PR dari Albertina Ho Belum Digarap Polri

Kasus Cirus Sinaga Hilangkan Pasal Korupsi Gayus

Jumat, 04 November 2011, 09:00 WIB
PR dari Albertina Ho Belum Digarap Polri
Albertina Ho
RMOL.Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Cirus Sinaga, karena terbukti melakukan penghilangan pasal korupsi yang akan didakwakan kepada Gayus Tambunan. Tapi, masih ada pekerjaan rumah (PR) yang mesti dikerjakan Polri dan Kejaksaan Agung.

Dalam sidang putusan pada 25 Oktober 2011 itu, Ketua Majelis Hakim Albertina Ho menyatakan, Cirus tidak seharusnya ber­tang­gung jawab sendiri dalam kasus ini.

Pernyataan Albertina seolah menjadi PR bagi Mabes Polri yang telah menyelesaikan pe­nyi­dikan terhadap Cirus, dan bagi Ke­jaksaan Agung yang telah me­nyelesaikan penuntutan terhadap jaksa senior itu. Tapi, hingga ke­marin, Mabes Polri dan Ke­jak­saan Agung belum mengerjakan PR dari Albertina itu.

Menurut Kepala Bagian Pe­ne­rangan Masyarakat Polri Kombes Boy Rafli Amar, pihaknya akan menelusuri dugaan keterlibatan jaksa lain dengan cara menggali fakta persidangan kasus Cirus.

Polri, lanjut Boy, saat ini mem­butuhkan data konkret mengenai ada atau tidaknya keterlibatan ata­san Cirus da­lam perkara ter­sebut.

“Tentunya akan kami telusuri lagi. Yang kami butuhkan saat ini adalah bahan-bahan yang me­nun­jukkan adanya keterlibatan atasan Cirus,” katanya ketika dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.  

Namun, Boy tidak menyatakan kapan pihaknya akan mulai me­nindaklanjuti pernyataan hakim Albertina itu. Dia juga tidak me­nye­but siapa jaksa lain yang didu­ga terlibat kasus ini selain Cirus. “Per­kara ini akan kami kaji lagi se­cara mendalam. Kalau ada bukti kuat, akan kami proses,” ucapnya.

Wakil Jaksa Agung Darmono juga mengaku akan menin­dak­lanjuti pernyataan Albertina saat memvonis jaksa peneliti kasus Gayus itu. Namun, Darmono me­ngaku belum menerima laporan hasil sidang tersebut.

“Kami ma­sih menunggu lapor­an hasil si­dang tersebut,” katanya melalui SMS, kemarin.

Jika sudah menerima laporan tersebut, lanjut Darmono, maka pihaknya akan menindaklanjuti dugaan keterlibatan atasan Cirus. Na­mun, Dar­mo­no tidak me­nye­but­kan siapa atasan Cirus yang diduga terlibat menghilangkan pa­sal korupsi Gayus Tambunan. Saat itu, Gayus akan didakwa di Pe­ngadilan Ne­geri Tangerang.

Yang pasti, pada 22 Juni 2010, pe­nyidik Mabes Polri pernah me­manggil Direktur Prapenuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Poltak Ma­nulang untuk diperiksa sebagai sak­si kasus ini. Poltak datang ber­barengan dengan Cirus.

Poltak me­nge­na­kan safari hi­tam, sedangkan Cirus memakai se­ragam jaksa dan jaket hitam. Ke­­tika itu, Poltak mem­bantah me­­ngenal Gayus. “Saya tak kenal Gayus. Saya hanya Direktur Pra­pe­­nuntutan. Saya hanya di be­la­kang meja,” alasannya.

Pemanggilan Poltak untuk yang kedua kali terjadi pada 3 Maret 2011. Saat itu, Kombes Boy Rafli Amar mem­be­narkan, penyidik memanggil Poltak untuk dimintai keterangan seba­gai saksi perkara Gayus. “Se­suai jadwal, kami memanggil be­liau sebagai saksi kasus Gayus,” ka­tanya di Mabes Polri, Jakarta.

Kemudian, pada 25 Januari 2011, Cirus ditetapkan Mabes Polri sebagai tersangka peng­hi­la­ngan pasal korupsi yang akan di­dakwakan kepada Gayus Tam­bunan di Pengadilan Negeri Ta­nge­rang. Cirus tidak terima de­ngan sangkaan itu.

Puncaknya, dalam pembacaan pledoi di Pe­ngadilan Tipikor Ja­karta (6/10), Cirus merasa seba­gai pihak yang dikorbankan Ke­jak­saan. “Mau tidak mau insti­tusi Kejaksaan me­ngorbankan anak buahnya sendiri demi pencit­ra­an,” tuding Cirus.

Tapi, pernyataan Cirus itu di­sanggah Wakil Jaksa Agung Dar­mono. Menurutnya, pengajuan jaksa Cirus ke pengadilan tidak ada hubungannya dengan upaya memperbaiki citra kejaksaan. Me­nurutnya, penuntutan itu mur­ni karena Cirus terindikasi me­lakukan tindak pidana.

“Kalau ti­dak ada bukti tindak pidana, se­seorang tidak mungkin diajukan ke pengadilan. Semua ini harus berdasarkan data dan fakta. Apa untungnya me­ngor­ban­kan Cirus bagi Kejaksaan,” tandasnya.

Menurut Darmono, Cirus kece­wa atas apa yang dialaminya, se­hingga melontarkan pernyataan se­perti itu. “Orang kecewa bisa saja memandang semua orang salah. Misalnya saya kecewa ke­pada wartawan, bisa saja Anda saya maki-maki,” ujarnya.

P21 Tanpa Tindak Pidana Korupsi

Reka Ulang

Upaya menyusun skenario pe­nanganan kasus Gayus Tam­bu­nan diawali pertemuan di Hotel Kristal, Jakarta Selatan. Per­te­mu­an itu dijadikan jaksa penuntut umum (JPU) sebagai kartu truf untuk mendakwa Cirus Sinaga, jaksa peneliti kasus Ga­yus.

JPU Eddy Rakamto menye­but­kan, setelah menerima berkas per­kara Nomor BP/41/X/2009/Dit II Eksus atas nama Gayus Tambunan tanggal 7 Oktober 2009, kuasa hukum Gayus, Ha­po­san Hutagalung pada 15 Okto­ber 2009 mempertemukan Cirus, jaksa Fadil Regan dengan pe­nyi­dik kepolisian Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini. Pertemuan itu digelar di Hotel Kristal, Jalan Te­rogong, Cilandak, Jakarta Selatan.

Menurut JPU, di hadapan kua­sa hukum Gayus, Kompol Arafat menerangkan kepada Cirus dan Fadil Regan tentang per­ma­sa­la­han yang ada dalam berkas Ga­yus. Permasalahan itu terletak pada tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi, serta pasal yang disangkakan.

Yaitu, Pasal 3 atau 6 Undang-Un­dang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tin­dak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pem­be­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut JPU, penjelasan Ara­fat ditanggapi Cirus. Selanjutnya, guna mem­bahas per­­kara Gayus, pertemuan dilan­jut­kan AKP Sri Sumartini dengan Cirus, Fadil dan Haposan. Ke­mu­dian, Cirus melalui Fadil mem­be­­ritahu Sri Sumartini untuk me­nam­­bahkan pasal baru, yaitu Pasal 372 KUHP tentang peng­gelapan.

Menurut JPU, Cirus melalui Fadil mengatakan,“Kalau mau per­karanya ingin cepat P-21, tambahkan Pasal 372 KUHP,”  sitir JPU. Cirus ha­nya memberi pe­tunjuk pem­buk­tian tin­dak pi­dana umum seputar ke­lengkapan formil dan materil.

Ke­lengkapan formil itu ialah me­minta penyidik memperbaiki agama yang ditulis sesuai iden­titas. Pada kelengkapan materil, Cirus meminta penyidik me­la­ku­kan pem­blokiran rekening BCA milik Gayus dan melakukan p­e­nyi­taan.

Kedua, Cirus juga meminta pe­nyidik mencari alat bukti lain yang bisa mendukung pem­buk­ti­an tindak pidana pencucian uang. Ke­tiga, Cirus meminta agar kete­ra­ngan saksi dan ter­sangka beri­kut keterangan kapan dan dimana uang Rp 370 juta itu diterima Gayus.

Menurut JPU, petunjuk itu sa­ma dengan petunjuk lisan yang disampaikan Cirus melalui Fadil kepada Sri Sumartini yang me­nga­rahkan pemeriksaan Gayus dengan Pasal 372 KUHP. Arti­nya, dakwa JPU, Cirus jelas-jelas mengesampingkan atau bahkan tidak menyinggung pasal pidana korupsinya.

Lalu, pada 21 Oktober 2009, pe­nyidik Bareskrim Polri mene­rima surat pengembalian berkas Gayus. Keesokan harinya, Sri Su­martini mengirim kembali berkas perkara Gayus yang telah ditam­bah­kan Pasal 372 KUHP. Menu­rut JPU, setelah mengetahui ber­kas Gayus memuat tambahan Pasal 372 KUHP, Cirus langsung menyatakan berkas perkara itu lengkap atau P-21.

Usut Bawahan Sudah jadi Tren

Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Achmad Basarah menyambut baik keputusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman lima tahun penjara bagi jaksa Cirus Sinaga.

Sebaliknya, dia menyayang­kan sikap Cirus yang enggan ber­komentar di hadapan majelis hakim perihal keterlibatan pi­hak lain dalam kasus hilangnya pasal korupsi PNS Ditjen Pajak Gayus Tambunan.

“Kasus ini tergolong teren­ca­na dan terorganisir secara rapi. Saya menduga, ada keterlibatan oknum lainnya. Makanya, saya me­minta supaya itu diusut se­cara tuntas oleh aparat penegak hu­kum,” katanya, kemarin.

Menurutnya, pengusutan sua­tu perkara yang hanya sampai pada level bawah, sudah men­jadi tren. Lantaran itu, Basarah meminta aparat penegak hukum meninggalkan kebiasaan buruk seperti itu. “Nantinya, perkara itu bukannya tuntas malah me­ngambang tidak jelas,” ujarnya.

Kebiasaan itu juga menim­bul­kan keberanian para petinggi suatu instansi untuk melakukan kejahatan dengan modus me­manfaatkan anak buahnya seba­gai tameng.

“Coba lihat kasus Gayus, ada tidak pejabat ting­ginya yang ke­na. Si pejabat itu nanti akan me­rasa aman karena telah dilin­dungi anak buahnya,” cetusnya.

Menurut Achmad, jika In­donesia mau memberantas ko­rupsi dan kejahatan birokrasi, maka harus ada efek jera ter­hadap pelaku kejahatan yang dilakukan setiap pejabat negara. “Termasuk da­lam mengungkap, siapa atasan Cirus Sinaga yang mendalangi aksi penghapusan pasal korupsi tersebut,” katanya.

Basarah meminta kasus Cirus dijadikan sebagai pelajaran pen­ting bagi Kejaksaan. Sebab, ka­ta­nya, kasus ini menjadi tolak ukur baik buruknya penilaian masyarakat terhadap lembaga kejaksaan.

“Kami di Komisi Hu­­kum ingin Kejaksaan men­jadi sebuah lem­baga yang baik citranya di mata masyarakat,” tuturnya.

Belum Tentu Atasan Cirus yang Terlibat

Halius Hosen, Ketua Komisi Kejaksaan

Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen menekankan agar kasus jaksa Cirus Sinaga ditun­taskan secara merata.

Maksudnya, Polri dan Ke­jaksaan Agung tidak hanya men­cari atasan Cirus yang di­duga terlibat. Tapi, telusuri pula siapa bawahan dan oknum jaksa yang satu level dengan Cirus dalam perkara tersebut.

“Kalau hanya mencari ata­san­nya, seakan-akan kedua lem­baga itu sudah mengetahui bahwa yang tidak beres adalah atasan Cirus. Padahal, belum tentu atasannya terlibat. Di sini­lah perlu kecermatan tim pe­nyidik Polri,” katanya.

Halius menambahkan, segala macam tudingan hendaknya disertai dengan sejumlah bukti kuat agar menjadi fakta yang ti­dak bisa dipungkiri. Tapi, dia ti­dak menyalahkan hakim Al­bertina Ho yang menduga ada­nya keterlibatan atasan Cirus dalam perkara hilangnya pasal korupsi Gayus ini.

“Itu kan pe­ngamatan hakim. Saya setuju saja, tapi untuk me­nyidik masalah itu sudah men­jadi kewenangan Mabes Polri,” ucap Pria kelahiran Padang, 26 Juni 1949 ini.

Dia sangat berharap kasus seperti ini tak terulang lagi di instansi Kejaksaan. Karena itu, Halius meminta seluruh jaksa lebih berhati-hati saat me­na­nga­ni suatu perkara. Terlebih, kata Halius, Korps Adhyaksa te­lah mendapatkan remunerasi dari pemerintah.

“Harus ditunjukkan kiner­ja­nya dengan baik. Kami se­nan­tiasa mengawasi kinerja para jaksa,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, instansi Ke­jaksaan mesti mengem­bali­kan kepercayaan masyarakat kepada lembaga yang kini di­pimpin Basrief Arief itu. “Saya harap ini tidak akan terulang,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA