Suara Hati untuk Marzuki Alie

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 02 Agustus 2011, 13:02 WIB
RMOL. Andai saja Komisi Pemberantasan Korupsi mau bekerja serius dan mempertahankan kredibilitasnya menjalankan sepenuh hati UU 30/2002 yang demikian powerfull itu, sudah pasti Marzuki Alie sudah turun dari kursi dari Ketua DPR hari ini juga.

Namun, sampai hari ini pernyataan kontroversial Marzuki Alie tentang pembubaran KPK dan pemaafan koruptor dengan catatan tertentu, masih menjadi perdebatan hangat karena tidak 100 persen apa yang dikatakan putra Palembang itu ditolak publik. Karena apa? Satu, karena catatan yang melengkapinya membuat saran Marzuki bukan cuma omong kosong. Kedua, prestasi KPK sendiri.

Pertama, pembubaran KPK yang diutarakan Marzuki tidak berdiri sendiri. Awalnya, dia menyatakan, bila memang betul pengakuan tersangka korupsi Muhammad Nazaruddin soal pertemuan antara dirinya dengan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja, dan jurubicara KPK Johan Budi, yang diduga untuk membicarakan sebuah kasus, hal itu sungguh memprihatinkan. Menurutnya, pribadi pimpinan itu membawa lembaga. Kalau mayoritas anggotanya melanggar etika, tinggal publik berpikir masih adakah orang lain yang mampu menegakkan hukum di KPK.

Melihat fakta yang ada saat ini, Marzuki Alie kemudian mengusulkan satu gagasan besar. Dia menilai, KPK lebih baik dibubarkan saja kalau Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang saat ini bekerja gagal menemukan calon yang  berintegitas.

Kedua, tentang pemaafan koruptor. Menurutnya, daripada uang negara yang dicuri koruptor bebas beredar di luar negeri, lebih baik uang koruptor dibawa kembali masuk ke dalam negeri. Para koruptor bisa dimaafkan dan tidak dijatuhi hukuman dengan syarat tidak boleh mengulangi. Selain itu, Marzuki juga mengusulkan agar setiap transaksi yang dilakukan pejabat maupun masyarakat harus dilakukan secara perbankan. Transaksi, di atas Rp 1 juta harus dilakukan secara transfer dan tidak secara tunai. Usul Marzuki lainnya dalam rangka memberantas korupsi adalah menyiapkan RUU pembuktian terbalik.

"Saling maaf memaafkan seluruh bangsa Indonesia. Hukuman mati berikutnya kalau ada yang korupsi. Semua uang yang masuk dikenakan saja pajak. Tuhan saja memaafkan masa kita tidak memaafkannya. Kita introspeksi diri," demikian Marzuki, Jumat (29/7).

Mungkin saja kalimat saling memaafkan di antara anak bangsa ini adalah sangat lumrah, tapi tidak jadi lumrah kalau itu membawa unsur koruptor yang jadi biang kemiskinan bangsa. Tidak terkecuali di bulan Ramadhan yang penuh maaf ini.

Sudahlah, kita lupakan kata "memaafkan" itu dan kembali ke ide besar Marzuki.

KPK tidak memenuhi harapan publik itu sudah benar. Jawaban lembaga superbody ini atas gugatan masyarakat agar mereka menuntaskan kasus-kasus mega korupsi yang menginjak rasa keadilan publik, masih saja sama. "Kami masih mendalami" atau, "masih dalam perkembangan". Selalu, itu-itu saja.

Ada kasus-kasus besar yang diharapkan rakyat segera diselesaikan sampai ke akarnya oleh KPK. Bukan saja karena uang yang terkandung di dalamnya bernilai sangat besar hingga bisa disebut mega-skandal, tapi karena menginjak rasa keadilan ketika maling-maling kecil lebih mudah masuk penjara daripada perampok kakap uang negara.

Ada kasus suap bertepatan jelang pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Gultom pada 2004 yang sudah menjebloskan para anggota Dewan periode 1999-2004 (yang menerima suap) ke penjara. Namun bagaimana dengan orang yang bernama Nunun Nurbaeti? Nunun Nurbaeti Daradjatun yang tak lain adalah istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun. ditetapkan sebagai tersangka perantara aliran gratifikasi ke DPR.

Hingga kini, KPK belum mampu melacak dimana Nunun berada, walau KPK pernah akui bahwa Nunun lagi sakit di Singapura. Bantuan polisi internasional sudah dikerahkan. Tapi tanggung jawab KPK untuk menghadirkan Nunun tidak dirasakan publik, lebih-lebih para terpidana yang sudah merasakan dingin bui. Yang disuap masuk penjara, tapi yang menyuap masih bebas berkeliaran. Ya, Miranda Goeltom juga masih berstatus saksi.

Apalagi, kasus bailout Rp 6,7 triliun Bank Century. Hasil penyelidikan Pansus Bank Century di DPR, dan laporan Badan Pemeriksa Keuangan, lalu hasil koordinasi dengan kepolisian telah menetapkan skandal Century masuk tahap penyidikan serta menjebloskan tersangka Robert Tantular ke penjara.

Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan DPR, Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) yang diberikan untuk Bank Century melanggar aturan hukum dan perundangan. Ada dugaan pemaksaan agar Bank Century dibailout dan ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), malam hari 20 November 2008.  Sementara KPK, seperti biasa, masih terus mendalami. KPK masih terlihat ragu-ragu. Dua nama aktor utama yang dicap bersalah oleh DPR, Sri Mulyani (mantan Menkeu) dan Boediono (mantan Gubernur BI) masih memegang jabatan strategis di dalam dan luar negeri.

KPK juga kelihatan sungkan ketika kasus korupsi mengena pada petinggi partai penguasa. Misalnya, kasus suap terhadap anggota DPR dalam proyek pembangunan sarana transportasi kawasan Timur Indonesia pada 2009. Di samping sudah ada terpidananya, tapi ada nama yang tersisa, yaitu Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen, yang sangat kuat diduga menerima suap sekitar Rp 1 miliar dari pengusaha Hontjo Kurniawan. Pengakuan bekas ajudannya, yang sempat buron, Risco Pesiwarisa, bahwa Jhonny Allen ikut terima duit tak membuat KPK tergerak untuk setidaknya memanggil politisi asal Sumatera Utara itu.

Mengapa hingga kini Marzuki Alie masih sekadar menuai cibiran bukan gerakan pemakzulan dari kursi Ketua DPR?

Karena KPK dianggap belum menjalankan tugasnya dengan profesional dan independen. Sebagai lembaga ad hoc (sementara), sesuai UU 30/2002, tugas KPK adalah menangani kasus-kasus besar korupsi yang tidak disentuh Kejaksaan dan Kepolisian. Selain itu, KPK wajib melakukan koordinasi dan supervisi terhadap dua lembaga penegak hukum itu. Tapi koordinasi dan supervisi ini juga belum dijalankan dengan baik.

Belum lagi kabar terbaru dari mulut buronan KPK, Muhammad Nazaruddin, yang menyerang balik. Tiga pejabat KPK, Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, Jubir KPK Johan Budi dan Deputi Penindakan KPK, Ade Rahardja terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, melakukan kompromi dengan pihak yang terlibat kasus hukum, dan  rekayasa kasus suap pembangunan Wisma Atlet. Syukurlah, Pansel Calon Pimpinan KPK menggagalkan ketiganya berjuang di bursa calon pimpinan periode 2011-2015.

Seandainya saja, ide besar yang ada di kepala Marzuki itu tidak langsung dimuntahkannnya ke ruang publik yang sejatinya tidak asing dengan Marzuki Alie dan segala latar belakangnya. Marzuki Alie melekat dengan jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Demokrat yang sedang diguncang gempa politik akibat dugaan memakan APBN untuk kepentingan Kongres. Demokrat juga yang ketua umumnya dituduh korup dan nyaris terjungkal dalam rakornas dua pekan lalu karena dianggap gagal menertibkan kadernya sehingga timbul pertikaian internal.

Marzuki Alie adalah salah satu di antara banyak kader Demokrat yang terlibat dalam kasus korupsi. Pada Agustus 2004, Marzuki Alie ditetapkan sebagai tersangka oleh Kajati Palembang karena diduga korupsi dalam proyek optimalisasi pabrik semen PT Semen Baturaja pada tahun 1997-2001. Marzuki Ali menjabat sebagai Direktur Komersial di BUMN itu. Kasusnya telah dihentikan oleh Kejaksaan Agung dengan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) pada 2009.

Marzuki Alie juga yang ditemui Muhammad Nazaruddin beberapa saat sebelum dia kabur ke Singapura dan sehari sebelum eks Bendum Demokrat itu dicegah keluar negeri oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Dia adalah orang yang menyatakan, "siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai", saat hampir 500 orang di Mentawai, Sumatera Barat tewas akibat tsunami.

Marzuki Alie-lah yang melontarkan pernyataan kontroversial terkait pembangunan Gedung DPR. Ucapan Marzuki untuk merespons wacana penggunaan metode survei untuk mengetahui aspirasi rakyat tentang rencana pembangunan bernilai trilunan rupiah menuai kecaman. Saat itu, kata Marzuki, cuma orang-orang yang elite yang paham dan bisa membahas soal rencana pembangunan gedung baru DPR. Rakyat biasa tidak perlu memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastrukur karena rakyat bisa pusing pikirannya.

Penjabaran di atas setidaknya menjawab pertanyaan mengapa Marzuki Alie masih Ketua DPR dan Wakil Ketua Dewan Pembina di Partai Demokrat. Mengapa Marzuki Alie setidaknya masih aman pergi kemanapun dia mau tanpa demonstrasi besar-besaran yang menyambutnya.

Marzuki Alie tidak lepas dari kesalahan-kesalahan yang fatal. Tapi ide besar tentang pembubaran KPK dan pemaafan koruptor "dengan catatan", masih menjadi pertimbangan cermat di sudut akal sehat.

Mungkin saja, entah di mana di Tanah Air ini, ada segelintir individu-individu berakal sehat yang dengan malu-malu bergumam dalam hatinya mengamini gagasan Marzuki. Dan pasti ada, sekelompok politisi munafik yang demi citra di mata rakyat menghakimi habis-habisan Marzuki, tapi dalam hatinya terus menerus memimpikan KPK lenyap dari bumi Indonesia.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA