Gayus Cs Persoalkan Big Fish Kasus Pajak

Pasca Putusan 12 Tahun Penjara Dari Majelis Kasasi

Minggu, 31 Juli 2011, 05:46 WIB
Gayus Cs Persoalkan Big Fish Kasus Pajak
Gayus Tambunan
RMOL.Pasca hukumannya diperberat majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) menjadi 12 tahun penjara, Gayus Tambunan sama sekali tidak berniat untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).

Hukuman itu lebih berat tiga ta­hun dari putusan majelis ban­ding Pengadilan Tinggi DKI Ja­karta yang hanya 10 tahun pen­jara. Tidak hanya itu, bekas pe­ga­wai Ditjen Pajak ini harus mem­­bayar denda Rp 500 juta. “Ma­­jelis Kasasi Mahkamah Agung memperberat hukum­an­nya menjadi 12 tahun pidana pen­jara,” kata Khrisna Harahap, salah satu anggota majelis hakim kasasi perkara Gayus di MA.

Menanggapi putusan itu, pe­nga­cara Gayus, Hotma Sitompoel menyatakan, kliennya tidak akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Soalnya,

Gayus merasa selalu menjadi pihak yang dikorbankan dan diru­gikan di meja hijau. Selain itu, pihak Gayus harus menemukan buk­ti-bukti baru. “Percuma me­ngajukan PK kalau pada akhirnya kami selalu salah dan malah mem­perberat hukuman,” kata Hot­ma ketika dihubungi pada Jumat lalu (29/7).

Menurut Hotma, majelis hakim kasasi ini tidak melihat perkara kliennya dengan objektif. Pa­da­hal, lanjutnya, Gayus sangat ber­harap majelis kasasi membuka se­dikit harapan untuk men­da­pat­kan keringanan hukuman. Soal­nya, Gayus sudah mengaku ber­salah dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas per­buat­annya itu. “Tapi, yang ada justru klien kami malah diperberat,” ucapnya.

Hotma juga menyangkan Ma­bes Polri yang hingga kini belum me­nemukan big fish kasus ter­sebut di Ditjen Pajak. Padahal, kata­nya, peluang untuk mene­mu­kan big fish di Ditjen Pajak sa­ngat terbuka lebar.

“Gayus per­nah meng­isya­ratkan di Penga­dilan Negeri Ja­karta Selatan, bahwa ada ke­terlibatan pejabat tinggi pajak lainnya,” katanya.

Selain mengkritisi hakim dan Mabes Polri, Hotma juga menilai, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) tanpa memuat bukti-bukti yang akurat.  Menurut dia, per­nya­taan jaksa bahwa Gayus me­ne­rima uang dari Alif Kuncoro pada saat menangani PT Bumi Re­sources, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin adalah tidak benar.

Namun, majelis hakim punya pertimbangan lain. Mereka me­nilai, pajak adalah sumber pe­ma­sukan negara terbesar. Sehingga, se­baiknya intensifikasi dan ex­ten­sifikasi perpajakan harus se­lalu dilakukan. Karena itu, gang­guan terhadap pemasukan pajak akan mempengaruhi pem­ba­ngun­an yang ujungnya memiskinkan rak­yat. “Apalagi rakyat yang su­dah melarat,” ujar hakim Krishna.

Gayus sebagai pegawai pajak, kata dia, adalah tipe pegawai yang tak hanya menjadi benalu. Terlebih, Gayus yang seharusnya men­jadi pelayan masyarakat jus­tru secara rakus menggerogoti uang rakyat yang sudah melarat. “Tak ada rasa penyesalan,” kata dia.

Bahkan, Khrisna meng­ingat­kan, Gayus justru melakukan ke­jahatan-kejahatan lain se­mentara perkaranya sedang ber­proses di pengadilan. Seperti me­nyuap Kepala Rutan dan sipir di Rumah Ta­hanan Markas Ko­man­do Bri­gade Mobil Kelapa Dua, Depok. Dengan suap itu, Gayus bisa ke­luar tahanan dan plesiran ke Bali dan ke luar negeri.

Selain Khrisna, hakim yang me­nangani perkara tersebut ada­lah Artidjo Alkostar dan Syamsul Cha­niago. Majelis hakim men­da­patkan tiga poin untuk memvonis Gayus dengan 12 tahun penjara.  Per­tama, tentang keberatan pajak yang diajukan PT Surya Alam Tunggal. Lalu tentang dakwaan memberi atau menjanjikan se­sua­tu kepada pegawai negeri atau pe­nyelenggara negara, yakni ke­pada Ketua Pengadilan Negeri Ta­ngerang Muhtadi Asnun se­besar 30 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar AS kepada hakim anggota. Ke­mudian, perkara ketiga yang diperiksa adalah dakwaan suap kepada anggota Polri Komisaris Polisi Arafat Enanie dan Sri Sumartini sebesar 2.500 dolar AS dan 3.500 dolar AS.

Sementara itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar me­nya­takan, sidang kode etik kepolisian untuk bekas Kepala Rumah Ta­hanan Mako  Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kompol Iwan Siswanto dan delapan anak buah­nya belum digelar karena Polri masih menunggu proses banding yang diajukan Iwan. Sebelumnya, Iwan divonis empat tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat. Menurut majelis ha­kim, Iwan menerima suap dari Gayus, sehingga Gayus bisa plesiran ke luar negeri dan ke Bali.

Reka Ulang

“Kenyataannya, Saya Dijuluki Mafia”

Gayus Tambunan mengaku bi­ngung, karena banyak orang men­cap dia seperti penjahat no­mor satu di Indonesia. Sehingga, hukumannya terus bertambah ba­nyak. “Padahal, apa yang ditu­duhkan tidak semua benar,” ka­tanya membela diri pada Senin lalu (25/7).

Gayus menyatakan kecewa pada putusan pengadilan. Di Pe­nga­dilan Negeri Jakarta Selatan, dia dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Gayus men­ceritakan, dia didakwa atas empat dakwaan. Dua dakwaan ter­hadapnya, yakni keputusan me­ngabulkan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT), dan me­nyuap hakim Muhtadi Asnun, Ketua Pengadilan Negeri Ta­nge­rang. Namun, Asnun yang me­nerima suap dan membebaskan Ga­yus hanya divonis dua tahun penjara.

Dalam kasus PT SAT, Gayus menyatakan, keberatan wajib pajak diterima karena wajib pajak da­pat membuktikan kebe­rat­an­nya. Sementara dakwaan suap terhadap hakim Asnun, menurut Ga­yus, itu terjadi karena hakim As­nun yang aktif menghubungi dan meminta uang kepada diri­nya. “Kedua dakwaan bermula dari cerita saya kepada Bareskrim un­tuk bisa menjerat Bambang Heru dan Maruli Manurung serta ha­kim PN Tangerang, saya di­janjikan jadi saksi saja, ke­nya­taannya saya dijuluki mafia,” ujar­nya.

Lantaran itu, Gayus bertekad akan terus melakukan pembelaan diri. “Saya punya tiga anak dan istri yang saya cintai. Mengapa terhadap saya yang tidak menger­ti hukum harus dihukum 10 tahun penjara? Anggota DPR yang me­ngerti hukum malah di bawah satu tahun penjara,” katanya.

Akan tetapi, menurut penga­ca­ranya, Hotma Sitompoel, Gayus tidak ingin mengajukan penin­jauan kembali (PK) karena me­rasa selalu dikorbankan dalam persidangan. Hal tersebut di­lon­tarkan Hotma setelah melihat pu­tusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memperberat hu­kuman Gayus menjadi 12 ta­hun penjara. Sebelumnya, Gayus yang mengajukan banding, di­jatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Ting­gi DKI Jakarta. Hukuman Ga­yus di Pengadilan Negeri Ja­kar­ta Selatan adalah tujuh tahun penjara.

Berharap Polisi Bisa Bongkar Mafia Pajak

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir meminta Ga­yus Tambunan tetap mem­bong­kar kasus kejahatan perpajakan yang diduga merugikan negara miliaran rupiah. Pasalnya, Nu­dirman menduga banyak ke­ja­hatan perpajakan yang terjadi di Ditjen Pajak dan melibatkan oknum pejabat tingginya.

“Saya harap polisi bisa mem­bongkar mafia pajak ini. Jangan hanya diam saja, pajak adalah sumber pendapatan ne­gara yang paling besar,” kata­nya.

Ketika Panja Mafia Hukum dan Pajak mengundang Gayus di DPR, Nudirman menyatakan siap berada di belakang Gayus apa­bila mau membongkar se­penuhnya jaringan mafia pajak di Ditjen Pajak. “Kita minta per­lindungan LPSK untuk ke­selamatan Gayus, semua pihak harus melindungi, asalkan Ga­yus mau bongkar semuanya,” ujar­nya.

Alhasil, Wakil Ketua Badan Ke­hormatan DPR ini pun me­negaskan supaya revisi Un­dang-Undang Lembaga Per­lin­dungan Saksi Korban, Ter­sang­ka, Terdakwa dan Terpidana se­gera direalisasikan. Menu­rut­nya, Percepatan revisi ini harus di­lakukan mengingat ba­nyak­nya tersangka, terdakwa dan terpidana yang seharusnya bisa memberikan informasi me­nge­nai berbagai praktik kejahatan, namun tidak bisa karena status me­reka yang telah menjadi ter­sangka, terdakwa dan terpidana.

“Orang-orang seperti Gayus Tam­bunan, Nazaruddin dan se­bagainya itu memiliki banyak informasi yang bisa digali apa­rat penegak hukum. Namun hal itu tidak bisa dilakukan karena sta­tusnya sudah menjadi ter­sang­ka atau terdakwa,” ucap­nya.

Politisi Golkar ini mengakui, informasi yang disampaikan tersangka kasus korupsi seperti Nazaruddin dan Gayus memang belum bisa dipastikan benar atau salahnya. Tapi, katanya, mem­berikan informasi itu me­ru­pakan suatu hal yang sangat penting bagi penegakan hukum di Tanah Air.

“Saya memiliki simpati yang besar pada mereka yang berani menjadi whistle blo­wer. Hal ini menurut saya pen­ting karena dari mereka, kita bisa tahu ada indikasi berbagai ketidak­be­resan,” tegasnya.

Kasus Gayus Belum Digali Sepenuhnya

Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dari Uni­versitas Trisakti, Asep Iwan Iria­wan berpendapat, kejelian aparat penegak hukum dalam perkara Gayus Tambunan merupakan pintu masuk untuk mengetahui keterlibatan oknum lainnya dalam tindak kejahatan perpajakan itu.

“Saya rasa mandeknya per­kara pajak ini karena aparat pe­negak hukum di Tanah Air be­lum sepenuhnya menggali dan mendalami fakta-fakta yang ada. Karena itu, wajar bila per­kara ini hanya sampai di Gayus tanpa menjerat oknum lain,” katanya.

Contohnya, kata dia, masih be­lum tuntasnya kasus ke­pe­milikan duit Gayus sebesar Rp 74 miliar. Menurutnya, ada pi­hak-pihak tertentu yang sudah ber­buat sedemikian rupa su­paya kasus itu berhenti hanya sampai pada Gayus. “Nah, di sinilah diperlukan kejelian pe­nyidik untuk membongkar per­kara ini. Itu pun jika mereka ter­­tarik untuk mendalami per­kara tersebut,” tandasnya.   

Padahal, katanya, di balik uang Gayus sebesar Rp 74 mi­liar itu sangat mungkin ada ke­ter­libatan oknum lain. “Perkara ini kan dugaan penyuapan. Ada yang menyuap dan disuap. Ke­napa hingga kini belum ada tersangka lain dari sisi pemberi suapnya,” ucapnya.

Karena itu, Asep menilai bah­wa kasus ini ada yang mem­back-upnya dengan menjadikan Ga­yus sebagai tumbal dan me­nu­tupi big fish pada peristiwa ini. Padahal, dia sangat yakin bah­wa perkara ini tidak meli­bat­kan satu orang saja. “Alangkah anehnya jika perkara ini tak men­jerat tersangka lainnya yang ikut terlibat,” katanya. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA