JPU Seharusnya Tuntut Rosa dan El Idris 5 Tahun Penjara

Aktivis ICW Soroti Kasus Wisma Atlet

Minggu, 25 September 2011, 05:22 WIB
JPU Seharusnya Tuntut Rosa dan El Idris 5 Tahun Penjara
Rosalina Manullang

RMOL. Dua terdakwa kasus suap pembanguan Wisma Atlet, Mindo Rosalina Manullang dan Muhammad El Idris resmi menjadi terpidana. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 6 bulan penjara untuk Rosa dan 2 tahun penjara untuk El Idris. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Alhasil, JPU mempertimbangkan untuk mengajukan banding.

Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jo­han Budi Sapto Prabowo me­negaskan, jaksa pada KPK tengah mendalami putusan hakim Pe­ngadilan Tipikor Jakarta yang me­mvonis Rosa dua tahun enam bulan penjara serta El Idris de­ngan dua tahun penjara.

“Pastinya akan diper­tim­bangkan itu. Kita tunggu saja apa­kah akan banding atau menerima putusan hakim Tipikor,” katanya di Gedung KPK.

Johan mengatakan, tim JPU di­beri waktu majelis hakim Pe­nga­dilan Tindak Pidana Korupsi (Ti­pikor) untuk mempelajari putusan itu selama satu minggu dari pu­tusan yang dibacakan pada Rabu (21/9). Namun, Johan mengaku tak mengetahui secara pasti apa yang tengah dipelajari JPU saat ini. “Semua kami serahkan ke­pada pihak jaksa. Biar mereka yang menentukan apakah me­ne­rima atau tidak,” ujarnya.

Saat pembacaan tuntutan terhadap Rosa di Pengadilan Tipi­kor (8/9), JPU yang terdiri dari Agus Salim, Hendarbeni Sayekti, dan Rachmat Supriady mengan­cam Rosa dengan penjara selama empat tahun.

Sementara El Idris dituntut tiga tahun enam bulan penjara. Tetapi, saat pembacaan vonis kedua ter­dakwa itu di Pe­nga­dilan Ti­pikor (21/9), majelis hakim mem­beri­kan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa. Rosa divonis dua tahun enam bulan, sementara El Idris divonis dua tahun penjara.

Hal itulah yang memicu pihak Indonesian Corruption Watch (ICW) tak habis pikir. ICW ber­pen­dapat, vonis bagi pelaku keja­ha­tan korupsi harus diberikan se­berat-beratnya.

Pasalnya, korupsi adalah keja­hatan luar biasa di mana vonis yang diberikan harus mem­beri­kan efek jera. “Bahkan koruptor itu seharusnya dimiskinkan,” kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Pengadilan ICW, Febridiansyah.

Menurut Febri, vonis maksimal sebenarnya layak diberikan ke­pada Rosa dan El Idris. Soalnya, kata dia, peran Rosa dan El Idris dalam kasus suap ini cukup besar. Apalagi, lanjut dia, terungkap di persidangan bahwa pemberian fee oleh mereka kepada anggota DPR menimbulkan efek domino berupa suburnya mafia anggaran.

“Vonis rendah untuk Rosa dan El Idris mengecewakan. Para ha­kim di Pengadilan Tipikor di­harapkan lebih memahami arti korupsi sebagai extraordinary crime,” katanya.

ICW menyayangkan jaksa juga tak membuat tuntutan maksimal untuk keduanya. Padahal, me­nu­rut Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, jaksa bisa menuntut maksimal lima tahun penjara. “Artinya, baik jaksa maupun hakim harus memberikan hukuman yang maksimal,” tandasnya.

Ketua KPK Busyro Muqoddas mengungkapkan adanya tren penurunan kualitas putusan ha­kim dalam persidangan kasus ko­rupsi. Busyro menyatakan ke­putusan hakim belakangan ini tak berpihak pada kepentingan rak­yat. Hal tersebut dikatakan Busy­ro menyikapi putusan terhadap dua terdakwa perkara korupsi Wis­ma Atlet, Mindo Rosalima Ma­nulang dan Muhammad El Idris.

“Putusan hakim seperti kehila­ngan roh saat ini.  Seakan-akan pu­tusan hakim itu tidak men­cer­min­kan ideologi hukum,” ujarnya.

Meski begitu, lembaganya meng­­hormati majelis hakim Pe­ngadilan Tipikor yang menvonis Mindo Rosalina Manulang de­ngan hukuman penjara dua tahun enam bulan dan El Idris selama dua tahun penjara.

“Putusan ha­kim itu, apa pun juga harus di­hor­mati. Tentu ha­kim mempunyai paradigma, pe­mahaman, dan penyikapan ter­ha­dap bukti-bukti,” tandasnya.

Kendati demikian, Busyro kembali mengatakan, idealnya vonis hakim terhadap para pelaku korupsi mencerminkan spirit pro­gresif. Idealnya pula, lanjut dia, putusan hakim tak me­rontokkan wibawa dan integritas bangsa secara keseluruhan.

Ketika ditanya apakah putusan majelis hakim yang diketuai Su­widya itu telah mencerminkan spi­rit progresif, Busyro enggan menjawabnya secara gamblang. “Saya belum bisa komentar. Saya belum membaca konsiderannya secara keseluruhan,” ucapnya.

Kuasa hukum Rosa, Djufri Tau­fik ketika dijumpai Rakyat Mer­deka seusai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor (21/9) belum memutuskan, apakah akan mengajukan banding atas vonis tersebut atau tidak. Dia menam­bahkan pihaknya akan mem­pe­la­jari terlebih dahulu vonis yang telah diucapkan majelis hakim.

“Kami diberikan waktu untuk mempertimbangkan secara cermat apa yang diputuskan majelis,” katanya.

Tidak Berikan Efek Jera

Marthin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat menilai, jak­sa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu segera me­nga­ju­kan banding untuk memberikan hukuman yang lebih berat ke­pada terpidana kasus suap pem­bangunan Wisma Atlet. Soal­nya, hukuman dua tahun pen­jara cenderung tidak akan mem­berikan efek jera bagi para pe­laku korupsi lainnya.

“Saya minta kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi yang lain­nya. Sehingga, orang yang me­lakukan praktik korupsi akan berpikir seribu kali. Tentu kita tidak ingin para pelaku ko­rupsi terus merajalela,” katanya.

Menurutnya, hukuman dua tahun penjara terhadap seorang pelaku korupsi tidak bisa dito­lelir. Sebab, katanya, ketika men­jalani masa hukuman, yang bersangkutan tidak akan penuh menjalani masa hukuman sela­ma dua tahun. “Pasti nanti di­kasih remisi. Nah, kalau begitu sih enteng banget. Karena itu saya dukung apabila jaksa mau banding,” tuturnya.

Marthin menambahkan, per­kara suap pembangunan Wisma Atlet merupakan salah satu perkara yang tidak bisa di­pan­dang sebelah mata. Soalnya, kata dia, perkara tersebut masih menyisakan tanda tanya besar seputar pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus tersebut.

“Saya raa nggak mungkin kalau hanya sebatas Nazarud­din, Rosa kemudian Wafid dan El Idris. Mereka itu siapa? ja­batannya apa? Kok petingginya nggak ketangkep,” ujarnya.

Menurutnya, penuntasan kasus ini merupakan pertaruhan citra bagi KPK. Sebab, lanjut dia, kasus ini akan menyeret pejabat tinggi di Kementerian Pemuda dan Olahraga apabila penyidik KPK berani. “Di mata hukum itu kedudukan semua orang sama. Apapun jabatan­nya, kalau sudah tersangkut hu­kum harus ditindak,” ucapnya.

Politisi Gerindra ini merasa heran dengan sikap KPK yang tak kunjung menemukan peja­bat tinggi yang terlibat kasus tersebut. Menurutnya, tindakan yang dilakukan KPK saat ini hanyalah sebatas pencitraan. Sebab, katanya, lembaga super­bodi itu hanya menjerat go­lo­ngan kelas teri tanpa menyentuh golongan kelas kakap.

“Saya ingatkan, jangan sam­pai hal itu terjadi di KPK. Se­bab, satu-satunya lembaga pe­negak hukum yang terpercaya saat ini hanya KPK,” ujarnya.

Maling Ayam Saja Dihukum Maksimal

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif LSM IRES

Direktur Eksekutif LSM Indonesian Resources Studies (IRES) Marwan Batubara me­nilai, rendahnya vonis yang di­berikan majelis hakim Pe­nga­di­lan Tipikor terhadap dua ter­dakwa kasus suap pem­ba­ngu­nan Wisma Atlet, merupakan tindakan yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Soalnya, seorang maling ayam saja sering diberikan hukuman yang maksimal.

“Ini jelas perbuatan yang ti­dak adil. Kalau menyentuh orang kecil maka hukuman yang diberikan menjadi berat. Se­dangkan, penjahat kelas ka­kap hanya diberikan hukuman di bawah lima tahun,” katanya.

Menurutnya, putusan ini men­jadi bukti bahwa lembaga peradilan di Tanah Air memang tidak ada yang beres. Karena itu, Marwan sudah menduga sejak awal bahwa para tokoh yang terlibat dalam kasus ini tidak akan ada yang mend­apat­kan hukuman di atas 10 tahun. “Bagaimana mau menjerat pejabat tingginya, kalau ngasih hukuman saja masih setengah hati seperti ini,” ucapnya.

Marwan menambahkan, ka­sus ini bisa menyeret pejabat tinggi Kementerian Pemuda dan Olahraga. Soalnya, kata dia, segala macam yang dilakukan anak buah dalam konteks kerja, seharusnya diketahui atasannya. “Tapi itu semua tergantung jak­sanya. Kalau jaksanya tajam dan berani, maka sangat mung­kin,” tandasnya.

Marwan melanjutkan, bukan hanya JPU yang harus berani dan bersikap tajam terhadap suatu perkara. Menurutnya, pe­nyidik juga mesti bersikap ta­jam. “Kalau sudah menyangkut masalah penguasa, sepertinya menjadi tidak tajam,” ujarnya.

Selain itu, Marwan juga me­nyo­roti sikap hakim pada si­dang vonis Rosa dan El Idris. Me­nurutnya, kalau jaksanya itu tidak aktif, maka paling tidak hakimnya yang harus aktif. “Kalau keduanya pasif, maka tidak akan terjadi yang nama­nya pendalaman terhadap suatu kasus. Alhasil, kasus itu hanya akan terhenti sampai kelas teri saja,” tandasnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA