Sembilan kepala daerah itu adaÂlah Bupati Ogan, Muhtaddin Serai yang merupakan tersangka kaÂsus korupsi pembangunan proÂyek pasar tradisional
Saka SelaÂbung Muara Dua senilai Rp 1,5 miliar. Bupati Batang Bambang BinÂtoro yang merupakan tersangÂka pemberian bantuan purnatugas bagi anggota DPRD periode 1999-2004 sebesar Rp 796 juta dari dana APBD 2004. Bupati BuÂlungan Budiman Arifin yang meÂrupakan tersangka korupsi seÂbesar Rp 7 miliar pada pengadaan taÂnah seluas 47 hektar di NunukÂan, Kalimantan Timur. Bupati MenÂtawai Edison Seleleobaja yang merupakan tesangka kasus korupsi dana Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) senilai Rp 1,5 miliar.
Walikota Medan Rahudman Harahap juga dinyatakan terlibat korupsi dana Tunjangan PengÂhaÂsilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Pemerintah Kabupaten TaÂpanuli Selatan (Tapsel) tahun 2005 sebesar Rp 1,5 miliar. Bupati Kolaka Buhari Matta yang merupakan tesangka kasus koÂrupsi surat izin kuasa pertamÂbangÂan nikel illegal di Pulau Lemo. Wakil Bupati Purwakarta DuÂdung B Supari yang diteÂtapÂkan sebagai tersangka kasus duÂgaan korupsi dana makan dan miÂnum APBD pemerintah kaÂbuÂpaten (pemkab) setempat senilai Rp 12 miliar.
Gubernur Kalimantan Timur Awang Farouk sebagai tersangka kasus divestasi saham PT Kaltim Prima Coal yang diduga merugiÂkan keuangan negara Rp 576 miÂliar. Gubernur Kalimantan SeÂlatÂan Rudy Arifin yang merupakan terÂsangka kasus korupsi ganti rugi lahan pabrik kertas MartaÂpuÂra sebesar Rp 6,3 miliar.
Lantas, apa yang membuat instansi kejaksaan tak berkutik daÂlam menuntaskan proses huÂkum sembilan kepala daerah itu? Wakil Jaksa Agung Darmono meÂnyatakan, kendala yang dialami kejaksaan hanyalah hasil pengÂhiÂtungan kerugian negara dari BPÂKP yang belum terbit. Ia mengÂinstruksikan agar kejaksaan di daeÂrah berkoordinasi dengan BPKP untuk mempercepat pengÂhitungan kerugian negara. “Harus beÂtul-betul dicek,†katanya di GeÂdung Kejaksaan Agung, Jakarta.
Menurut Darmono, kejaksaan segera melanjutkan perkara itu deÂngan mengajukan izin peÂmeÂrikÂsaan ke Presiden, jika kerugian negara dalam masalah ini sudah terlihat dengan jelas. Disinggung apakah hal ini ada batas wakÂtuÂnya, Ketua Tim Pemburu KoÂrupÂtor ini dengan tegas mengatakan, tidak ada. “Kerugian negara itu di luar institusi kejaksaan,†ujarnya.
Guna meyakinkan masyarakat, Ketua Tim Pemburu Koruptor ini kemÂbali memastikan bahwa moÂlornya kelanjutan proses huÂkum sembilan kepala daerah itu bukan disebabkan adanya tekanan atau intervensi dari pihak tertentu. Dia menegaskan bahwa pihaknya masih terus mendalami perkara ini. “Kami bekerja secara proÂfeÂsioÂnal dan berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak ada interÂvenÂsi dalam bentuk apapun,†ucapnya.
Menurutnya, salah satu perkara yang sedang menjadi perhatian lembaganya ialah kasus korupsi yang menjerat Gubernur KaliÂmanÂtan Timur, Awang Farouk Ishak dan Gubernur Kalimantan SeÂlatÂan, Rudi Arifin. “Perkaranya maÂsih ditelaah tim penyidik PiÂdana Khusus Kejagung,†ucapnya.
Darmono mengatakan, perkara Gubernur Kalsel Rudy Arifin meÂrupakan salah satu kasus yang menÂjadi prioritas Kejagung untuk seÂgera diselesaikan. Pasalnya, suÂdah sekitar delapan bulan KeÂjaÂgung menetapkan Rudy Arifin menjadi tersangka, namun belum juga selesai hingga kini. “Ini terÂmasuk bagian yang harus segera diÂputuskan selesai, karena ini juga mengenai statusnya juga kan,†ujarnya.
Untuk perkara Awang Farouk, Korps Adhyaksa telah memperÂpanÂjang status cekal Gubernur KalÂtim tersebut pada tanggal 29 Juli 2011 lalu. Kepala Pusat PeÂnerangan Hukum (KapusÂpenÂkum) Kejagung Noor Rochmad memastikan bahwa Awang FaÂrouk telah dicekal untuk enam buÂlan ke depan. Menurut Noor, surat cekal Awang itu bernomor 208/D/DSP.3/07/2011. “Sudah diperjanjang surat cekal tehadap Awang Farouk,†katanya.
Sementara itu, Juru Bicara KeÂmenÂterian Dalam Negeri, RedonÂnyzar Moenek mengaÂtakan bahwa pihaknya tidak bisa serta-merta menonaktifkan para kepala daerah yang terjerat kasus korupÂsi. Pasalnya, dalam Undang-UnÂdang Nomor 32 Tahun 2004 tenÂtang Pemerintahan Daerah diseÂbutkan, kepala daerah baru bisa dinonaktifkan manakala yang berÂsangkutan telah menyandang status terdakwa. “Kalau baru seÂbatas tersangka, kami tidak bisa meÂnonaktifkan,†katanya ketika diÂhubungi
Rakyat Merdeka, keÂmarin.
Meski begitu, pria yang akrab disapa Donny ini merasa sangat prihatin dengan maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh keÂpala daerah. Menurutnya, berÂdaÂsarkan catatan di Kemendagri, para pejabat daerah yang melaÂkuÂkan tindak pidana korupsi jumÂlahnya mencapai 158. “Ini kan angka yang cukup miris. Kami mengupayakan supaya ke deÂpanÂnya hal itu bisa dikurangi,†ucapÂnya.
Usulkan Supaya Potong Anggaran Kejaksaan AgungDesmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR Anggota Komisi III DPR Desmon Junaidi Mahesa menÂdesak Kejaksaan Agung segera tuntaskan kasus dugaan korupsi sembilan kepala daerah. SoalÂnya, hal itu merupakan perÂtaÂruhan citra instansi kejaksaan di mata masyarakat.
Desmon juga berharap keÂsungÂguhan Korps Adhyaksa seÂgera melakukan penahanan terÂhadap sembilan kepala daerah itu. “Sebelum reses bulan RaÂmaÂdhan ini, kami sudah mengÂgelar rapat dengar pendapat deÂngan Kejagung. Hasilnya, kami di Komisi Hukum meminta tunÂtaskan kasus itu dan KeÂjaÂgung menÂjawab siap untuk meÂnunÂtaskannya. Jadi, kami menagih utang Kejagung,†katanya.
Menurutnya, apabila dalam batas waktu hingga akhir tahun ini, Korps Adhyaksa tidak juga menyelesaikan perkara itu, maka dia akan mengusulkan peÂmoÂtongan anggaran untuk KeÂjagung. “Daripada beban APBN kian besar, lebih baik kita potong saja anggaran untuk KeÂjagung,†tandasnya.
Desmon menambahkan, apa yang diucapkannya ini buÂkanÂlah suatu bentuk ancaman kepada Kejagung atau mereÂmehÂÂkan kinerja Kejagung. Namun, lanjut dia, hal ini untuk meÂningkatkan motivasi KeÂjagung sebagai lembaga peneÂgak hukum yang berani meÂnumÂpas praktik korupsi hingga ke akarnya. “Sama sekali bukan untuk mendiskreditkan KejaÂgung. Saya hanya minta KejaÂgung menepati janjinya manaÂkala RDP dengan kami di DPR,†ucapnya.
Ketika ditanya, berapa besarÂnya anggaran yang akan dipoÂtong jika Kejagung tidak mamÂpu menuntaskan kasus ini hingga tuntas? Politisi Gerindra tak memberikan gambaran yang pasti. Menurutnya, pemotongan anggaran besarnya bisa berÂvariatif. “Ya nanti tergantung hasil rapat dengan para pimÂpinan Komisi Hukum DPR,†katanya.
Jika kasus ini tetap tak ditunÂtaskan oleh Kejagung, Desmon sangat berharap Komisi PemÂbeÂrantasan Korupsi (KPK) segera meÂlakukan supervisi atau langÂsung mengambil alih kasus terÂsebut supaya tidak terlalu lama mangkrak di Kejagung. “Suatu langkah yang bagus bagi KPK jika berkenan mengambil alih kaÂsus ini,†ujarnya.
Minta KPK dan Jamwas Turun TanganUchok Sky Khadafi, Koordinator LSM FITRAKoordinator Investigasi dan Advokasi LSM Forum InÂdoÂnesia untuk Transparansi AngÂgaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi berpendapat, KejakÂsaÂan Agung tebang pilih dalam menuntaskan perkara sembilan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Uchok menyaÂranÂkan kepada Komisi PemÂbeÂrantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih kasus tersebut.
“Saya kira tidak akan tuntas ditangani oleh Kejagung. Saya baru bisa percaya manakala KPK mau turun tangan mengamÂbil alih kasus tersebut,†katanya.
Dia khawatir, belum tuntasÂnya perkara ini bukan karena KeÂjagung menunggu terbitnya pengÂhitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan KeÂuangÂan dan Pembangunan (BPKP), bukan pula karena meÂnunggu izin Presiden. Lantaran itu, Uchok mempertanyakan, apaÂkah perkara ini mangkrak kaÂrena ada konspirasi antara oknum kejaksaan dengan para tersangka yang berlatar belaÂkang pejabat tinggi daerah.
Lantas, apa yang mendasari Uchok melontarkan kecurigaan seÂperti itu? Dia menjawab, suÂdah ada bukti konkret yang meÂnyebutkan adanya konspirasi antara oknum kejaksaan dengan orang yang terlibat suatu perÂkara hukum. “Misalnya kasus jakÂsa Urip yang bisa berneÂgoÂsiasi harga dengan Artalyta SurÂyani. Nah, kita tidak mau kasus seÂperti itu terjadi pada kasus semÂbilan kepala daerah ini,†ujarnya.
Guna mencegah terjadinya kaÂsus itu, Uchok meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan beÂserta jajarannya segera turun taÂngan mengawasi jalannya peÂngusutan kasus tersebut. Jika tidak, katanya, maka peluang terÂjadinya konspirasi antara okÂnum jaksa dengan para terÂsangka semakin terbuka lebar. “Meskipun saya tak percaya juÂga kinerja Jamwas seratus perÂsen. Tapi, ini mungkin suatu usaÂha yang bisa membuat jaksa seÂlalu merasa diawasi,†tanÂdasÂnya.
[rm]
BERITA TERKAIT: