Jaksa Terseret Gayus-gate Tetap Dipilih jadi Kajati

Protes Sebagian Masyarakat Kurang Didengar

Minggu, 11 September 2011, 11:50 WIB
Jaksa Terseret Gayus-gate Tetap Dipilih jadi Kajati
Kejaksaan Agung (Kejagung)

RMOL. Kejaksaan Agung (Kejagung) mempromosikan jaksa M Salim dan Pohan Lasphy menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi. M Salim dipromosikan menjadi Kajati Nusa Tenggara Barat (NTB), sementara Pohan Lasphy menjadi Kajati Lampung.

Sebagai latar, M Salim saat menjabat Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung pernah dikenakan sanksi disiplin berupa teguran terkait kasus suap Ar­talyta Suryani terhadap jaksa Urip Tri Gunawan (UTG). Salim lalu dicopot dari jabatanya pada tahun 2008 dan menjabat Staf Ahli Jaksa Agung.

Sebelumnya jabatan terakhir M. Salim sebagai Kepala Biro Hu­kum dan Hubungan Luar Ne­geri pada Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin).

Sementara Jaksa Pohan Laspy sebelum dipromosikan sebagai Kepala Kejati Lampung, menja­bat sebagai Direktur Tindak Pi­dana terhadap Keamanan Negara pada Jaksa Agung Muda Pidana Umum. Pohan Laspy pernah ter­sandung kasus pemalsuan surat rencana tuntutan (rentut) ter­dak­wa Gayus Tambunan.

Ia pun di­jatuhi sanksi disiplin ringan be­rupa teguran tertulis ka­rena tidak teliti dalam menan­da­ta­ngani ren­tut Gayus yang ber­ujung pada be­basnya pegawai Dit­jen Pajak Go­longan III A itu di Pengadilan Negeri Tangerang.

 Hal itulah yang membuat LSM Indonesia Corruption Watch  (ICW) merasa gerah. Ada­lah Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indo­nesia Corruption Watch (ICW) Febridiansyah yang menilai Kejagung tidak serius melakukan reformasi birokrasi institusinya, sebab Kejagung masih mem­be­ri­kan ruang gerak promosi kepada jaksa bermasalah.

“Saya rasa ka­lau memang ingin berubah, memperbaiki diri secara serius, maka mempertimbangkan tidak memberikan ruang gerak pro­mosi kepada jaksa bermasa­lah,” katanya.

 Febri menyatakan kedua jaksa itu sudah diberikan sanksi oleh Kejagung, termasuk penundaan promosi. Namun jika benar-benar serius ingin melakukan reformasi birokrasi, Kejagung harus tegas dan konsisten tidak memberikan promosi bagi jaksa bermasalah seperti itu. “Dalam kondisi ini, harus perlihatkan keseriusan luar biasa untuk benahi institusinya,” tandasnya.

 Dia berharap agar Kejagung bisa melakukan peninjauan ulang ter­hadap promosi jaksa. Mengi­ngat, ada dua nama yang diduga terlibat kasus Arthalyta dan kasus Gayus. Dua nama itu, menu­rut­nya, terang-terang telah men­co­reng wajah kejaksaan.  

”Pernah punya masalah tapi me­miliki jabatan strategis, seha­rusnya diberikan hukuman paling berat kepada mereka untuk efek jera,” ucapnya.

Namun, Jaksa Agung Muda Pe­nga­wasan (Jamwas) Marwan Effendy menyatakan, dua jaksa itu terbebas dari jeratan hukum apapun. Bahkan, Korps Adhyak­sa meminta masyarakat tidak perlu meragukan kinerja kedua jak­sa tersebut.

“Kami tidak pernah menemu­kan kesalahan dua jaksa itu. Pro­mosi menjadi Kajati untuk mere­ka berdua adalah hal yang wajar,” katanya di Kejagung.

 Marwan menambahkan, Salim yang sebelumnya terseret kasus Arthalyta Suryani (Ayin) terbukti tidak terlibat secara langsung da­lam kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan.

Menurutnya, Salim tidak me­nge­tahui sama sekali perihal jaksa Urip yang akan membawa Ayin ke ruangan Salim. “Me­mang pada saat itu, Salim ini Di­rektur Penyidikan. Tapi masalah adanya permainan uang yang tertangkap itu, dia tidak tahu sama sekali dan itu diakui oleh jaksa Urip,” ujarnya.

 Karena itu, ujarnya, Salim tidak dikenai sanksi PP30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Menurut­nya, Salim tidak pernah men­da­pat hukuman, melainkan hanya di­mutasi. Apalagi, hasil pemerik­saan fungsionalnya juga tidak terbukti. “Ya tidak terbukti sama sekali. Jadi, dia itu bersih dari jeratan hukum,” ucapnya.

 Hal yang sama juga berlaku un­tuk jaksa Pohan. Menurut Marwan, Pohan yang pernah di­ke­nai sanksi terkait kasus rencana tuntutan (rentut) ganda dengan tersangka Gayus Tambunan telah mengakhiri masa hukumannya. “Apalagi, saat itu Pohan hanya di­kenai sanksi tertulis,” tandasnya.

 Marwan lantas menyebutkan duduk perkara masalah tersebut. Menurutnya, Pohan hanya me­neruskan rentut dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Ternyata, katanya, Jampidsus menyetujui berkas tersebut.

“Kalau Jaksa Agung Muda se­tuju, ya silakan. Ternyata setuju, ya sudah tinggal serahkan saja, dia hanya menandatangani saja,” jelasnya.

 Karena itu, Marwan yakin kedua jaksa itu sama sekali tak tersentuh jeratan hukum dan la­yak menjadi Kajati sesuai dengan daerah yang menjadi ke­we­na­ngannya. Marwan kembali me­minta masyarakat agar tak cur­iga apa yang telah dia lakukan ber­sama timnya di Jamwas.

“Saya katakan tadi, promosi terhadap dua jaksa itu adalah hal yang wajar tidak ada masalah,” ucapnya.

Perlu Pertimbangan Komisi Kejaksaan

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Keputusan Jaksa Agung Basrief Arief mempromosikan dua jaksa berstatus di bawah pengawasan Jamwas Kejagung, menuai kontroversi. Untuk itu, evaluasi kinerja Jaksa Agung Basrief Arief perlu dilaksa­na­kan. Kiprah Komisi Kejaksaan (KK) yang selama ini bertugas memantau kinerja kejaksaan pun dinantikan.

Keterangan seputar hal ter­se­but disampaikan anggota Ko­misi III DPR Desmon J Mahe­sa. Ia mempertanyakan, apakah keputusan Jaksa Agung mem­pr­o­mosikan dua jaksa ber­ma­sa­lah tersebut sudah melewati pertimbangan matang.

“Artinya, kita ingin tahu apa­kah keputusan mengusung dua jaksa sebagai Kajati sudah me­lewati pembahasan kom­pre­hen­sif di internal Kejagung. Jangan sampai keputusan itu diambil ha­nya berdasarkan pertim­ba­ngan sepihak,” ujarnya.

Dia mengingatkan, hubungan kedekatan antara pimpinan ins­titusi dengan bawahan hen­dak­nya tidak dibawa-bawa dalam menelurkan keputusan yang sa­ngat penting. Dampak atas ke­putusan yang tidak diper­hi­tung­kan secara matang juga men­im­bulkan polemik. Bisa-bisa, ke­pu­tusan yang dinilai kontro­versial tersebut justru mem­per­buruk citra kejaksaan yang se­lama ini berusaha keras me­re­formasi dirinya.

Dia menilai, tingkat komp­e­ti­si di level jaksa saat ini sangat tinggi. Jadi, jika nama jaksa ber­prestasi justru dibuang atau ti­dak dipercaya menduduki jaba­tan elit sebagai Kajati, kem­ung­kinan akan berpengaruh ter­ha­dap kinerja kejaksaan itu sen­diri. Dia menyatakan, indikator tingkat keberhasilan kejaksaan menuntaskan perkara saat ini sangat tergantung pada kejak­saan di daerah. Jadi, sam­bung­nya, jika calon kepala kejaksaan daerah tidak punya catatan prestasi prestisius, hendaknya tidak dipilih.

Dia menjanjikan, akan mem­pertanyakan persoalan tersebut dalam rapat dengar pendapat de­ngan pimpinan Kejagung. “Saya akan pertanyakan hal tersebut pada Jaksa Agung,” tu­turnya. Selebihnya ia men­g­ha­rap­kan, Komisi Kejaksaan lebih intensif memantau kinerja Jaksa Agung dan jajarannya.

Persoalannya ucap politisi Part­ai Gerindra ini, Komisi Ke­jaksaan selama ini cenderung ber­sikap pasif. Padahal, me­nurut Desmon, Komisi Ke­jak­saan memiliki kompetensi untuk memberikan penilaian terhadap seorang calon Kajati.

“Komisi Kejaksaan pasti punya catatan tentang track re­cord jaksa-jaksa. Semestinya mereka dilibatkan dalam me­nentukan calon Kajati. Saya ya­kin mereka punya kapabilitas memberikan masukan positif,” imbuhnya.


Tanggung Jawab Jaksa Agung

Arsil, Peneliti LSM MaPPI

Jaksa Agung mengantongi hak menunjuk calon Kajati. Selama penunjukan didasari prin­sip bahwa calon adalah kader terbaik, keputusan Jaksa Agung bisa dianggap hal yang wajar. Dengan situasi yang de­mikian, keputusan Jaksa Agung tak perlu dipertentangkan atau diperdebatkan.

“Pada prinsipnya, penentuan calon Kajati bisa diambil oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung me­miliki otoritas untuk itu,” ujar peneliti LSM Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Arsil.

Namun demikian, dia ber­pen­dapat, sebaiknya penca­lo­nan Kajati dibahas melalui mekanisme yang ada. Petinggi kejaksaan seperti Jamwas dan Jamintel dinilai mempunyai cata­tan prestasi para jaksa. “Tak hanya prestasi. Catatan hitam jaksa pun pasti ada.”

Pencalonan dua jaksa yang masih di bawah pengawasan Jam­was, lanjut Arsil, memang bisa menjadi preseden buruk bagi Kejagung. Namun, konse­kuensi atas pemilihan dan pe­nun­jukan jaksa tersebut nan­tinya menjadi tanggung jawab Jaksa Agung.

Jika jaksa itu ter­nyata melem­pem mel­ak­sa­na­kan tugas se­ba­gai Kajati, maka dapat dipas­tikan hal itu akan mencoreng cit­ra Jaksa Agung dan korps Adhyaksa secara umum.

Arsil mengingatkan kembali, untuk menghindari terjadinya hal yang tak diinginkan, sebaik­nya Kejagung memiliki arsip jaksa yang tersusun secara rapi. Dengan begitu, tiap catatan pres­tasi atau sanksi terhadap jaksa terekam dengan jelas.

“Ini akan memudahkan da­lam membuka rekam jejak para jaksa. Yang mempunyai prestasi bagus akan kelihatan. Demikian juga dengan jaksa yang mem­pu­nyai catatan buruk,” katanya.

Dengan terbukanya arsip ber­isi rekam jejak tersebut, maka ke­putusan Jaksa Agung menen­tu­kan calon Kajati bisa lebih mu­dah dievaluasi oleh jaja­rannya. Nantinya, hal tersebut sedikit banyak membantu Jaksa Agung menentukan calon jaksa yang dipilih. “Hal ini juga bisa meminimalisir adanya sikap saling cemburu antar para jak­sa,” tuturnya.

 Selebihnya, dia  meminta penunjukkan calon Kajati oleh Jaksa Agung bisa diselesaikan secara arif. Artinya, sikap Jaksa Agung mengenai hal ini tak perlu diperdebatkan secara berlebihan.

“Kita lihat saja apakah para Kajati tersebut mampu melak­sanakan tugasnya dengan baik atau tidak,” imbuhnya.   [rm]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA