Tersangka Kasus MK Malah Disuruh Lapor ke Propam

Melapor ke Komisi Kepolisian Nasional

Jumat, 26 Agustus 2011, 08:05 WIB
Tersangka Kasus MK Malah Disuruh Lapor ke Propam
RMOL. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) merekomendasikan laporan kuasa hukum tersangka kasus surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Panitera MK Zainal Arifin Hoesein juga ditujukan ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), Divisi Provesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri.
.
Keterangan seputar re­ko­mendasi Kompolnas tersebut, disampaikan Sekretaris sekaligus Koordinator Bidang Pengaduan Masyarakat Kompolnas Adnan Pandu Pradja.

Tapi, kata Adnan, dugaan ket­i­d­akprofesionalan penyidik Ba­res­krim Polri dalam menangani ka­sus surat palsu MK, tetap jadi atensi Kompolnas. Apalagi, lan­jutnya, Zainal melaporkan du­ga­an penyimpangan penyidikan kasus tersebut ke Kompolnas.

“Kami belum bisa me­nyim­pul­kan apa ada penyimpangan pe­nyidikan. Tapi, kami ingin me­ngetahui di mana letak penye­le­wengannya,” tandas dia.

Kendati begitu, Adnan me­nam­bahkan, Kompolnas juga merasa perlu merekomendasikan laporan kuasa hukum tersangka ke Ba­reskrim, Propam dan Itwasum Polri. “Kami juga menyarankan agar tim Zainal lapor ke Div Propam Polri,” tandasnya.

Sementara itu, kuasa hukum tersangka Zainal, Andi M Asrun menyatakan, laporan ke Kom­pol­nas dipicu kekecewaan atas pe­ne­tapan status tersangka klien­nya. Menurut dia, dasar penyidik menetapkan status tersangka sa­ngat lemah. “Penyidik tidak me­nyam­pai­kan apa landasan pe­ne­tapan sta­tus tersangka,” tegasnya.

Dia menilai, penetapan status tersangka dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan do­ku­men dan Pasal 55 KUHP sangat lemah. Pasalnya, bela Andi, klien­nya sama sekali tidak ter­li­bat pemalsuan dokumen.

“Dokumen apa dan bagaimana keterlibatannya dalam penerbitan surat putusan palsu itu tidak jelas,” tandasnya.

Justru, menurut Andi, pihak lain yang layak dija­dikan ter­sang­ka kasus ini masih luput. Lan­ta­ran itu, dia menyatakan ada dis­kriminasi penyidik dalam me­nangani kasus tersebut. Namun, tuduhan ketidak­pro­fe­sio­­nalan penyidik itu ditepis Ke­pala Divisi Humas Polri Irjen An­ton Bachrul Alam. Menu­rut­nya, soal pene­ta­pan status ter­sangka menjadi ke­we­nangan pe­nyidik kasus ini.

“Itu menyangkut independensi penyidik. Mereka yang me­nen­tu­kan apakah seseorang layak jadi tersangka atau tidak, juga soal perlu ditahan atau tidak,” kata bekas Kapolda Jawa Timur ini.

Kendati begitu, lanjut Anton, laporan tersangka kasus ini ke Kompolnas merupakan hak mereka. Artinya, jika dalam pe­ngu­sutan ditemukan penyimpa­ngan, maka penyidik kasus ini akan dikenai sanksi.

Menjawab pertanyaan, kenapa baru ada dua tersangka dalam kasus ini, Anton menyatakan, per­­timbangan penyidik menen­tukan siapa tersangka kasus ini tidak bisa dicampuri pihak lain.

“Polisi sudah bekerja keras menyingkap kasus ini. Penentuan tersangka tentunya didasari per­timbangan dan bukti-bukti yang lengkap. Tidak bisa semba­ra­ngan,” kata bekas Kapolda Ka­li­mantan Selatan ini.

Selebihnya, Direktur I Bares­krim Polri Brigjen Agung Sabar Santoso menyatakan, perkara ini masih dikembangkan penyidik. Ia pun menyangkal jika jaja­ran­nya diintervensi pihak luar. Jika ada temuan penyelewengan yang dilakukan penyidik, ia mengaku siap mengambil tindakan tegas terhadap anak buahnya. “Kami profesional dalam menangani kasus ini,” tegasnya.

Agung menambahkan, sejauh ini sudah 36 saksi dimintai kete­rangan oleh jajarannya. Dengan sederet pemeriksaan tersebut, ia mengklaim bahwa penyidik kasus ini tidak main-main.

“K­a­lau­pun ada pihak yang memenuhi unsur untuk dijadikan tersangka, pasti akan segera ditetapkan,” tandasnya.

Mengenai kenapa penyidik tidak menahan tersangka Zainal, Anton menyatakan, tersangka koo­peratif serta bisa diajak ker­jasama oleh kepolisian dalam me­nyingkap kasus ini. Meski ter­sang­ka tidak ditahan, dia meny­a­takan, kepolisian tidak akan ber­larut-larut dalam menuntaskan berkas perkara dua tersangka ka­sus ini, yakni Zainal dan juru panggil MK Masyhuri Hasan.

Semula Hanya Sekelas Juru Panggil MK

Surat palsu putusan Mah­kamah Konstitusi (MK) me­nge­nai sebuah kursi DPR dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang hampir membawa politisi Partai Hanura Dewi Yasin Limpo menjadi anggota Dewan, ber­da­sarkan investigasi Mahkamah Konstitusi (MK), diduga dibuat di kediaman hakim MK Arsyad Sanusi. Demikian keterangan Sekjen MK Djanedjri M Gaffar di hadapan Panja Mafia Pemilu DPR pada Selasa (21/6).

Hakim konstitusi yang juga Juru Bicara MK Akil Muchtar pernah mengatakan, penanganan kasus ini hanya berputar-putar. Lantaran itu, Akil sempat me­minta Korps Bhayangkara tidak hanya berhenti pada penetapan tersangka yang hanya sekelas juru panggil MK, Masyhuri Ha­san. “Tidak mungkin ada pelaku, tapi tidak tahu surat itu digunakan untuk apa, maksudnya bagai­mana. Tidak mungkin putus be­gitu saja,” katanya.

Akil pun mempertanyakan, mengapa kepolisian menetapkan Masyhuri sebagai tersangka tanpa didahului gelar perkara, se­dangkan yang lain harus me­nunggu hasil gelar perkara untuk ditetapkan sebagai tersangka. “Padahal, gelar perkara hanya salah satu bagian dari pe­nyi­di­kan,” kata bekas anggota Komisi III (Hukum) DPR ini.

Menurut Akil, apakah anggota KPU Andi Nurpati berperan da­lam kasus tersebut, bisa dilihat dari video sidang pleno KPU. Video itu, lanjutnya, bisa diputar pe­nyidik. “Dalam video sidang penetapan KPU dapat dilihat, yang dibacakan suratnya apa. Ka­lau dia bilang lupa, ditunjukkan saja videonya. Kemudian ban­dingkan dengan video putusan MK. Semua ada dan jelas kan,” tandasnya.

Mengomentari pernyataan Andi yang kerap menyatakan lu­pa saat dikonfrontir dengan Ma­sy­huri di Mabes Polri, Ja­karta pada 28 Juli 2011, Akil me­nya­ta­kan itu adalah hal biasa dalam pembelaan diri. “Yang paling aman, ya, jawabannya lupa itu,” ujarnya.

Namun, menurut pengacara Andi Nurpati, Farhat Abbas, ka­sus surat palsu MK telah selesai tahun 2009. Soalnya, KPU telah meralat surat tersebut dan mem­buat putusan dengan surat yang se­suai putusan MK. “Jadi, di sini tidak ada permufakatan jahat. Yang duduk di DPR saat ini ada­lah keputusan final,” ucap Farhat yang dihubungi pada Kamis lalu.

 Pengacara Andi lainnya, Den­ny Kailimang meminta polisi ja­ngan mau didesak pihak mana pun, termasuk pihak MK dan DPR dalam penyidikan kasus ini. M­enurutnya, intervensi hanya me­nyebabkan polisi tidak bisa ber­sikap independen dalam me­nangani kasus tersebut. “Jangan jadi peradilan jalanan. Se­ha­rusnya kalau sudah diserahkan ke kepolisian, silakan polisi yang menangani. Terlalu banyak do­rongan kepada polisi, mulai dari anggota Panja di DPR sampai hakim MK,” kata Denny.

Seperti diketahui, kasus ini masih menyisakan tanda tanya besar. Soalnya, Korps Bha­yang­kara semula hanya menetapkan satu tersangka, yakni bekas juru panggil MK Masyhuri Hasan. Keheranan berbagai pihak belum sirna, meski kepolisian kemudian juga menetapkan bekas Panitera MK Zainal Arifin Hoesein se­bagai tersangka. Kasus ini men­dapat perhatian Panja Mafia Pe­milu DPR.

Yang Gerakkan Tersangka Belum jadi Tersangka
Ray Rangkuti, Direktur LSM Lingkar Madani Indonesia

Penetapan bekas juru panggil Mahkamah Konstitusi (MK) Masyhuri Hasan dan be­kas Panitera MK Zainal Arifin Hoesein sebagai tersangka ka­sus surat palsu MK masih me­nyisakan tanda tanya besar bagi Direktur LSM Lingkar Madani In­donesia, Ray Rangkuti.

Ray merasa penasaran, apa se­sungguhnya motif kedua ter­sangka, sehingga terbelit kasus surat palsu yang hampir saja di­gunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mene­tap­kan calon legislatif dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Dewi Yasin Limpo sebagai ang­gota DPR 2009-2014 dari dae­rah pemilihan Sulawesi Selatan I itu. “Apa keuntungan yang diperoleh keduanya. Apa pula tujuannya,” katanya.

Ray juga mempertanyakan stagnansi pengembangan pe­nyi­dikan kasus ini di tangan Mabes Polri. Menurut Ray, logika yang masuk akal adalah keduanya bergerak karena ada arus utama yang menggerakkannya, yang justru sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.

“Data mengenai ada tidaknya aktor utama sudah terungkap di Panja Mafia Pemilu,” ucapnya.

Dia menambahkan, jika ke­po­lisian tidak segera me­ngung­kap aktor utama kasus ini, akan timbul gangguan pada rasio­na­litas publik yang meyakini telah terjadi intervensi politik ter­ha­dap lembaga penegak hukum ter­sebut.

“Wajar bila masyarakat ce­mas ada intervensi dari partai po­litik. Sebab, polisi sudah me­nyita bukti sampai gelar re­konstruksi. Rasanya sudah cu­kup untuk membereskan ma­sa­lah ini,” ujarnya.

Tersangkanya Baru Sebatas Aktor Figuran
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir mendesak Mabes Polri supaya lebih berani mengusut kasus mafia pemilu, termasuk tidak takut mene­mu­kan aktor utama yang membuat surat palsu Mahkamah Kons­titusi (MK) tersebut.

Nudirman meminta k­e­po­li­sian bersikap profesional, seka­li­pun berhadapan dengan ke­kua­tan politik yang menguasai parlemen saat ini. “Saksi-saksi sudah mencukupi. Justru, kami di Komisi Hukum DPR kaget, mengapa yang menjadi ter­sang­ka kok Zainal Arifin Hoesein. Kenapa polisi tidak bisa me­ngungkap aktor besarnya,” ka­tanya, kemarin.

Karena itu, Nudirman men­i­lai penetapan Zainal sebagai tersangka merupakan tindakan yang tebang pilih. Menurutnya, pemalsuan surat putusan MK itu terjadi dengan modus yang terorganisir dan melibatkan seseorang yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat.

“Kita ingat jabatan Zainal itu apa. Hanya bekas Panitera. Tapi, kenapa hanya dia yang dikorbankan,” ucapnya.

Meski begitu, Nudirman enggan dicap sebagai pembela orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Dia pun meminta kepada polisi segera melakukan penahanan kepada Zainal.

“Karena bagaimanapun juga, Zainal itu sudah ditetapkan se­ba­gai tersangka. Sudah sewa­jarnya seorang tersangka di­ta­han oleh lembaga penegak hu­kum,” tandasnya.

Politisi Golkar ini berjanji akan mempertanyakan masalah ini dalam rapat dengar pendapat bersama pihak kepolisian yang akan digelar pasca Idul Fitri. Me­nurutnya, Komisi Hukum DPR bersama Panja Mafia Pe­milu akan mendorong Polri un­tuk membuka aktor utama kasus ini.

Lantas bagaimana sikap Ko­misi Hukum DPR jika Polri te­tap tak membuka siapa aktor uta­ma kasus tersebut? Nudir­man menjawab, pihaknya akan memberikan teguran keras ke­pada Kapolri terkait lemahnya pengembangan penyidikan kasus tersebut.

Pasalnya,  hing­ga kini ter­sang­ka yang dite­tapkan kepo­lisian hanya sebatas aktor figu­ran. “Yang kita ingin tahu, siapa aktor utamanya, titik,” tegasnya.

Nudirman berharap kasus ini tidak seperti kasus yang me­nimpa bekas Kabareskrim Sus­no Duadji dan Gayus Tam­bu­nan. Dua kasus itu tidak sampai menjerat aktor utamanya. Ka­rena itu, katanya, dibutuhkan ke­seriusan dalam mengusut tuntas perkara ini. “Cukuplah Susno dan Gayus menjadi con­toh pengusutan kasus yang ti­dak tuntas,” katanya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA