Pengguna Surat Palsu MK Bakal jadi Tersangka

Pengacara Andi Nurpati: Semua Komisioner KPU Bisa Kena

Jumat, 23 September 2011, 08:23 WIB
Pengguna Surat Palsu MK Bakal jadi Tersangka
Irjen Anton Bachrul Alam

RMOL. Ada Kemungkinan, tersangka surat palsu putusan Mahkamah Konsitusi (MK) bertambah dalam waktu dekat.

Menurut Kepala Divisi Hu­mas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, hasil gelar perkara kasus ini telah memberikan titik terang siapa saja yang diduga terlibat. “Polri akan melanjutkan proses penyidikan sampai ke pengguna surat,” tandas bekas Kapolda Ke­pulauan Riau ini.

Namun, Anton menolak me­nye­butkan siapa saja yang akan disidik sebagai pengguna surat tersebut. Kendati begitu, dia me­nyatakan bahwa kepolisian sudah mengantongi data dan bukti-bukti keterlibatan mereka. Tidak ter­tu­tup kemungkinan tersangka ber­tambah dalam waktu dekat.

“Kami sedang proses itu. Kalau di­temukan dugaan pe­nyim­pa­ngan, maka tersangka bisa ber­tambah,” ucapnya.

Sumber penyidik di ling­kungan Bareskrim Polri meng­in­for­masikan, nama bekas anggota KPU Andi Nurpati mencuat lan­taran diduga menggunakan surat palsu MK nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009.

Surat palsu ter­sebut, kata sum­ber ini, sampai ke tangan Andi se­telah dikirim ter­sangka Masyhuri Hasan, juru pang­gil MK, lewat faksimili ke ruang kerja Andi. Surat yang di­duga palsu tersebut, sambungnya, dipakai Andi dalam rapat pleno KPU.

Namun, menurut kuasa hukum Andi, Deny Kailimang, surat tang­gal 14 yang diterima KPU, tidak diketahui siapa yang me­ne­rima dan siapa yang mengi­rim­nya. Yang jelas, ada di meja Ke­tua KPU dengan lembar disposisi dari Ketua ke Sekjen KPU, dari Sekjen ke Biro Hukum dan Biro Teknis. Sehingga, menurut Deny, tidak ada yang mengetahui bah­wa surat itu palsu saat dipakai da­lam sidang pleno KPU oleh para komisioner. Setelah ada surat MK tanggal 17, maka pleno batalkan surat tanggal 14.

“Jadi, yang pakai semua ko­mi­sioner KPU. Kalaupun dika­te­gorikan sebagai pengguna surat, se­mua komisioner KPU bisa kena. Surat itu pun sudah dibe­tul­kan. Jadi, siapa yang dirugi­kan,” belanya.  

Surat yang disebut palsu itu, lanjut Deny, sempat dibahas dalam rapat pleno KPU bersama Bawaslu. Tapi, lanjutnya, hasil keputusan rapat pleno tersebut tidak sampai keluar.

“Hasil pem­bahasan dalam pleno atau ke­pu­tu­san pleno diba­talkan. Jadi, ke­putusan mengenai sengketa pe­milu Sulsel itu tidak sampai ke­luar,” ujarnya.

Dikonfirmasi seputar rencana penetapan status tersangka ter­hadap pengguna surat itu, Ka­div­humas Polri Anton Bachrul Alam tidak mau menjawab. Demikian halnya Direktur I  Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Agung.

Agung hanya menyatakan bah­wa jajarannya tengah konsentrasi memanggil para saksi. Namun, dia ogah menyebut nama para saksi itu. “Ada saksi-saksi yang akan dimintai keterangan lanju­tan,” katanya.

Sedangkan pengacara ter­sangka bekas panitera MK Zainal Arifin Hoesein, Andi M Asrun meminta kepolisian lebih cepat menyelesaikan kasus ini. Dia pun menilai, nuansa politis dalam penuntasan kasus ini terasa sa­ngat kental.

Andi juga memprotes pene­ta­pan status kliennya sebagai ter­sangka. Menurut dia, tuduhan ter­libat mengonsep surat itu ti­dak tepat. Soalnya, kata dia, jus­tru tandatangan kliennya dipal­sukan.  “Zainal sama sekali tidak pernah terlibat pembuatan surat dan tidak menandatangani surat tersebut,” belanya.

Namun, Anton Bahrul Alam ber­kata lain. Menurutnya, hasil gelar perkara menyimpulkan, Zai­nal ikut membuat dan me­ngon­sep surat palsu tersebut.  “Mengapa Pak Zainal dijadikan tersangka? Ada bukti-bukti yang kami dapat, Pak Zainal mengon­sep, seharus­nya tidak ada kata penjumlahan, tapi jadi ditambah jumlah suara,” papar Kadiv­humas Polri.

Temuan penyidik tersebut, me­nurut Anton, telah diterima Ko­misi Kepolisian Nasional (Kom­polnas) dan Satuan Tugas Pem­berantasan Mafia Hukum (Satgas PMH). Diketahui kasus ini terkait sengketa perolehan suara caleg dapil I Sulsel antara Dewi Yasin Limpo (Hanura) versus  Mes­tariyani Habie (Gerindra).

Sudah Jelas Siapa yang paling Aktif

Boyamin Saiman, Koordinator MAKI

Koordinator LSM Ma­syarakat Anti Korupsi Indo­nesia (MAKI) Boyamin Sai­man Boyamin mengi­ngat­kan, polisi seharusnya tidak lagi menelisik kasus ini dari sisi siapa pengguna surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK).

Soalnya, Boyamin menilai, po­­lisi sudah tahu siapa yang pa­ling aktif sebagai pengguna su­­rat tersebut. Maka, jika ke­po­­lisian kembali menelisik si­apa pengguna surat palsu ter­sebut, maka penanganan kasus ini bisa dibilang hanya ber­pu­tar-putar. “Polisi seharusnya tid­ak per­lu berlarut-larut kare­na sudah jelas siapa pengguna yang paling aktif dalam kasus ini,” tandasnya.

Menurut dia, pelanggaran pidana yang terjadi pada kasus ini adalah pidana formil. Maka, tidak perlu dibahas lagi siapa saja yang terkait dalam perkara ini. Menurutnya, siapa yang pa­ling dominan atau aktif men­g­gunakan surat sudah terlihat. “Sejak surat dikirim, diterima dan dibawa dalam rapat pleno, ada yang mempunyai peran sangat signifikan. Polisi sudah sangat tahu siapa orangnya. Ke­napa sekarang malah berputar-putar,” tandasnya.

Meski ada anggapan bahwa hasil rapat pleno KPU yang menggunakan surat palsu ini dianulir, ia bersikukuh bahwa tin­dak pidana dalam kasus ini sudah terjadi.

Boyamin menya­takan, walau hanya satu jam, tindak pidana dalam perkara ini tidak bisa dihapus. “Sudah terjadi tindak pida­nanya. Harusnya sudah bisa ditentukan siapa tersangkanya.”

Dia mengakui, anggapan ten­tang semua anggota KPU per­nah menggunakan surat palsu MK tersebut, bisa dianggap be­nar. “Karena surat tersebut per­n­ah digunakan dalam rapat ple­no KPU. Maka, pengguna surat palsu tersebut makin besar. Si­apa yang terkait di sini juga ha­rus ditelusuri polisi,” ujarnya.

Lantaran itu, Boyamin me­nambahkan, jangan sampai per­soalan yang seharusnya besar justru dikecilkan atau se­ba­lik­nya. Ketepatan dan kecermatan menentukan pengguna surat sebagai tersangka baru, sam­bung­nya, tentu akan menun­jukkan kualitas penyidik ke­po­lisian.

Panja Mafia Pemilu terancam Sia-sia

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Perkara surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), me­nurut anggota Komisi III DPR Nudirman Munir, hendak­nya cepat dituntaskan. Jangan sampai penanganan perkara yang berlarut-larut, menim­bulkan kesan adanya intervensi politik yang begitu kuat terhadap kepolisian.  

“Penyidik kepolisian mem­punyai kompetensi menentukan arah penanganan sebuah per­kara. Saya berharap dengan in­dependensinya, penyid­ik tidak bisa diintervensi siapa pun,” ujar bekas kuasa hukum Tom­my Soeharto ini.

Nudirman pun memper­ta­nya­kan, kenapa sejauh ini ke­polisian baru menetapkan dua tersangka, yakni juru panggil MK Masyhuri Hasan dan bekas panitera MK Zainal Arifin Hoe­sein. Padahal, kasus ini sudah cu­kup lama ditangani kepoli­sian. “Apa kendalanya? Data, keterangan saksi dan tersangka semuanya sudah ada. Saya rasa tidak terlalu sulit untuk melan­jutkan penanganan kasus terse­but,” tandas politisi Golkar ini.

Menurut Nudirman, desakan berbagai pihak agar polisi me­nindaklanjuti kasus ini secara proporsional, hendaknya di­tanggapi profesional. Apalagi, kendala-kendala dalam pengu­sutan kasus ini, semua sudah di­ungkap baik di kepolisian mau­pun di DPR. Bahkan, ingat dia, Panja Mafia Pemilu telah mem­bantu serta memberikan reko­men­dasi kepada kepolisian. Jadi, sambungnya, tidak ada ala­san lagi bagi kepolisian un­tuk tidak cepat dalam menin­dak­lanjuti kasus ini.

“Jangan sampai hasil kerja dan rekomendasi Panja Pemilu DPR menjadi sia-sia belaka. Persoalan ini menjadi penting diselesaikan karena menyang­kut wibawa penyelenggara pe­milu. Kita tidak ingin dem­o­k­rasi yang sudah berjalan ter­co­reng akibat adanya keber­pi­ha­kan dalam pengusutan perkara,” tandasnya.

Pengacara tersangka bekas panitera MK Zainal Arifin Hoe­sein, Andi M Asrun juga me­minta kepolisian lebih cepat menyelesaikan kasus ini. Dia pun menilai, nuansa politis dan kesan tebang pilih dalam pe­nuntasan kasus ini terasa sangat kental.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA