Dari informasi yang didapatkan Ketua Umum DPP Asoasiasi Advokat Indonesia (AAI) Humphrey Djemat, dari pihak KJRI di Jeddah, KBRI telah meminta akses seluas-luasnya kepada Kemenlu dan fasilitas pendampingan terhadap Ruyati. Dan KJRI sempat mendampingi Ruyati dalam dua kali persidangan di Mahkamah Am (pengadilan tingkat 1) tanggal 3 dan 10 Oktober 2010. Dalam persidangan itu, Ruyati secara gamblang mengakui pembunuhan tersebut setelah terjadinya pertengkaran.
"Pertengkaran karena keinginannya untuk pulang ke Indonesia tidak dikabulkan," ungkap Humphrey dalam keterangan yang dikirimkan ke
Rakyat Merdeka Online, Senin (20/6).
Kemudian, Mahkamah Tamyiz mengesahkan qishash (hukuman mati) tanggal 14 Juli 1431 H. Hukuman itu kemudian dikuatkan juga oleh Mahkamah Agung. Di samping itu, KJRI juga telah upayakan pemaafan dari ahli waris melalui Lembaga Pemaafan (Lajnah Afwuh).
"Tapi terakhir, pihak kerajaan memerintahkan pelaksanaan hukuman pancung atas permohonan ahli waris," tutur Humphrey.
Karena itu, Humphrey Djemat kembali menegaskan perlunya dipakai jasa hukum advokat di Arab Saudi untuk membela TKI. Menurutnya, lawyer bisa setiap saat memonitor kasus yang menimpa TKI atau warga negara Indonesia.
"Karena lawyer pasti melakukan upaya maksimal dengan cara profesional dan pemerintah pasti selalu mendapatkan laporan jelas setiap kasus yang ditanganinya," tukas Humphrey.
Tugas membela layaknya seorang lawyer dalam kasus-kasus TKI seperti Ruyati, Sumiati, Kikim Komalasari dan lainnya, menurut Humphrey, agak sulit dilakukan birokrat pemerintahan.
"Terlebih lagi, penanganan kasus itu bukan menjadi bidang pekerjaan pemerintah atau birokrat, jadi serahkan saja kepada lawyer," jelas Humphrey yang menangani perkara Sumiati dan Kikim Komalasari ini.
Dia mengungkapkan, saat ini AAI sedang mengajukan konsep proposal kerjasama kepada pemerintah dalam hal pembelaan terhadap TKI di luar negeri, terlebih di Arab Saudi.
[ald]
BERITA TERKAIT: