Kepala Pusat PeÂneÂrangan HuÂkum (KapusÂpenÂkum) Kejaksaan Agung (KejaÂgung) Noor RachÂmad beralasan, ditahan atau tidak ditahannya dua tersangka kasus ini, yakni bekas Direktur Utama Merpati Hotasi NaÂbaban dan beÂkas Direktur KeÂuangan Merpati Guntur Aradea, sepenuhnya meÂrupakan keÂweÂnangan penyidik perkara tersebut.
“Independensi penyidik untuk menetapkan penahanan atau tidak, tak bisa dipengaruhi pihak lain,†katanya, kemarin.
Menurut Noor Rachmad, perÂtimÂbangan mendasar penyidik tidak langsung melakukan penaÂhanan adalah niat baik dan koÂmitÂmen para tersangka untuk memÂbantu menuntaskan perkara terÂsebut. Selain itu, lanjutnya, peÂnyiÂdik juga yakin kedua tersangka tidak akan menghilangkan barang bukti atau kabur ke luar negeri selama pengusutan kasus tersebut berjalan.
Seorang jaksa di lingkungan Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus (Jampidsus) meÂngÂinÂforÂmaÂsiÂkan, pasca penetapan status terÂsangka kasus penyewaan pesawat ini, jajaran Jampidsus berkoorÂdinasi dengan jajaran Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) untuk memantau kebeÂradaan Hotasi Nababan dan Guntur Aradea. Pemantauan itu, lanjut sumber ini, dilakukan intel-intel kejaksaan.
Namun, Hotasi Nababan hingÂga kemarin masih enggan bicara mengenai kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Dikonfirmasi wartawan melalui telepon seluÂlernya, Hotasi mengatakan, saat ini dia hanya berusaha menjalani dan mematuhi prosedur hukum yang berlaku.
Yang pasti, menurut KÂaÂpusÂpenÂkum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, bekas Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan dan beÂkas Direktur Keuangan Merpati Guntur Aradea sudah resmi menÂjadi tersangka kasus sewa peÂsawat tersebut sejak hari Selasa lalu, (16/8).
Penetapan status tersangka dilaksanakan pasca Jaksa Agung Muda Pidana Khusus meÂnerÂbitÂkan Surat Perintah Penyidikan (sprint DIK) bernomor 95/F.2/fd.1/07/2011 tertanggal 7 Juli 2011. “Sebelum ditetapkan sebaÂgai tersangka, keduanya sudah pernah dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi oleh penyidik Jampidsus,†ujar Noor.
Menurut Noor, berdasarkan keterangan Hotasi Nababan dan Guntur Aradea, keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti surat, peÂnyidik menyimpulkan bahwa dua bekas pejabat pada perusaÂhaan maskapai penerbangan neÂgara itu, layak ditetapkan sebagai terÂsangka. “Ada bukti-bukti yang meÂnunjukkan dugaan keterliÂbaÂtan keduanya,†tandas dia.
Noor menambahkan, sampai kemarin proses penyidikan kasus tersebut masih berjalan. “Kami masih mengembangkan penyiÂdiÂkan kasus tersebut. Tidak tertutup kemungkinan, tersangka perkara tersebut akan bertambah jumÂlahÂnya,†ujar dia.
Sementara itu, menurut DiÂrektur Utama PT Merpati SarÂdjoÂno Djoni, keputusan menyewa pesawat itu adalah kebijakan korporasi atau perusahaan, bukan pribadi. Menurutnya, yang patut dipahami dalam kasus ini adalah, proses pengajuan penyewaan peÂsawat didasari kebutuhan Merpati yang saat itu tidak punya uang.
“Kami butuh pesawat, tapi tiÂdak punya uang, makanya diÂpuÂtuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan korporasi, bukan kebijakan perÂorangan. Karena itu, kami meÂngikuti saja proses hukum yang berjalan,†ucapnya.
Lantaran itu, Sardjono mengaÂtaÂkan, Direksi Merpati memuÂtusÂkan untuk menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone AirÂcaft Leassing Group Inc (TALG) Amerika Serikat pada 2006 seÂharga 500 ribu Dolar Amerika SeÂrikat per pesawat. Namun, seÂtelah pembayaran dilakukan, pesawat yang disewa tidak kunjung diÂterima Merpati. Mestinya lanjut dia, Merpati menerima dua peÂsawat pada Januari 2007. “Ini sudah disampaikan kepada pihak Kejaksaan Agung,†katanya.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jampidsus Jasman PandÂjaiÂtan, ada indikasi kerugian negara sebesar 1 juta Dolar Amerika SeriÂkat atau sekitar Rp 9 Miliar karena Merpati menyewa sejumÂlah pesawat, tapi pesawat-pesaÂwat itu tidak datang. Dia meÂnambahkan, jaksa berupaya agar uang 1 juta Dolar AS itu bisa kemÂbali ke kas negara.
Kejaksaan Agung Sering Ragu-ragu Tetapkan TersangkaRuhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR Kebijakan soal penahanan tersangka menjadi hal paling memÂbedakan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) deÂngan lembaga penegak huÂkum lain seperti Kejaksaan Agung.
“Itulah bedanya KPK dengan kejaksaan atau kepolisian. PeÂneÂtapan status tersangka oleh KPK diambil secara sangat hati-hati. Begitu jadi tersangka, seseorang langsung ditahan KPK,†ujar anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul.
Menurut Ruhut, penetapan status tersangka oleh kejaksaan dan kepolisian yang sering tidak diikuti proses penahanan, justru memberi kesan bahwa keÂjaksaan dan kepolisian ragu-ragu menjadikan seseorang seÂbagai tersangka suatu perkara.
Banyaknya tersangka yang masih bebas berkeliaran, lanjut Ruhut, bisa menjadi celah bagi oknum kejaksaan atau oknum kepolisian untuk memetik keÂuntungan pribadi. “Saya pernah menerima laporan dari kepala daerah dan kota yang dijadikan tersangka. Mereka mengeluh, akiÂbat status tersangka yang diÂsandangnya, mereka jadi seperti ATM berjalan bagi oknum peÂnegak hukum nakal,†katanya.
Ruhut pun sangat menyaÂyangÂkan hal tersebut. Untuk itu, politisi Partai Demokrat ini mengingatkan, prosedur dan mekanisme penetapan tersangÂka dan penahanan tersangka mesti diperjelas.
“Dalam kasus Merpati ini conÂtohnya, kalau telah ada terÂsangka, ya sebaikÂnya ditahan saja. Tapi kalau jaksa tidak beÂrani menahan tersangka, maka jangan sekali-kali menjadikan seseorang sebagai tersangka. Kasihan kan, nasib orang jadi permainan,†tegasnya.
Tetapi, Kepala Pusat PeneÂraÂngan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad beralasan, perÂtimbangan mendasar penyidik tidak langsung melakukan peÂnaÂhanan adalah niat baik dan komitmen para tersangka untuk membantu menuntaskan perÂkara tersebut. Selain itu, lanÂjutÂnya, penyidik juga yakin kedua tersangka tidak akan mengÂhiÂlangkan barang bukti atau kabur ke luar negeri selama penguÂsuÂtan kasus tersebut berjalan.
Mesti Logis Supaya Rakyat Bisa PercayaPatra M Zein, Bekas Ketua YLBHIMenurut bekas Ketua YayaÂsan Lembaga Bantuan Hukum InÂdonesia (YLBHI) Patra M Zein, ada kriteria khuÂsus dalam memÂÂperÂtimÂbangkan apakah terÂsangka perlu ditahan atau tidak.
Otoritas dalam memÂperÂtimÂbangkan kriteria khusus terseÂbut, sehingga ada keputusan untuk menahan atau tidak meÂnaÂhan tersangka, lanjut Patra, memang berada di tangan peÂnyidik. “Dengan segala konseÂkuensinya, penyidik memÂpuÂnyai hak menentukan jalannya pengusutan perkara,†ujar Patra, kemarin.
Praktisi hukum ini mengaÂtaÂkan, keputusan para penyidik untuk tidak menahan tersangka, sesungguhnya bisa dipahami. Sepanjang didasari pertimbaÂngan hukum yang logis, keÂpuÂtusan tidak menahan tersangka bisa diterima.
“Biasanya pertimbangannya meliputi, tersangka sakit dan perlu pengobatan intensif. TerÂsangka bisa juga dinilai kooÂpeÂratif, tidak akan melarikan diri dan tidak akan menghilangkan barang bukti. Atau untuk kasus-kasus tertentu, ada juga yang tiÂdak ditahan karena belum adaÂnya izin pemeriksaan dari preÂsiden,†urainya.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, menurutnya, dapat digunakan penyidik untuk tidak menahan tersangka. “Saya pikir hanya itu yang menjadi patokan penyidik. Pertimbangan di luar itu, tentu harus dipikirkan dan diputuskan secara cermat. Ini tentu agar tidak timbul penaÂfÂsiran negatif atas keputusan tiÂdak menahan seorang terÂsangÂka,†katanya.
Untuk itu, sarannya, setiap keÂputusan penyidik tidak meÂnahan tersangka, hendaknya seÂlalu disertai alasan yang konkret dan jelas. “Supaya tidak memÂbuat masyarakat bertanya-taÂnya, kok tersangka yang ini diÂtahan, tapi tersangka yang lain bisa bebas,†tandasnya.
Menurut Kepala Pusat PeÂneÂrangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, ditahan atau tidak ditahannya dua terÂsangka kasus ini, yakni bekas Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan dan bekas Direktur Keuangan Merpati Guntur AraÂdea, sepenuhnya merupakan kewenangan penyidik perkara tersebut. “Independensi peÂnyiÂdik untuk menetapkan penaÂhanan atau tidak, tak bisa diÂpengaruhi pihak lain,†katanya, kemarin.
[rm]
BERITA TERKAIT: