Hakim Syarifuddin Umar Segera jadi Terdakwa

Setelah Gugat KPK Rp 5 Miliar

Jumat, 30 September 2011, 05:33 WIB
Hakim Syarifuddin Umar Segera jadi Terdakwa
Syarifuddin Umar

RMOL. KPK nggak ngeper menghadapi gugatan perdata Rp 5 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan tersangka kasus suap Rp 250 juta, hakim Syarifuddin Umar. Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo malah menyatakan, berkas perkara Syarifuddin sudah lengkap alias P21.

Menurut Johan, gugatan per­data yang dilakukan Syarifuddin tidak akan berpengaruh terhadap proses hukum yang sedang melilit hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Johan malah meminta pihak Syarifuddin untuk membuktikan semua tuduhan yang dilemparkan kepada KPK.

“Sudah lengkap berkasnya. Si­lakan saja, kami nggak takut. Ka­lau menurut dia ada yang tak be­res dengan penyidikan KPK, buk­tikan di hadapan hakim,” katanya kepada Rakyat Merdeka.       

Salah satu poin yang diklaim Sya­rifuddin janggal ialah soal pe­nyitaan sejumlah uang pribadinya dalam bentuk mata uang asing dan rupiah, serta barang-barang pri­badi yang tidak ada kaitannya de­ngan tindak pidana yang di­sangkakan KPK.

Namun, Johan membantah jika pihaknya telah melakukan pe­nyi­taan barang dengan cara melawan hukum. “Itu kan versi dia. Jangan dulu percaya, sebaiknya majelis hakim yang menilai apakah ini benar atau tidak,” tandasnya.

Bagitu pula ketika ditanya pe­rihal tudingan perbuatan tak se­nonoh penyidik KPK terhadap istri Syarifuddin, Johan meminta kepada masyarakat jangan mudah percaya terhadap tuduhan seperti itu. Menurutnya, penyidik KPK se­lalu melaksanakan tugasnya de­ngan profesional. “Perbuatan tak senonoh bagaimana. Sudah­lah buktikan saja di hadapan majelis hakim,” ujarnya.

Namun, ketika ditanya soal apa yang sedang dilakukan pihaknya guna membantah tuduhan Sya­ri­fud­din, Johan enggan mem­be­ber­kannya secara pasti. Dia hanya menyatakan bahwa Biro Hukum me­lakukan koordinasi dengan para pimpinan KPK untuk meng­hadapi gugatan ini. “Pokoknya si­lakan saja mereka lakukan gu­gatan itu,” tandasnya.

Johan juga belum mengetahui kapan berkas perkara Syarifuddin akan diserahkan ke Pengadilan Tipikor untuk disidangkan. Dia ha­nya mengatakan bahwa pada Rabu (28/9), Syarifuddin telah da­tang ke KPK untuk menan­da­ta­ngani berkas acara pemeriksaan yang akan dilimpahkan ke pe­nuntutan. “Segera dijadwalkan un­tuk sidang,” ucapnya.

Seperti diketahui, pada Selasa (27/9), Syarifuddin mengajukan gugatan perdata terhadap KPK terkait tindakan melawan hukum dalam proses penyidikan. Sya­ri­fuddin yang menjadi tersangka da­lam kasus dugaan suap ini, menggugat KPK untuk mem­bayar ganti rugi materiil sebesar Rp  60 juta dan immateriil sebesar Rp 5 miliar. Sidang perdana gugatan ini digelar di PN Jaksel. Syarifuddin diwakili oleh kuasa hukumnya, Irwan Muin.

Ada empat hal yang menjadi fokus gugatan. Pertama, soal pe­nyitaan yang dinilai melawan hu­kum. Di mana KPK dinilai telah menyita sejumlah uang pribadi Syarifuddin dalam bentuk mata uang asing dan rupiah, serta ba­rang-barang pribadi yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang disangkakan KPK.

“Ada laptop, handphone mau­pun uang pribadi, dalam bentuk mata uang asing dan rupiah yang jumlahnya mencapai miliaran ru­piah, ada juga milik Sya­ri­fuddin yang disimpan dalam le­mari, dom­pet, kantong celana, laci lemari di rumah Syarifud­din,” katanya.

Kedua, lanjut dia, terkait pe­ne­rapan azas pembuktian terbalik yang dilakukan KPK dalam pro­ses penyidikan perkara ini. Me­nurut Irwan, sesuai Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Tipikor, pene­rapan pembuktian terbalik hanya bisa dilakukan dalam persi­da­ngan dengan kedudukan Sya­ri­fuddin sebagai terdakwa.

Ketiga, terkait tindakan peng­ge­ledahan yang dilakukan KPK tidak didasari adanya surat pe­rintah. Padahal, kata dia, Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang KPK me­ngatur bahwa penggeledahan dan penyitaan harus dilakukan atas surat perintah, sehingga penyi­di­kan KPK atas perkara suap yang menyeret Syarifuddin dinilai ti­dak sah dan batal demi hukum. “Di sinilah letak paling fatal ke­ke­liruan, kesalahan sekaligus per­buatan sewenang-wenang KPK terhadap klien kami,” ujarnya.

Selanjutnya, tuduhan perilaku ti­dak senonoh penyidik KPK ter­hadap istri Syarifuddin saat me­lakukan penggeledahan di rumah Syarifuddin. “Penyidik KPK ti­dak menghargai privacy ke­wa­ni­ta­an istri Syarifuddin, di mana saat itu penyidik KPK bertindak ma­suk kamar pribadi istri Sya­rifuddin dengan cara tidak etis dan melanggar batas kesusilaan,” tandasnya.

Alhasil, pihak Syarifuddin se­ba­gai penggugat menuntut KPK untuk mengembalikan harta ben­da yang telah disita dan dinilai ti­dak terkait tindak pidana tersebut. Dia juga menuntut KPK untuk membayar ganti rugi kepada Sya­rifuddin.

“Meminta KPK untuk mem­ba­yar ganti rugi kepada penggugat, Syarifuddin, berupa ganti rugi materiil sebesar Rp 60 juta dan immateriil sebesar Rp 5 miliar,” katanya.

Dorong KY Pantau Hakim yang Adili Hakim

Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) su­paya tidak takut dengan gu­gatan perdata lima miliar rupiah yang diajukan hakim Syari­fud­din Umar.

Pasalnya, langkah yang di­lakukan lembaga su­perbodi itu sudah sesuai dengan standar ope­rasional penyidikan.

“Tapi, jika Syarifuddin tetap keberatan, sebaiknya buktikan saja semua perkataannya itu di pengadilan. Supaya semua ma­salah ini menjadi fair dan trans­paran,” katanya.

Nasir tidak mau ambil pusing dengan gugatan perdata yang di­layangkan Syarifuddin. Dia hanya tak habis pikir, mengapa akhir-akhir ini marak terjadi penyuapan terhadap hakim. Menurutnya, kedudukan hakim di lembaga peradilan sangat pen­ting. Sebab, segala kepu­tu­san hakim yang telah diberikan itu tidak bisa diganggu gugat.

“Meskipun seorang hakim itu memvonis bebas maling, kita ti­dak bisa gugat isi putusan. Yang bisa kita gugat ialah pe­lan­g­garan kode etiknya,” ucapnya.

Karena itu, demi kelancaran persidangan hakim Syarifuddin di Pengadilan Tipikor, Nasir meminta Komisi Yudisial (KY) ikut memantau jalannya persi­da­ngan. Sebab, rasa sungkan an­tar lembaga peradilan sangat­lah tinggi. Politisi PKS ini kha­wa­tir majelis hakim Tipikor me­langgar kode etik hakim. “Kami dorong KY untuk pantau per­si­dangan itu,” tandasnya.

Nasir mengakui, memang ti­dak mudah bagi hakim untuk menghindar dari suap. Sebab, kata dia, praktik suap sudah ber­urat berakar di tengah ma­sya­ra­kat. Menurutnya, hanya para hakim bermental baja dan siap hidup sederhanalah yang bisa tetap melaksanakan karir tanpa suap. “Sangat sulit mencari figur hakim yang seperti itu saat ini,” tandasnya.

Perlu Efek Jera Bagi Hakim Lain

Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum

Bekas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Asep Iwan Iriawan menilai, saat ini marak terjadi kasus penyuapan yang melibatkan hakim.

Menurutnya, hal itu bisa ter­jadi karena gaji hakim yang ti­dak tergolong besar, malah cen­derung kecil. Hasilnya, kata dia, para hakim mencari jalur alter­natif untuk menambah pundit-pundi hartanya.

“Serba salah ya. Hakim itu sering disebut wa­kil Tuhan di du­nia. Tapi, ti­dak disertai de­ngan tunjangan kesejahteraan yang memadai. Ingat, hakim juga manusia,” katanya.

Menurutnya, jika hakim di­berikan gaji yang besar disertai tunjangan yang memadai, maka kemungkinan terjadinya praktik suap akan kecil. Namun, jika sudah diberikan gaji besar tetap saja menerima suap, maka Asep menyarankan hakim seperti itu diberi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati. “Harus ada konsekuensinya. Ja­ngan gaji besar tapi masih teri­ma suap,” tandasnya.

Asep menambahkan, tinda­kan yang dilakukan Syarifuddin Umar merupakan perbuatan yang mencoreng lembaga pera­dilan. Asep menyarankan ma­jelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis yang berat untuk hakim Syarifuddin. “Agar memberikan pelajaran dan efek jera kepada para ha­kim,” tandasnya.

Dia tidak memper­ma­sa­lah­kan gugatan perdata Rp 5 miliar yang diajukan Syarifud­din kepada Komisi Pem­be­ran­ta­san Korupsi. Namun, Asep mengi­ngat­kan, perbuatan se­per­ti itu justru akan mempersulit ter­sangka.

“Justru masalah ini akan semakin runyam ke depannya. Yang digugat ini masalahnya lembaga penegak hukum, hara­pannya sangat tipis,” ucapnya.   

Dosen Fakultas Hukum ini me­­nilai, kasus suap tak hanya terjadi dalam sektor peradilan. Me­­nurutnya, semua lini lem­baga pemerintahan saat ini ke­rap membudidayakan praktik suap sebagai senjata ampuh un­­tuk menyelesaikan suatu ma­sa­lah. “Baik jajaran le­gis­latif, ek­sekutif dan yudikatif saat ini te­lah familiar dengan virus yang namanya suap,” tan­dasnya.

rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu kebe­ra­da­an­nya tidak diketahui, dan Thu­kul dikategorikan sebagai “orang hilang”.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA