Dewi Yasin Limpo Cuma Dapat 26 Pertanyaan

Lanjutan Kasus Surat Palsu Putusan MK

Selasa, 16 Agustus 2011, 05:00 WIB
Dewi Yasin Limpo Cuma Dapat 26 Pertanyaan
Dewi Yasin Limpo
RMOL. Politisi Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo akhirnya memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Keterangan menge­nai pe­me­riksaan Dewi dikemukakan kua­sa hukumnya, Elza Syarief. Dia menyatakan, kliennya telah mem­­beri kesaksian seputar kasus yang menyeret politisi Partai Ha­nura tersebut. “Sudah selesai di­periksa,” ujarnya saat dikon­fir­masi Rakyat Merdeka, kemarin petang.

Elza menambahkan, Dewi juga telah menandatangani berkas acara pemeriksaan. “Dia juga sudah menandatangani berkas perkara,” ujarnya.

Akan tetapi, Elza tidak bersedia memberikan penjelasan menge­nai substansi pemeriksaan klien­nya tersebut. Alasannya, dia kha­watir, penyampaian substansi pe­meriksaan Dewi justru menyalahi aturan.

Kendati begitu, layaknya pe­nga­cara, Elza getol membela klien­nya. Menurut dia, Dewi, klien­nya sama sekali tidak terkait dengan kasus ini. Soalnya, sam­bung dia, putusan tersebut me­rupakan kompetensi MK. “Klien saya tidak terkait dengan per­soalan surat MK itu. Itu urusan­nya MK,” belanya.

Menurut penga­cara Dewi, Yaser S Wahab, klien­nya menda­pat 26 pertanyaan. Dewi dipe­rik­sa dari pukul 11 sampai 19.00 WIB.

Sementara itu, sumber di ling­kungan Direktorat I Bares­krim menginformasikan, pemeriksaan saksi Dewi masih berkutat soal iden­titas dan per­kenalannya de­ngan tersangka pe­malsuan surat putusan MK Masyhuri Hasan dan saksi-saksi lain, baik dari MK mau­pun  KPU.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, untuk menuntaskan kasus ini, kepolisian masih perlu mengorek keterangan sejumlah pihak. Soalnya, dalam penyidikan kasus ini, penyidik menemukan banyak kejanggalan seperti keterangan yang saling bertentangan satu sama lain. “Masih ada keterangan yang saling bertentangan. Kami kros cek satu persatu,” tandasnya.

Namun, dia mengaku belum tahu kapan agenda Bares­krim akan mengkonfrontir Dewi de­ngan saksi-saksi lain atau ter­sangka kasus ini. “Pasti akan dilaksanakan,” ujar bekas Kepala Polda Jawa Timur ini.

Menurut Anton, sejauh ini sudah 27 saksi kasus ini yang diperiksa. Pemeriksaan fokus pa­da kelompok pemalsu dan ke­lom­pok yang menyuruh me­malsukan surat. Dia tidak menyangkal bah­wa para saksi kasus ini adalah sejumlah staf MK dan KPU.

Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim ke Kejaksaan Agung oleh Polri disebutkan, ter­sangka kasus ini adalah Masyhuri Hasan dan kawan-kawan.  Na­mun, siapa yang dimaksud “dan kawan-kawan” itu, sampai ke­marin masih misterius. Anton mau­pun sumber-sumber di ke­polisian, masih tutup mulut mengenai hal ini.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejak­sa­an Agung Noor Rochmad yang di­mintai penjelasan seputar “ka­wan-kawan” Masyhuri Hasan itu, juga enggan berterus terang. Alasannya, kasus tersebut masih dalam tahap penyidikan di Mabes Polri. “Kejaksaan Agung hanya me­nunggu penyelesaian berkas perkara oleh Polri,” katanya.

Sementara itu, mengenai ke­mungkinan Dewi menjadi ter­sangka lain kasus ini, Elza Sya­rief kembali membela kliennya. Elza bertanya, dasar penetapan status tersangka terhadap Dewi itu apa. Justru, dia mengklaim, pada kasus ini kliennya dalam posisi sebagai korban.

Apalagi, Elza menambahkan, kliennya selama ini sudah ber­usa­ha optimal mematuhi rangkaian hu­kum penuntasan perkara ter­sebut. “Kami sudah sampaikan semua data yang diperlukan penyidik. Kami siap memberi keterangan setiap diperlukan penyidik,” ujarnya.

Hingga kemarin, Bareskrim Mabes Polri baru menetapkan juru panggil MK Masyhuri Hasan sebagai satu-satunya tersangka kasus ini. Sedangkan sederet na­ma ngetop lainnya masih ber­status saksi.

Ayo Tebak, Siapa Yang Ngibul...

Surat palsu putusan Mah­ka­mah Konstitusi (MK) mengenai sebuah kursi DPR dari Daerah Pe­milihan Sulawesi Selatan I yang kini menyeret Dewi Yasin Limpo sebagai saksi, berdasarkan in­vestigasi Mahkamah Konstitusi (MK), diduga dibuat di kediaman hakim MK Arsyad Sanusi. De­mikian keterangan Sekjen MK Djanedjri M Gaffar di hadapan Panja Mafia Pemilu DPR pada Selasa (21/6).

Menurut Djanedri, pada 16 Agustus 2009, sekitar pukul 12.00 WIB, Panitera MK Zaenal Arifin Hoesein ditelepon Arsyad. Saat itu, kata Djaned, Arsyad menanyakan, apakah putusan itu adalah penambahan suara atau tidak. Panitera menjawab Arsyad, putusan itu bukan penambahan.

Lalu, menurut Djaned, Arsyad mengatakan bahwa ada caleg dari Dapil Sulsel I bernama Dewi Yasin Limpo bermaksud mene­mui Panitera MK, namun Zainal me­nolak dengan alasan, kalau mau bertemu di kantor saja. Tapi, se­kitar pukul 20.00 WIB, Pa­nitera MK itu kedatangan tamu, yakni Dewi Yasin Limpo. Caleg Hanura ini datang ke perumahan pegawai dan karyawan MK di Bekasi, Jawa Barat. Dewi pun meminta tolong agar surat ja­waban panitera ada kata pe­nam­bahan. Permintaan itu, kata­nya, ditolak panitera MK.

Kemudian, lanjut Djaned, pada 17 Agustus 2009, pukul 14.00 WIB, Masyhuri bertemu Ketua MK Mahfud Md selama 15 sam­pai 20 menit. Saat itu, Masyhuri berkonsultasi kepada Mahfud perihal surat jawaban putusan. Mahfud pun menjelaskan, surat jawaban harus berdasarkan amar putusan MK, yang harus dikirim ke anggota KPU Andi Nurpati. Surat tersebut kemudian dibawa Masyhuri ke KPU.

Saat itu, Masyhuri ditemani staf MK lainnya, Nalom. Di KPU, mereka bertemu Dewi Yasin Limpo yang juga sudah ber­ada di KPU. Lalu Dewi me­nelepon seseorang dengan bahasa daerah. “Saat itu Nalom tak memahaminya. Ternyata, yang bicara adalah Nesha, putri Pak Arsyad. Nesha meminta Dewi membaca isi surat itu. Lalu, surat itu diserahkan ke Dewi, karena menurut Nesha, itu perintah Pak Arsyad,” cerita Djaned.

Berdasarkan keterangan Sek­jen MK itu, Dewi diduga ber­pe­ran aktif dalam kasus ini. Na­mun, menurut pengacara Dewi, Elza Syarief, kliennya justru korban. Soalnya, bela Elza, perolehan suara kliennya malah jadi melorot.

Kemarin, menurut Elza, selain menjadi saksi kasus surat palsu putusan MK, Dewi juga dimintai kesaksian dalam kapasitas sebagai pelapor atas laporan yang disampaikannya ke Bareskrim pada 9 November 2009. Hal itu disampaikan Elza menanggapi sumber di  lingkungan Direktorat I Bareskrim, bahwa Dewi juga dimintai keterangan seputar la­porannya tersebut.

“Ia kecewa ka­rena merasa di­curangi KPU. Da­sar laporan De­wi dipi­cu perolehan suaranya di KPU yang menyusut,” kata sum­ber itu.

Dewi melaporkan KPU, terkait pembatalan dirinya sebagai anggota DPR. “Saya sangat ke­cewa, karena satu surat KPU bisa membatalkan surat MK yang ka­tanya sangat mengikat,” ujarnya.

Padahal, lanjut Dewi, dirinya me­menangi gugatan sengketa pemilu di MK. Dia mengklaim, meski MK mengabulkan gugat­annya, tapi perolehan sua­ranya justru menyusut. “Sangat mem­bingungkan. Gugatan saya dika­bulkan, tapi suara saya berkurang 1.677. Ini menjadi misteri sampai se­karang,” kata Dewi di hadapan Panja Mafia Pemilu DPR,  7 Juli 2011.

 Dewi pun mengaku melapor ke polisi tanggal 9 November 2009. “Laporan saya itu jauh se­belum MK melapor. Saya bukan melaporkan MK, tapi KPU,” katanya.

Catatan Penting Untuk Segera Dituntaskan
Azis Syamsuddin, Komisi III DPR

Penanganan perkara du­ga­an surat putusan palsu Mah­kamah Konstitusi (MK) men­jadi perhatian khusus Komisi III DPR.

Soalnya, menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin, setelah sekian lama ditangani kepolisian, tersangka kasus ini tetap saja satu orang. Tersangka itu pun hanya sekelas juru panggil MK, Masyhuri Hasan. “Kasus ini masuk dalam pantauan kami di Komisi III DPR,” ujarnya.

Menurut Azis, penuntasan kasus tersebut sangat penting. Soalnya, selain menyangkut per­kara hukum, kasus tersebut juga menyangkut persoalan po­litik. “Ada kepentingan po­litik yang bersinggungan dengan masalah hukum di sini. Ini menjadi catatan penting untuk segera dituntaskan,” ucap po­litikus Partai Golkar ini.

Dia pun mengingatkan kepo­lisian agar penuntasan kasus ter­sebut tidak berlarut-larut. Soal­nya, efek dari perkara yang ti­dak kunjung tuntas bisa di­man­faatkan pihak tertentu untuk mendiskreditkan pihak lainnya. Dia menyatakan, berlarutnya per­kara juga memicu mun­cul­nya mafia perkara. “Ini yang ha­rusnya dihindarkan sejak dini,” tandasnya.

Azis pun meminta Panja Ma­fia Pemilu untuk tetap fokus menuntaskan perkara tersebut. Pasalnya, menurut dia, penun­tasan kasus ini dari segi politis sa­ngat ditentukan DPR. “Kre­dibilitas DPR sebagai pengawal demokrasi pun akan ditentukan dari keberhasilan menyingkap perkara ini dari segi politis,” tegasnya.

Menurut Kadivhumas Polri Anton Bahrul Alam, sejauh ini sudah 27 saksi kasus ini yang diperiksa. Pemeriksaan fokus pada kelompok pemalsu dan kelompok yang menyuruh memalsukan surat. Dia tidak menyangkal bahwa para saksi kasus ini adalah sejumlah staf MK dan KPU.

Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim ke Kejaksaan Agung oleh Polri disebutkan, ter­sangka kasus ini adalah Ma­syhuri Hasan dan kawan-ka­wan.  Namun, siapa yang di­maksud “dan kawan-kawan” itu, sampai kemarin masih mis­terius. Anton maupun sumber-sumber di kepolisian, masih tu­tup mulut mengenai hal ini.

Mana Janji Polisi Tetapkan Tersangka Baru
Fadli Nasution, Sekjen PMHI

Pengusutan kasus surat putusan palsu Mahkamah Kon­stitusi (MK) hendaknya disele­saikan secara cepat. Ke­polisian tidak boleh janji-janji terus akan menentukan tersangka baru kasus tersebut. Demikian pen­dapat Sekjen Perhimpunan Ma­gister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution.

“Baru ada satu tersangka saja kan? Mana janji-janji kepoli­sian yang akan menentukan ter­sangka baru kasus ini setelah Masyhuri Hasan?” tanya Fadli, kemarin.

Fadli menilai, belum adanya pe­netapan tersangka baru akan me­lemahkan Bareskrim Polri yang dipimpin komandan baru­nya, Irjen Sutarman. Apalagi, sambungnya, kesaksian para saksi maupun bukti-bukti da­lam perkara ini sudah ada di tangan kepolisian.

Dia menegaskan, kejelasan status hukum atas sederet nama yang terkait kasus ini, akan meng­hilangkan penilaian ma­sya­rakat tentang adanya in­tervensi kepada kepolisian. “Ke­jelasan status ini juga akan menghilangkan penafsiran bah­wa satu kursi DPR yang di­perebutkan itu, sebagai kursi panas,” tandasnya.

Dari segi hukum, tuturnya, penyelesaian kasus ini akan menunjukkan bahwa kepolisian memiliki komitmen dalam menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan masalah politik.

“Kita berharap indepen­densi kepolisian mengusut kasus ini dikedepankan. Apa­pun kon­sekwensinya, hukum ha­rus berada pada garda terde­pan,” imbuhnya.

Menurut Kepala Divisi Hu­mas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, untuk menuntaskan ka­sus ini, kepolisian masih perlu mengorek keterangan sejumlah pihak. Soalnya, dalam penyi­dikan kasus ini, penyidik mene­mukan banyak kejanggalan seperti keterangan yang saling ber­tentangan satu sama lain. “Masih ada keterangan yang saling bertentangan. Kami kros cek satu persatu,” tandasnya.

Namun, dia mengaku belum tahu kapan agenda Bares­krim akan mengkonfrontir De­wi dengan saksi-saksi lain atau tersangka kasus ini.

“Pasti akan dilaksanakan,” ujar bekas Ke­pala Polda Jawa Timur ini.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA