Hukuman itu lebih berat tiga taÂhun dari putusan majelis banÂding Pengadilan Tinggi DKI JaÂkarta yang hanya 10 tahun penÂjara. Tidak hanya itu, bekas peÂgaÂwai Ditjen Pajak ini harus memÂÂbayar denda Rp 500 juta. “MaÂÂjelis Kasasi Mahkamah Agung memperberat hukumÂanÂnya menjadi 12 tahun pidana penÂjara,†kata Khrisna Harahap, salah satu anggota majelis hakim kasasi perkara Gayus di MA.
Menanggapi putusan itu, peÂngaÂcara Gayus, Hotma Sitompoel menyatakan, kliennya tidak akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Soalnya,
Gayus merasa selalu menjadi pihak yang dikorbankan dan diruÂgikan di meja hijau. Selain itu, pihak Gayus harus menemukan bukÂti-bukti baru. “Percuma meÂngajukan PK kalau pada akhirnya kami selalu salah dan malah memÂperberat hukuman,†kata HotÂma ketika dihubungi pada Jumat lalu (29/7).
Menurut Hotma, majelis hakim kasasi ini tidak melihat perkara kliennya dengan objektif. PaÂdaÂhal, lanjutnya, Gayus sangat berÂharap majelis kasasi membuka seÂdikit harapan untuk menÂdaÂpatÂkan keringanan hukuman. SoalÂnya, Gayus sudah mengaku berÂsalah dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas perÂbuatÂannya itu. “Tapi, yang ada justru klien kami malah diperberat,†ucapnya.
Hotma juga menyangkan MaÂbes Polri yang hingga kini belum meÂnemukan big fish kasus terÂsebut di Ditjen Pajak. Padahal, kataÂnya, peluang untuk meneÂmuÂkan big fish di Ditjen Pajak saÂngat terbuka lebar.
“Gayus perÂnah mengÂisyaÂratkan di PengaÂdilan Negeri JaÂkarta Selatan, bahwa ada keÂterlibatan pejabat tinggi pajak lainnya,†katanya.
Selain mengkritisi hakim dan Mabes Polri, Hotma juga menilai, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) tanpa memuat bukti-bukti yang akurat. Menurut dia, perÂnyaÂtaan jaksa bahwa Gayus meÂneÂrima uang dari Alif Kuncoro pada saat menangani PT Bumi ReÂsources, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin adalah tidak benar.
Namun, majelis hakim punya pertimbangan lain. Mereka meÂnilai, pajak adalah sumber peÂmaÂsukan negara terbesar. Sehingga, seÂbaiknya intensifikasi dan exÂtenÂsifikasi perpajakan harus seÂlalu dilakukan. Karena itu, gangÂguan terhadap pemasukan pajak akan mempengaruhi pemÂbaÂngunÂan yang ujungnya memiskinkan rakÂyat. “Apalagi rakyat yang suÂdah melarat,†ujar hakim Krishna.
Gayus sebagai pegawai pajak, kata dia, adalah tipe pegawai yang tak hanya menjadi benalu. Terlebih, Gayus yang seharusnya menÂjadi pelayan masyarakat jusÂtru secara rakus menggerogoti uang rakyat yang sudah melarat. “Tak ada rasa penyesalan,†kata dia.
Bahkan, Khrisna mengÂingatÂkan, Gayus justru melakukan keÂjahatan-kejahatan lain seÂmentara perkaranya sedang berÂproses di pengadilan. Seperti meÂnyuap Kepala Rutan dan sipir di Rumah TaÂhanan Markas KoÂmanÂdo BriÂgade Mobil Kelapa Dua, Depok. Dengan suap itu, Gayus bisa keÂluar tahanan dan plesiran ke Bali dan ke luar negeri.
Selain Khrisna, hakim yang meÂnangani perkara tersebut adaÂlah Artidjo Alkostar dan Syamsul ChaÂniago. Majelis hakim menÂdaÂpatkan tiga poin untuk memvonis Gayus dengan 12 tahun penjara. PerÂtama, tentang keberatan pajak yang diajukan PT Surya Alam Tunggal. Lalu tentang dakwaan memberi atau menjanjikan seÂsuaÂtu kepada pegawai negeri atau peÂnyelenggara negara, yakni keÂpada Ketua Pengadilan Negeri TaÂngerang Muhtadi Asnun seÂbesar 30 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar AS kepada hakim anggota. KeÂmudian, perkara ketiga yang diperiksa adalah dakwaan suap kepada anggota Polri Komisaris Polisi Arafat Enanie dan Sri Sumartini sebesar 2.500 dolar AS dan 3.500 dolar AS.
Sementara itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar meÂnyaÂtakan, sidang kode etik kepolisian untuk bekas Kepala Rumah TaÂhanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kompol Iwan Siswanto dan delapan anak buahÂnya belum digelar karena Polri masih menunggu proses banding yang diajukan Iwan. Sebelumnya, Iwan divonis empat tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat. Menurut majelis haÂkim, Iwan menerima suap dari Gayus, sehingga Gayus bisa plesiran ke luar negeri dan ke Bali.
Reka Ulang
“Kenyataannya, Saya Dijuluki Mafiaâ€
Gayus Tambunan mengaku biÂngung, karena banyak orang menÂcap dia seperti penjahat noÂmor satu di Indonesia. Sehingga, hukumannya terus bertambah baÂnyak. “Padahal, apa yang dituÂduhkan tidak semua benar,†kaÂtanya membela diri pada Senin lalu (25/7).
Gayus menyatakan kecewa pada putusan pengadilan. Di PeÂngaÂdilan Negeri Jakarta Selatan, dia dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Gayus menÂceritakan, dia didakwa atas empat dakwaan. Dua dakwaan terÂhadapnya, yakni keputusan meÂngabulkan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT), dan meÂnyuap hakim Muhtadi Asnun, Ketua Pengadilan Negeri TaÂngeÂrang. Namun, Asnun yang meÂnerima suap dan membebaskan GaÂyus hanya divonis dua tahun penjara.
Dalam kasus PT SAT, Gayus menyatakan, keberatan wajib pajak diterima karena wajib pajak daÂpat membuktikan kebeÂratÂanÂnya. Sementara dakwaan suap terhadap hakim Asnun, menurut GaÂyus, itu terjadi karena hakim AsÂnun yang aktif menghubungi dan meminta uang kepada diriÂnya. “Kedua dakwaan bermula dari cerita saya kepada Bareskrim unÂtuk bisa menjerat Bambang Heru dan Maruli Manurung serta haÂkim PN Tangerang, saya diÂjanjikan jadi saksi saja, keÂnyaÂtaannya saya dijuluki mafia,†ujarÂnya.
Lantaran itu, Gayus bertekad akan terus melakukan pembelaan diri. “Saya punya tiga anak dan istri yang saya cintai. Mengapa terhadap saya yang tidak mengerÂti hukum harus dihukum 10 tahun penjara? Anggota DPR yang meÂngerti hukum malah di bawah satu tahun penjara,†katanya.
Akan tetapi, menurut pengaÂcaÂranya, Hotma Sitompoel, Gayus tidak ingin mengajukan peninÂjauan kembali (PK) karena meÂrasa selalu dikorbankan dalam persidangan. Hal tersebut diÂlonÂtarkan Hotma setelah melihat puÂtusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memperberat huÂkuman Gayus menjadi 12 taÂhun penjara. Sebelumnya, Gayus yang mengajukan banding, diÂjatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan TingÂgi DKI Jakarta. Hukuman GaÂyus di Pengadilan Negeri JaÂkarÂta Selatan adalah tujuh tahun penjara.
Berharap Polisi Bisa Bongkar Mafia Pajak
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir meminta GaÂyus Tambunan tetap memÂbongÂkar kasus kejahatan perpajakan yang diduga merugikan negara miliaran rupiah. Pasalnya, NuÂdirman menduga banyak keÂjaÂhatan perpajakan yang terjadi di Ditjen Pajak dan melibatkan oknum pejabat tingginya.
“Saya harap polisi bisa memÂbongkar mafia pajak ini. Jangan hanya diam saja, pajak adalah sumber pendapatan neÂgara yang paling besar,†kataÂnya.
Ketika Panja Mafia Hukum dan Pajak mengundang Gayus di DPR, Nudirman menyatakan siap berada di belakang Gayus apaÂbila mau membongkar seÂpenuhnya jaringan mafia pajak di Ditjen Pajak. “Kita minta perÂlindungan LPSK untuk keÂselamatan Gayus, semua pihak harus melindungi, asalkan GaÂyus mau bongkar semuanya,†ujarÂnya.
Alhasil, Wakil Ketua Badan KeÂhormatan DPR ini pun meÂnegaskan supaya revisi UnÂdang-Undang Lembaga PerÂlinÂdungan Saksi Korban, TerÂsangÂka, Terdakwa dan Terpidana seÂgera direalisasikan. MenuÂrutÂnya, Percepatan revisi ini harus diÂlakukan mengingat baÂnyakÂnya tersangka, terdakwa dan terpidana yang seharusnya bisa memberikan informasi meÂngeÂnai berbagai praktik kejahatan, namun tidak bisa karena status meÂreka yang telah menjadi terÂsangka, terdakwa dan terpidana.
“Orang-orang seperti Gayus TamÂbunan, Nazaruddin dan seÂbagainya itu memiliki banyak informasi yang bisa digali apaÂrat penegak hukum. Namun hal itu tidak bisa dilakukan karena staÂtusnya sudah menjadi terÂsangÂka atau terdakwa,†ucapÂnya.
Politisi Golkar ini mengakui, informasi yang disampaikan tersangka kasus korupsi seperti Nazaruddin dan Gayus memang belum bisa dipastikan benar atau salahnya. Tapi, katanya, memÂberikan informasi itu meÂruÂpakan suatu hal yang sangat penting bagi penegakan hukum di Tanah Air.
“Saya memiliki simpati yang besar pada mereka yang berani menjadi whistle bloÂwer. Hal ini menurut saya penÂting karena dari mereka, kita bisa tahu ada indikasi berbagai ketidakÂbeÂresan,†tegasnya.
Kasus Gayus Belum Digali Sepenuhnya
Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum
Pengamat hukum dari UniÂversitas Trisakti, Asep Iwan IriaÂwan berpendapat, kejelian aparat penegak hukum dalam perkara Gayus Tambunan merupakan pintu masuk untuk mengetahui keterlibatan oknum lainnya dalam tindak kejahatan perpajakan itu.
“Saya rasa mandeknya perÂkara pajak ini karena aparat peÂnegak hukum di Tanah Air beÂlum sepenuhnya menggali dan mendalami fakta-fakta yang ada. Karena itu, wajar bila perÂkara ini hanya sampai di Gayus tanpa menjerat oknum lain,†katanya.
Contohnya, kata dia, masih beÂlum tuntasnya kasus keÂpeÂmilikan duit Gayus sebesar Rp 74 miliar. Menurutnya, ada piÂhak-pihak tertentu yang sudah berÂbuat sedemikian rupa suÂpaya kasus itu berhenti hanya sampai pada Gayus. “Nah, di sinilah diperlukan kejelian peÂnyidik untuk membongkar perÂkara ini. Itu pun jika mereka terÂÂtarik untuk mendalami perÂkara tersebut,†tandasnya.
Padahal, katanya, di balik uang Gayus sebesar Rp 74 miÂliar itu sangat mungkin ada keÂterÂlibatan oknum lain. “Perkara ini kan dugaan penyuapan. Ada yang menyuap dan disuap. KeÂnapa hingga kini belum ada tersangka lain dari sisi pemberi suapnya,†ucapnya.
Karena itu, Asep menilai bahÂwa kasus ini ada yang memÂback-upnya dengan menjadikan GaÂyus sebagai tumbal dan meÂnuÂtupi big fish pada peristiwa ini. Padahal, dia sangat yakin bahÂwa perkara ini tidak meliÂbatÂkan satu orang saja. “Alangkah anehnya jika perkara ini tak menÂjerat tersangka lainnya yang ikut terlibat,†katanya. [rm]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: