Tipikor Ba­reskrim Polri Kombes Noer Ali yang baru menggantikan Brig­jen Ike Edwin pada Jumat (4/11).

Namun, saat ditanya berapa total kerugian negara dalam kasus ini dan bagaimana peran bekas Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin, dia menolak mem­beri tanggapan.

Noer mengaku perlu mem­pelajari hal itu secara spesifik. Yang pasti, untuk me­nak­sir total kerugian negara da­lam proyek (BP2SDM) ini, ke­po­lisian me­nunggu hasil audit Ba­dan Penga­was Keuangan dan Pem­bangunan (BPKP).

Sambil menunggu tuntasnya audit BPKP, bekas Direktur III Tipikor Bareskrim Brigjen Ike Edwin mengatakan, pemeriksaan terhadap direktur rumah sakit umum daerah terus dilakukan.  Sedikitnya sudah 10 direktur ru­mah sakit yang telah dimintai ke­terangan sebagai saksi.

“Sudah ada tambahan dua saksi pada minggu lalu. Dari delapan men­jadi 10 saksi. Saksi-saksi  ber­asal dari direktur rumah sakit umum di daerah,” ujarnya.

Kepala Biro Humas BPKP Ratna Tianti yang dimintai tang­gapan soal hasil audit keuangan di BP2SDM Kemenkes tahun anggaran 2009 mengaku, BPKP masih menganalisa dan meng­hi­tung hal tersebut. “Jika peng­hi­tungannya selesai, segera kami sampaikan kepada kepolisian dan KPK,” ujarnya.

Sumber penyidik kepolisian menginformasikan, pengakuan tersangka bekas Kepala Bagian Program dan Informasi Sek­re­ta­riat BP2SDM Kemenkes Syam­sul Bahri mengindikasikan, pe­nyelewengan anggaran proyek BP2SDM Kemenkes 2009 erat kaitannya dengan pengadaan alat-alat kesehatan di daerah.

“Secara tidak langsung, penga­daan alat kesehatan dan alat bantu program belajar mengajar di ru­mah sakit daerah diketahui para direktur rumah sakit,” ucapnya.

Sebagaimana lazimnya, pe­ngajuan anggaran yang diketahui direktur rumah sakit diajukan pada Dirjen (BP2SDM) Ke­men­kes. Oleh Dirjen BP2SDM, alo­kasi anggaran ditentukan ber­d­a­sarkan skala prioritas. Lagi-lagi, tambahnya, penetapan skala prioritas diduga tidak dikelola secara benar. Kebutuhan daerah yang besar, ternyata mendapat anggaran yang kecil, begitu pun sebaliknya.

Hal tersebut diperparah analisa penyidik yang menyebut, pe­nge­lo­laan anggaran juga banyak yang tak sesuai peruntukan. Be­rangkat dari data tersebut, ke­polisian menetapkan status ter­sangka terhadap Syamsul Bahri.

Dalam dua kali pemeriksaan, penyidik bisa menyimpulkan, yang bersangkutan melanggar prinsip kehati-hatian dalam meng­gunakan dan mengelola keuangan negara.

Lalu, siapa yang akan menyu­sul jejak Syamsul Bahri jadi ter­sangka kasus ini? Penyidik ter­sebut menjawab singkat, “Pe­ngumpulan keterangan  saksi masih berjalan. Sebelum ada ter­sangka baru, kami konfrontir keterangan mereka terlebih dulu serta mengecek dokumen-do­kumen yang ada.”

Disinggung mengenai identitas dua direktur rumah sakit yang dimintai keterangan sebagai saksi pada minggu lalu, perwira me­ne­ngah ini menolak me­nye­but­kan­nya. Alasannya, penyidik punya kewenangan melindungi saksi. Kesaksian mereka dinilai sangat penting untuk membongkar keterlibatan pihak lain seperti Nazaruddin.

Sementara itu, Kepala Biro Hu­mas KPK Johan Budi Sapto Pra­bowo menyatakan, Komisi Pem­berantasan Korupsi masih men­su­pervisi penanganan kasus Ke­menkes di kepolisian. Dengan su­pervisi tersebut, tidak ada alasan buat KPK untuk mengambil alih penanganan kasus pengadaan alat bantu belajar mengajar pen­di­di­kan dokter spesialis di rumah sa­kit pendidikan dan rujukan di BP2SDM Kemenkes.

Perlu Diawasi Ekstra Ketat

Asfinawati, Bekas Direktur LBH

Bukan tidak mungkin ada permainan internal kepolisian yang memicu pengusutan kasus dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan tak kunjung tuntas. Lantaran itu, tindak-tanduk ke­po­lisian menangani kasus terse­but perlu diawasi ekstra ketat. De­mikian keterangan bekas Di­rektur Lembaga Bantuan Hu­kum (LBH) Asfinawati.

Menurut dia, kepercayaan ma­syarakat terhadap kepolisian saat ini sangat rendah. Hal ter­se­but dipicu berbagai skandal ko­rupsi yang melibatkan ok­num ke­po­lisian. “Bagaimana ke­polisian bisa menangani ka­sus korupsi de­ngan baik jika aparatnya ma­sih korup,” tandas Asfinawati.

Lantaran itu, dia pesimis bah­wa kepolisian akan bisa lebih cepat menuntaskan per­kara korupsi di Kemenkes dan kasus lain yang merugikan keuangan negara. Diakui, se­lama ini m­e­mang sudah terlihat beberapa perkara korupsi yang berhasil di­ungkap kepolisian. Namun, hal tersebut masih se­ba­tas me­nyentuh dasarnya.

Asfinawati berharap, kepo­lisian kelak mampu menangani kasus-kasus korupsi besar. Jika saat ini kepolisian mengeluhkan optimalisasi penanganan per­kara terbentur keterbatasan ang­ga­ran serta personel, hal terse­but hendaknya bisa disiasati. Mi­salnya, mengalihkan ang­ga­ran dari pos-pos yang non­pro­duk­tif  ke pos yang mem­bu­tuh­kan anggaran tambahan.

“Yang paling penting saat ini adalah menunjukkan prestasi menyelesaikan kasus korupsi besar dulu, baru bicara angga­ran tambahan,” sarannya.

Khawatir Polisi Tak Serius

Syarifudin Sudding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifudin Sudding menilai, Polri lelet menangani dugaan ko­rupsi di Kementerian Kese­ha­tan ini. Jika dibiarkan ber­la­rut-larut, kelambanan pe­na­nga­nan perkara korupsi di sektor kesehatan, bisa menurunkan mutu pelayanan kesehatan ma­syarakat secara umum. “Saya khawatir kepolisian tidak serius menangani kasus ini,” ujarnya.

Jika dibandingkan penan­ga­nan kasus lain, menurutnya, kepolisian terkesan sangat si­gap. Tapi, ketika menangani per­kara korupsi, kepolisian lebih banyak melempemnya. Apalagi, jika kasus korupsi itu diduga melibatkan kelompok elit atau penguasa.

Kondisi yang sudah lazim itu, saran Sudding, hendaknya tidak terjadi berulang-ulang. Di ba­wah kepemimpinan Kapolri Jenderal Timur Pradopo serta Direktur Tindak Pidana Korupsi yang baru, kepolisian se­mes­ti­nya menunjukkan prestasi yang lebih baik dalam menangani kasus korupsi.

Dengan ko­mit­men ini, dia ber­­harap, kasus Ke­menkes yang sudah ngendon hampir tiga ta­hun di kepolisian bisa tun­tas le­bih cepat. “Jangan di­tunda-tun­da penanganannya. Ini me­nyangkut nasib m­a­sya­rakat. Jika dibiarkan, nanti bisa men­jadi semacam kejahatan ter­hadap kemanusiaan,” katanya.

Dia berpendapat, efek atas kejahatan korupsi yang sangat global tersebut, semestinya jadi patokan kepolisian dalam meng­genjot penuntasan kasus ini. Dia juga mengingatkan, be­lum adanya penahanan ter­ha­dap ter­sangka kasus ini bisa me­nim­bulkan efek yang negatif. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA