Tersangka Bawa 8 Saksi, Kejagung Nggak Ngeper

Kasus Sewa Pesawat Boeing 737 Merpati

Kamis, 22 September 2011, 07:16 WIB
Tersangka Bawa 8 Saksi, Kejagung Nggak Ngeper
ilustrasi, Pesawat Boeing 737 Merpati

RMOL. Hari ini Kejaksaan Agung (Kejagung) akan memeriksa bekas Direktur Utama PT Merpati Airlines, Hotasi Nababan, sebagai tersangka kasus korupsi penyewaan pesawat Boeing  737 seri 400 dan 500. Hotasi sudah menyiapkan delapan saksi ahli yang meringankan. Bagaimana sikap Kejagung?

Kejagung, menurut Kepala Pu­sat Penerangan Hukum (Ka­pus­penkum) Kejagung Noor Rochmad, sama sekali tidak ciut atas langkah yang dilakukan Ho­tasi. Menurut dia, tersangka kasus apa pun mempunyai hak me­nyam­paikan keberatan.

“Silakan saja, kami tidak kebe­ratan sama sekali,” katanya ke­pada Rakyat Merdeka, kemarin.

Noor menghargai pernyataan ter­sangka, bahwa  kasus yang mem­belit dirinya tidak masuk ranah pidana, melainkan perdata. Tapi, kata dia, Kejagung tetap ber­pendirian, kasus itu ter­ma­suk ranah pidana khusus alias korupsi.

“Penyidik tentunya sudah mem­punyai fakta hukum hasil pe­nyidikan yang mengarah adanya praktik korupsi.”

Lantas, apa yang sudah disiap­kan Kejagung menghadapi delapan  saksi ahli itu? Noor yang pernah menjadi Kepala Ke­jak­saan Tinggi Gorontalo itu me­nga­ku tidak menyiapkan jurus apa pun. “Ya silakan saja, itu kan upa­ya mereka untuk mewujudkan kebenaran materiil. Kami nggak ada masalah dengan hal itu.”

Sekalipun tersangka menga­ju­kan delapan  saksi ahli yang me­ringankan, Kapuspenkum tetap ya­kin hal itu takkan mengubah posisi kasusnya.

Menurutnya, pemeriksaan ini bukanlah akhir dari pengusutan kasus. “Toh, pada saatnya nanti hal itu akan diuji pada forum persidangan di pengadilan,”        

Lawrence Siburian, pengacara Hotasi berjanji memenuhi pang­gi­lan Kejagung berkaitan dengan pemeriksaan kliennya. Menurut dia, Hotasi takkan datang seorang diri tapi bersama delapan saksi ahli. Pengajuan saksi ahli me­ri­ngan­kan tersebut untuk meng­kla­rifikasi perihal kasus tersebut.

“Kami berpendapat bahwa sewa menyewa tersebut adalah transaksi perdata, tapi dibilang  Kejagung murni pi­dana. Sebaiknya unsur-unsur tersebut harus terlebih dahulu diuraikan,” kata Lawrence.

Dalam kaitan itu, dia berharap Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus (Jampidsus) mendengarkan pen­dapat para saksi ahli untuk memperjelas posisi kasus itu. Dia tetap menilai, kliennya tidak me­lakukan korupsi dalam pe­nye­wa­an pesawat Boeing 737  dari PT Thirdstone Aircaft Leassing Group (TALG) AS.  

“Jadi, kami ingin supaya se­mua­­nya lancar. Supaya semua­nya didengar keterangannya. Se­mua bukti sudah kita serahkan. Supa­ya semuanya itu bisa cepat selesai se­hingga tim pemeriksa bisa me­nyim­pulkan perkara ini,” tambahnya.

Ketika dikonfirmasi siapa saja nama-nama saksi ahli yang akan diajukan, Lawrence tak bersedia me­nyebut nama. Yang jelas, me­reka terdiri atas pakar hukum per­data, pakar hukum pidana, dan pa­kar hukum internasional.

“Semua itu dihadirkan agar pihak kejaksaan mendengarkan arti putusan pengadilan di Washington DC, Amerika. Juga arti sebenarnya dari putusan pengadilan kepailitan di Chicago. Jadi, biarlah ahli yang ngomong.”

Sekadar mengigatkan, dalam kasus ini ada dua tersangka, yakni bekas Dirut PT Merpati Hotasi Na­baban dan bekas Direktur Ke­uangan Merpati Guntur Aradea. Korps Adhyaksa belum mene­tap­kan tersangka baru.

Hotasi  sudah dicekal ke luar ne­geri oleh Ditjen Imigrasi sela­m­a enam bulan ke de­pan. Pen­ce­ka­lan dilakukan ber­dasarkan surat perintah nomor re­gister 233/D/DSP.3/09/2011 tang­gal 12 September 2011.

Kejagung Jangan  Terjebak Euforia

Herman Herry, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Her­man Herry meminta Kejak­saan Agung bisa menunjukkan  pro­fesionalisme dan objekti­vi­tas dalam penyidikan suatu per­kara.  Kejagung jangan sampai terjebak dalam euforia yang men­dengungkan “pem­be­ran­tasan korupsi dijadikan pen­citraan semata’’.

“Kejagung harus berani mem­b­­uka secara fair apakah ka­sus tersebut betul-betul me­miliki fakta hukum untuk di­bawa ke dalam perkara ko­rupsi,” katanya.

Herman menambahkan, jika kasus ini tergolong perkara ko­rupsi, maka sebaiknya Keja­gung berani menyebutkan se­ca­ra rinci kerugian negara yang tim­bul akibat perkara ini. Per­kara ini bukanlah perkara korupsi, tapi hanya kesalahan dalam berbisnis.

“Dalam operasional per­u­sa­haan telah terjadi risiko bisnis yang timbul akibat kebijakan menyewa pesawat dengan mem­bayar uang muka yang di­per­ma­sa­lahkan itu. Alhasil, ini bu­kan­lah perkara korupsi,” tandasnya.

Jika memang benar yang di­la­kukan Hotasi tidak tergolong korupsi, sebaiknya Jaksa Agung Basrief Arief segera meng­hen­tikan kasus tersebut, sebagai buk­ti Korps Adhyaksa telah membangkitkan reformasi di internal kejaksaan.

“Penghentian perkara karena tidak cukup buk­ti adalah suatu prestasi juga,” tambahnya.

Politisi PDI Perjuangan ini meminta Kejagung menangani kasus ini tanpa tekanan dari pihak manapun. Di samping itu, dia juga ber­harap Kejagung tak memak­sakan perkara itu masuk perkara korupsi.

“Sekali lagi, Kejagung harus pintar dalam memilah kasus. Kalau salah katakan salah, kalau benar harus bilang benar.”

Mengenai upaya pe­mang­gilan saksi ahli oleh tersangka, Herman menilai langkah yang dilakukan Hotasi tepat. Se­be­narnya, justru kejaksaanlah yang mempunyai kewajiban meminta pendapat saksi ahli dalam penanganan penyidikan kasus tersebut.

“Itu sah-sah saja. Kejagung harus menga­ko­mo­dasi permin­taan si tersangka, apalagi tudu­han yang dilan­car­kan ialah per­kara korupsi.”

Banyak Direksi BUMN Tak Tahu Aturan Main

Johnson Panjaitan, Direktur Adkum AAI

DIREKTUR Advokasi dan Bantuan Hukum Asosiasi Ad­vokat Indonesia (Adkum AAI), Johnson Panjaitan, me­nilai pengusutan kasus PT Mer­pati memakan waktu  sangat lama. Seharusnya,  Kejaksaan Agung sudah dari dulu mena­ngani perkara korupsi tersebut.

“Ini bukti bahwa Kejagung masih lelet menangani suatu perkara. Perkara itu se­be­narnya sudah lama, sejak tahun 2006. Kenapa baru sekarang di­lakukan penyidikan,” katanya.

Menurut dia, lambannya  Ke­jagung mengusut tuntas perkara itu disebabkan tidak adanya figur pemimpin yang tegas di Kejagung. Lembaga penegak hukum ini juga tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai.

“Kalau tak ada pembenahan, maka Kejagung bisa menjadi sarang mafia hu­kum. Karena itu, masyarakat kita saat ini lebih percaya KPK ke­timbang Kejagung,” ucapnya.

Johnson berpendapat, praktik korupsi di tubuh badan usaha mi­lik negara (BUMN) saat ini banyak terjadi karena jajaran direksi yang kurang mengerti rule of the game alias aturan main menjalankan perusahaan. Hasil­nya, BUMN dijadikan ATM serta sapi perah para elite politik.

“Kalau sudah nggak meng­ha­silkan lagi, maka BUMN itu di­jual kepada pengusaha. Hasil jual­nya bukan untuk rakyat tapi masuk kantong pribadi,” ujarnya.

Dia mengingatkan, untuk mem­berantas korupsi di ruang lingkup BUMN tak hanya se­ka­dar penegakan hukum terhadap para tersangka korupsinya saja. Akan tetapi, katanya, dibu­tuh­kan juga dengan reformasi pe­ngelola­an BUMN yang kom­prehensif.

Misalnya, lanjut dia, de­ngan bekerja sama dengan KPK. “Dan ingat ya, harus di­ma­suk­kan pula prinsip-prinsip dan eti­ka anti korupsi dalam ber­bisnis. Jangan hanya men­jadikan BUMN sebagai sapi perah.”

Pemerintah, menurut dia, harus mengambil sikap tegas de­ngan cara membersihkan ling­kungan bisnis yang menyu­burkan praktik KKN. Sebab,  saat ini praktik KKN meru­pa­kan cara berbisnis yang sudah lumrah dan harus dilakukan kare­na para kompetitornya juga melakukan hal yang sama.

“Kalau bukan pemerintah yang mendesak, maka siapa lagi yang harus menyerukan perang terhadap korupsi.”    [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA