Beralasan Stroke, Satu Tersangka Tak Ditahan

Kasus Korupsi Buku Kemendiknas

Jumat, 08 Juli 2011, 04:43 WIB
Beralasan Stroke, Satu Tersangka Tak Ditahan
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
RMOL.Polda Metro Jaya menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan buku dengan anggaran negara Rp 2,99 miliar di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal merasa sa­ngat terpukul mendengar peris­tiw­a ini. Kendati begitu, dia me­minta Polda Metro Jaya untuk menangani kasus ini sampai tun­tas. “Kami menyerahkan sepe­nuh­nya proses hukum itu ke Pol­da Metro Jaya. Kalau terbukti ber­salah, silakan diproses secara hukum. Kami menghormati hukum dan menyesali peristiwa ini,” katanya ketika dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

Setelah perkara ini terungkap, Fasli menyatakan akan mem­per­baiki kondisi internal Kemen­dik­nas dan lebih berhati-hati me­ngadakan tender proyek. “Kami akan semakin memperketat pe­nga­wasan SDM di sini. Kami te­rus membenahi diri untuk menuju ke arah yang lebih baik,” tuturnya.

Lantas, bagaimana kasus ini terjadi? Menurut Kasubdit Tipi­kor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Ajie Indra D, ter­sang­ka Kasubdit Pendidikan Formal dan Informal di Kemendiknas berinisial TS bersama UTM, re­kanan pengadaan lelang buku dan seorang broker berinisial HLS,  disangka tidak melaksanakan pro­sedur maupun ketentuan lelang dalam Kepres Nomor 80 Tahun 2003.

“Seharusnya, TS sebagai peja­bat panitia lelang, membuka ten­der, mengumum­kan­nya kepada publik. Dengan begitu, tender dilakukan terbuka,” katanya di Markas Polda Metro Jaya.

Lantaran tender dilaksanakan tertutup, lanjut Ajie, para ter­sang­ka bisa dengan mudah me­mai­n­kan peran masing-masing. Se­ba­gai Ketua Panitia Lelang, TS da­pat menentukan perusahaan re­ka­nan mana yang bakal memenangi tender itu. Alhasil, perkenalannya dengan tersangka HLS membawa angin segar. Begitu dikenalkan dengan UTM, TS langsung me­nentukan pemenang lelang tanpa melewati proses lelang yang baku. “UTM dikenalkan ke TS oleh seorang broker bernama HLS,” katanya.

Parahnya lagi, menurut Ajie, setelah memenangi tender, UTM malah mensub-kontrakkan peker­jaan ke pihak ketiga. Hal ini dila­ku­kan UTM lantaran dia dan perusahaan yang memenangi le­lang itu, tak memiliki kompe­tensi di bidang pencetakan buku mau­pun modul.

Kata Ajie, saat lelang, UTM meminjam “ben­dera” perusahaan lain bernama PT Cita Cakra Ak­sara (CCA) dan PT Tirta Buana Sakti (TBS). “Pihak perusahaan tersebut sudah kami mintai ke­terangan,” tandasnya.

Ajie menambahkan, akibat le­lang yang tertutup dan pengadaan buku  “Keterampilan Fungsional dan Kepribadian Profesional paket B” tahun anggaran 2007 yang tak transparan ini, banyak pihak merasa dicurangi. “Ada yang melapor pada kepolisian me­ngenai hal ini,” ujarnya.

Berangkat dari laporan yang masuk, jajaran Sat-Tipikor me­ngorek keterangan saksi-saksi. Sedikitnya, menurut Ajie, polisi telah memeriksa 23 saksi dalam kasus ini. Namun, dia tidak mau menjelaskan identitas saksi-saksi tersebut demi keamanan mereka. “Sebelum ada penetapan status tersangka, 23 saksi telah dimintai keterangan,” ucapnya.

Ketiga tersangka, jelasnya, dije­rat Pasal 2, 3, 5, 9, 11 dan 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Ta­hun 2011 tentang Pembe­ranta­san Korupsi. Ketiga tersangka diancam hukuman penjara di atas lima tahun. Menambahkan kete­rangan tersebut, Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes

Baharudin Djafar mengu­rai­kan, ketiga tersangka ditangkap secara terpisah. TS ditetapkan se­ba­gai tersangka pada 30 Juni 2011 dan ditangkap di Hotel Sa­hid, Solo, Jawa Tengah. TS di­tang­kap tiga hari setelah me­nyan­dang predikat tersangka. Ia di­bekuk polisi ketika menghadiri workshop Training of Trainers (TOT) pada 3 Juli lalu.

Kemudian, pada 1 Juli lalu, polisi menetapkan UTM sebagai tersangka. “Tersangka UTM di­tangkap di rumahnya Jalan Pa­tuha Raya, Kayu Ringin Jaya, Be­kasi Kota, 1 Juli 2011,” im­buh­nya. Sedangkan tersangka HLS tidak ditahan seperti dua ter­sang­ka lainnya. Baharuddin ber­ala­san, HLS belum ditahan kare­na sedang sakit. “Dia menderita stroke,” kata Kabidhumas Polda Metro Jaya.

Baharuddin yakin, kendati be­lum ditahan, HLS tidak akan ka­bur. Soalnya, keluarga HLS su­dah memberikan jaminan agar ter­sangka tidak menjalani pe­na­ha­nan selama masa pe­ngobatan.

Diberi Waktu 60 Hari Untuk Perjelas Anggaran

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tengah dirundung sejumlah persoalan penggunaan anggaran negara.

Beberapa hari sebelum Polda Metro Jaya melansir kasus pe­nga­daan buku yang telah me­ng­ha­sil­kan tiga tersangka, Badan Pe­me­riksa Keuangan (BPK) menge­luar­kan status disclaimer untuk audit keuangan Kemendiknas 2010. Opini disclaimer dike­luar­kan auditor bila ada pengelolaan dana yang bermasalah.

Menurut anggota BPK Rizal Djalil, untuk audit 2010, dana yang disclaimer di Kemendiknas mencapai Rp 750 miliar. Dana itu antara lain untuk tunjangan guru dan beasiswa.

Rizal menegaskan, tunjangan profesi guru dan tagihan beasiswa ta­hun 2010 yang kurang dibayar Kemendiknas Rp 61,9 miliar.

Wakil Mendiknas Fasli Jalal ber­janji akan menindaklanjuti te­muan BPK tersebut. Menurut Fasli, pihaknya diberi waktu 60 hari untuk memperbaiki secara in­ternal hasil temuan BPK terse­but. “Bila ada kesalahan, misal­nya ada kerugian negara, maka kita per­silakan polisi masuk,” tegasnya.

Fasli menduga dana berma­sa­lah itu menyangkut bantuan so­sial sekitar Rp 69 miliar. Ke­mung­kinan, bansos belum sam­pai ke penerima seperti bantuan luar negeri untuk beasiswa, tun­jangan profesi, dan sejenisnya.

Menurut dia, semua dana ban­sos masuk ke kantor per­benda­ha­raan dan kekayaan negara (KPKN) yang memerintahkan bank ope­ra­sional untuk setor dana itu. “Ce­lakanya, bank operasional ha­nya laporkan ke KPKN, tidak ke kami. Sehingga, sekarang kami bekerja keras mencek ke bank-bank operasional,” ujar Fasli.

Dalam Laporan Keuangan Ke­mendiknas 2010, BPK mene­mu­kan anggaran belanja yang tak wajar dengan total temuan Rp 763 miliar dari realisasi belanja Rp 59,3 triliun.

Temuan itu antara lain terkait dana tidak disalurkan, dan tidak disetor ke kas negara, yakni dana Bansos Rp  69,3 miliar, tunjangan profesi dan tagihan beasiswa ta­hun 2010 kurang dibayar Rp  61,9 miliar. Juga PNPB tidak disetor ke kas negara Rp 25,8 miliar, aset tetap tidak masuk invetarisasi dan reevaluasi Rp 287 miliar, pengen­dalian atas penatausahaan aset tidak memadai Rp 28,9 miliar, pengadaan barang tidak selesai dilaksanakan Rp 55,9 miliar.

Ada juga realisasi belanja fiktif, hibah uang tidak dicatat, dan barang dari hibah Provinsi Lam­pung senilai Rp 4,7 miliar be­lum diproses. “Anggaran Diknas karut marut,” sentil Rizal.

Tidak Boleh Cepat Puas

Harry Witjaksana, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksana meminta Pol­da Metro Jaya tak buru-buru ce­pat puas setelah mene­tapkan Ka­subdit Pendidikan Formal dan Informal Kemen­terian Pen­didikan Nasional (Ke­men­dik­nas) sebagai ter­sang­ka kasus pe­ngadaan buku senilai Rp 2,99 miliar. Soalnya, dugaan keterli­ba­tan oknum lain masih terbuka.

“Saya harap ini dijadikan bukti awal yang bagus untuk menemukan tersangka lain pada perkara pengadaan buku itu,” tandas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini.

Ketika mendengar peristiwa ini, Harry mengaku sempat kaget. Sebab, tak biasanya Pol­da Metro Jaya menangani per­kara dugaan korupsi yang nilai­nya miliaran rupiah serta me­nyeret pejabat lembaga peme­rintah. “Ini bisa dikatakan se­bagai langkah yang cukup ber­ani dari Polda Metro Jaya untuk membuat suatu gebrakan,” ucapnya.

Dia berharap, Polda Metro Jaya tak hanya semangat di awal penanganan kasus ini, tapi ujung-ujungnya loyo. Dia me­minta Polda Metro yang kini di­pimpin Irjen Un­tung Su­harsono Rajab mem­buat geb­ra­kan da­lam mengusut perkara korupsi besar. “Jadi, bisa ber­bagi tugas dengan KPK dan Ma­bes Polri,” tan­dasnya.

Pesimistis Bisa Diusut Tuntas

Neta S Pane, Ketua Presidium IPW

Ketua Presidium LSM Indo­nesia Police Watch (IPW) Neta S Pane pesimistis Polda Metro Jaya akan mengusut kasus pe­ngadaan buku seharga Rp 2,99 miliar ini sampai tuntas, hingga melimpahkannya ke kejaksaan. Soalnya, dalam beberapa pena­nganan perkara korupsi, ada kesan kepolisian sangat lamban.

“Karena itu, saya sarankan sebaiknya KPK ikut memantau kasus ini. Jadi, jika polisi tidak mampu mengusutnya, masih ada KPK yang akan melanjut­kan perkara itu,” kata Neta. Tetapi, Neta meminta pihak Pol­da Metro Jaya tak menyerah sebelum perang. Dia ingin me­lihat kinerja Polda Metro Jaya di bawah

Kapolda baru, Irjen Untung Suharsono Rajab dalam hal mem­berantas praktik korupsi. “Jadikan ini sebagai gebrakan pimpinan Polda Metro Jaya yang baru,” sarannya.

Neta menilai, praktik korupsi di sektor pendidikan terjadi di se­mua tingkatan penyeleng­ga­ra, mulai dari hulu di Ke­men­te­­rian Pendidikan Nasional hingga ke bagian hilir seperti perguruan tinggi dan sekolah. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA