Tiga Pejabat Daerah jadi Tersangka Korupsi

Hingga Awal Bulan Juli Tahun 2011

Rabu, 13 Juli 2011, 08:21 WIB
Tiga Pejabat Daerah jadi Tersangka Korupsi
RMOL. Hingga awal Juli 2010, sedikitnya tiga pejabat daerah diduga melakukan korupsi. Alhasil, mereka ditangkap aparat Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Siapa saja mereka?

Adalah Ketua DPRD Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Mu­ham­mad Syafri Chap (62 tahun) yang ditangkap tim gabungan intelijen Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Ne­geri Tebing Tinggi.

Menurut situs resmi Kejagung (kejak­saan.go.id) penangkapan Syafri dilakukan di kamar Hotel Sentral Nomor 1309 Lantai 13 yang bera­da di kawasan Jalan Pra­muka Ja­karta Pusat, pada sabtu (9/7) dinihari.

Hal itu dibenarkan Kepala Pusat Penerangan Hukum Keja­gung Noor Rochmad. Menu­rut­nya, Syafri ditangkap setelah tiba dari Bandara Soekarno-Hatta. Syafri, katanya, baru tiba dari Tebing Tinggi. “Sekarang yang bersangkutan sudah diterbangkan lagi ke Tebing Tinggi,” katanya.

Dalam situs Kejagung itu dise­butkan, penangkapan Syafri dila­ku­kan berdasarkan putusan Mah­kamah Agung Nomor 1213K/Pid.Sus/2009 tanggal 18 Agustus 2010. Syafri disangka melang gar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang 31 tahun 1999 juncto Pa­sal 55 ayat 1 ke-1, dengan an­ca­man hukuman satu tahun penjara, dan denda Rp 50 Juta.

Kini, setelah menyandang pre­dikat tersangka, Syafri men­da­pat­kan tiket menginap di hotel pro­deo Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Selanjutnya, ada Bupati K­o­laka Sulawesi Tenggara, Buhari Matta yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung pada Senin (11/7). Kapuspenkum Ke­ja­gung mengatakan, Buhari di­duga menyalahgunakan jaba­tan­nya dengan mengeluarkan Izin Kuasa Pertambangan (KP) dalam areal kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Lemo tanpa ada izin dari Menteri Kehutanan.

“Sejak Jumat kemarin, Bupati Kolaka berinisial BM ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi penjualan nikel,” katanya.

Untuk mempersempit ruang ge­rak Buhari, Kejagung akan men­cegahnya ke luar negeri. Me­nurut Kapuspenkum, pencegahan Buhari merupakan salah satu langkah lanjutan guna mem­per­lan­car penyidikan yang kini dila­ku­kan penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jam­pid­sus). “Semua instrumen yang ada dalam penyidikan akan dipakai, termasuk pencekalan,” katanya.

Selain Bupati, ada tersangka lain, yakni Manager Direktur PT Kolaka Mining Internasional, Atto Sakmiwata Sampetoding. “Jadi ada dua tersangka yang telah dite­tapkan oleh Kejagung, tapi pe­me­riksaan tersangka BM menunggu jadwal selanjutnya,” katanya.

Sementara itu, KPK menetap­kan Bupati Seluma, Bengkulu, Murman Effendi sebagai tersang­ka korupsi pada Senin (11/7). Ke­pa­la Humas KPK, Johan Budi Sap­to Prabowo menyatakan, Mur­­man ditetapkan sebagai ter­sangka lantaran diduga menyuap sejum­lah anggota DPRD Seluma guna meloloskan rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang pen­g­gu­na­an dana anggaran infrastruktur. “Kami menetapkannya sebagai ter­sangka dan ada dua alat bukti yang cukup kuat, tapi tak bisa di­be­ritahu kepada masyarakat,” katanya.

Menurut Johan, KPK masih me­ngembangkan perkara ter­se­but guna menelisik keterlibatan pihak lain dalam perkara tersebut. Selain itu, katanya, KPK telah me­­meriksa 19 anggota DPRD Se­luma Bengkulu untuk mem­per­jelas posisi kasus tersebut. KPK menduga ada sejumlah anggota DPRD Seluma yang menerima suap masing-masing Rp 100 juta da­­lam bentuk dua lembar cek. Ni­lai setiap lembar cek Rp 50 juta.   “Sampai hari ini baru satu ter­sang­kanya. Kami terus telusuri untuk dikembangkan,” katanya, kemarin.

Oleh KPK, Murman dijerat de­ngan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau Pasal (13) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 ten­tang Pemberantasan Tindak Pi­dana Korupsi. Artinya, Murman telah memberi atau menjanjikan sesuatu ke pihak lain untuk ber­buat atau tidak berbuat terhadap suatu hal.

Ada Lima Faktor Korupsi di Daerah
TB Soemandjaja, Anggota Komisi II DPR

Anggota Komisi II DPR TB Soemandjaja meminta lembaga penegak hukum tidak  merasa lelah memberantas praktik ko­rupsi yang melibatkan pejabat daerah. Soalnya, korupsi yang dilakukan di daerah, bisa jadi jum­lahnya lebih besar ketim­bang praktik korupsi yang di­lakukan di kota besar.

“Sebenarnya jika mau di­hitung secara matematis, angka korupsi di daerah lebih besar ketimbang di pusat. Di daerah sangat jarang terpantau secara langsung oleh lembaga pe­ne­gak hukum. Kalaupun ada, pa­ling sedikit,” katanya, kemarin.

Menurutnya, praktik korupsi yang menjerat pejabat daerah terjadi karena lima hal. Per­tama, katanya, pejabat daerah kurang mengerti aturan hukum. Kedua, lanjutnya, pejabat dae­rah ba­nyak yang berasal dari kalangan non birokratif. “Se­hingga, pe­nge­tahuan tentang mekanisme administrasi ang­garan daerah sa­ngat jauh ke­tinggalan dari anak buahnya atau para stafnya,” tandasnya.

Ketiga, menurut politisi PKS ini, tidak adanya lagi Mu­sya­warah Pimpinan Daerah (Mu­s­pida) pasca disahkannya Un­dang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal, katanya, de­ngan Muspida para pemimpin daerah dapat melakukan ko­mu­nikasi dengan pihak lembaga pe­negak hukum.

Keempat, kata Soemandjaja, para pejabat daerah kurang memahami pengertian korupsi da­lam arti luas. Maksudnya, para pejabat daerah hanya me­mahami korupsi sebagai tin­da­kan mengambil uang rakyat.

Kelima, menurut dia, boleh jadi pejabat daerah memahami semua aturan hukum dan per­undang-undangan, tetapi me­reka khilaf alias lupa diri. Se­hingga, katanya, mereka me­lakukan korupsi atas dasar hawa nafsunya.

Gara-gara Mau Balikin Modal
Suyanto Londrang, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dari Uni­versitas Krisnadwipayana, Su­yanto Londrang menilai, ma­rak­nya praktik korupsi yang men­jerat para pejabat daerah lebih dikarenakan faktor pil­kada yang menghabiskan mi­liaran rupiah. Sehingga, pejabat daerah yang terpilih lebih me­milih usaha ba­lik modal ketim­bang me­mi­kir­kan masa depan daerahnya.

“Tidak ada pilkada yang murah. Pasti biayanya miliaran. Sesudah mereka terpilih, me­re­ka melupakan aspirasi yang te­lah disampaikan ketika kam­pa­nye. Itu sudah hal yang lumrah saat ini,” katanya.

Meski begitu, Suyanto tak me­nyalahkan terselenggaranya pilkada. Dia hanya melihat bah­wa orang-orang yang mengkuti pilkada tidak mempunyai me­n­talitas tinggi untuk memajukan daerahnya.

“Calon pejabatnya ini yang ha­rus berbenah diri, bu­kan pil­kadanya. Kalau pela­k­sa­naan pil­kada sudah men­ce­r­min­kan si­kap demokratis,” tuturnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA