Tetapi, tudingan itu ditampik Wakil Jaksa Agung Darmono. Menurut dia, tidak ada pengÂgeÂlemÂbungan harga tersebut. “Ini perÂlu diluruskan,†katanya, keÂmarin.
Darmono menjelaskan, dalam temuan awal BPK memang diÂanggap terjadi kemahalan harga pengadaan kendaraan tahanan pada tahun 2009. Namun, meÂnurutnya, Kejagung lantas mengÂklarifikasi dugaan kemahalan harÂga tersebut. “Dalam waktu 60 hari, kami menjelaskan adanya perÂbedaan harga karena ada komÂponen-komponen khusus yang diperlukan pada mobil tahanan tersebut,†katanya.
Wakil Jaksa Agung menamÂbahÂkan, klarifikasi ini juga diÂkuatÂkan keterangan pihak PT Astra Internasional selaku rekaÂnan Kejagung dalam pengadaan tersebut. Menurutnya, setelah klaÂrifikasi kepada BPK dilakuÂkan, tergambar bahwa tidak ada penggelembungan harga kenÂdaÂraan tahanan itu.
“Setelah diÂklaÂrifikasi kepada BPK, tidak ada masalah. Tidak terjadi kemahalan seperti dugaan semula,†tandas Ketua Tim PemÂburu Aset Koruptor ini.
Hal senada disampaikan KeÂpaÂla Pusat Penerangan Hukum (KaÂpuspenkum) Kejagung Noor RochÂmad. Menurut Noor, pengaÂdaan mobil tahanan pada tahun 2009 sudah melalui prosedur. Sehingga, tidak ada masalah. “Kami sudah klaÂrifikasi bahwa perkara ini tidak seÂperti yang dituduhkan,†ucapnya.
Sebelumnya, berdasarkan data BPK, ICW curiga ada duÂgaan korupsi di balik pengadaan 100 mobil tahanan pada 2009 di Biro Perencanaan. Menurut ICW, ada penggelembungan harga sebesar Rp 1.301.425.000 (satu miliar, tiga ratus satu juta, empat ratus dua puluh lima ribu rupiah) berdasarkan data BPK. ICW juga curiga, mengapa Kejagung meÂnunÂjuk langsung PT Astra InterÂnational dalam pengadaan ini.
“Berdasarkan laporan keÂuangan dari BPK tanggal 10 Mei 2010, ada indikasi korupsi pengaÂdaan 100 unit kendaraan tahaÂnan,†kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho.
Menurut ICW, pengadaan kenÂdaraan tahanan tersebut diÂtuanÂgÂkan dalam Surat Perjanjian atau KonÂtrak Pengadaan Kendaraan TaÂhaÂnan Kejagung Tahun 2009 No SP-02/PKLPH/7/2009 tangÂgal 1 Juli 2009 senilai Rp 29.428.475.000.
Tetapi, lanjut Emerson, setelah dicek langsung ke PT Astra, harga kendaraan dalam kontrak itu leÂbih tinggi Rp 1.301.425.000. KaÂrena itulah, ICW melihat pengaÂdaan 100 unit mobil tahanan itu berbau mark up.
Emerson memaparkan, dari 100 unit mobil tahanan itu, rinÂciannya ialah 38 unit Toyota Dyna Rino 4 ban ukuran kecil, 50 unit Toyota Dyna Rino 4 ban ukuÂran sedang dan 12 unit Toyota Dyna Rino 6 ban ukuran besar. Jangka pelaksanaan pekerjaan selama 168 hari, terhitung sejak 1 Juli 2009 sampai 15 Desember 2009.
Ditinjau dari data BPK, lanÂjutnya, aroma tak sedap tidak haÂnya tercium pada pengadaan moÂbil tahanan tersebut. Tetapi, juga terdapat di Biro PerlengÂkapan Kejagung pada 2009 senilai Rp 1,4 miliar. Yakni, dalam pengaÂdaÂan barang inventaris kantor pada Sekretaris Jaksa Agung MuÂda Pengawasan (Sesjamwas) daÂlam 15 paket pekerjaan. ’’Itu berÂdasar revisi daftar isian pagu angÂgaran 22 Oktober 2009,’’ katanya.
Emerson mengatakan, tidak ada alasan pekerjaan tersebut dipecah 15 paket dengan nilai maÂsing-masing Rp 100 juta. SeÂbab, berdasar Keputusan PreÂsiÂden Nomor 80 Tahun 2003, peÂngadaan barang dapat mengÂguÂnaÂkan metode pilihan langsung. Apalagi, barang tersebut mudah didapat, spesifik, dan dapat diÂprediksi kebutuhannya. “Jadi tidak dipaket-paket seperti itu,†katanya.
Mutasi Kendaraan Kurang TransparanUchok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi & Advokasi FITRAKoordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi berÂÂpendapat, remunerasi KeÂjakÂÂsaan Agung (Kejagung) henÂdaknya diikuti dengan etos kerja positif korps jaksa.
Hal ini ditujukan agar prinsip pengeÂloÂlaan anggaran yang maÂsih diÂnilai miring oleh BaÂdan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK) dalam pengadaan 100 unit mobil tahanan tidak terjadi di masa mendatang.
“Ini menjadi salah satu bukti belum adanya langkah konkrit dari kejaksaan untuk meÂwujudÂkan reformasi birokrasi yang baik di internalnya,†katanya.
Menanggapi hasil audit BPK yang menyebut harga kontrak pengadaan kendaraan tahanan Kejagung lebih tinggi dibanÂding patokan anggaran, Uchok mengaku tidak terlalu heran dengan konÂdisi tersebut. Sebab hal seperti itu menurutnya, cuÂkup sering ditemukan dalam investigasi lembaganya.
Menurutnya, yang menyeÂbabÂkan terjadinya pemborosan dalam pengadaan kendaraan tahanan adalah adanya ketidakÂberesan dalam perencanaan anggaran. Hal ini sangat mengÂkhawatirkan karena bisa memÂbuka celah terjadinya tindak pidana korupsi. “Seharusnya, dibuat dulu rencana anggaran pengadaan mobil dengan baik dan terstruktur. Jangan asal-asalan,†ucapnya.
Berdasarkan data yang dimiÂliki FITRA, selain ada dugaan harga mobil dinaikkan, kekuÂraÂngan lain terletak pada tidak terÂsusunnya catatan mengenai perÂpindahan kendaraan dari satu wilayah ke wilayah lain. SeÂhingÂÂga, ada perbedaan jumÂlah kendaraan yang tercatat dengan jumlah kendaraan yang sebeÂnarÂnya.
“Itu sangat disaÂyangÂkan. Seharusnya lembaga sekeÂlas Kejagung mempunyai data-data yang akuntabel,†tandasnya.
Dia melanjutkan, kondisi yang demikian membuat celah terÂjadinya tindak pidana korupsi terbuka. Kecenderungan ini munÂcul karena aset yang berleÂbihan itu akan mudah dijadikan atau diselewengkan menjadi kekayaan pribadi.
“Kami sangat khawatir tenÂtang hal itu. Kita nggak mau moÂbil yang dibeli dengan uang negara berubah menjadi kenÂdaraan pribadi,†ucapnya.
Untuk mencegah hal tersebut, kata dia, dibutuhkan transÂpaÂransi dan pengawasan yang keÂtat. Selama ini menurut Uchok, institusi penegak hukum, terÂmasuk Kejagung cenderung kuÂrang transparan dalam meÂmanÂfaatkan anggaran.
Bukan Sekadar Soal AnggaranDesmon Junaidi Mahesa, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Desmon Junaidi Mahesa berÂharap Indonesian Corruption Watch (ICW) segera melaÂporÂkan kepada Komisi PemÂbeÂranÂtasan Korupsi (KPK) perihal laporan Badan Pemeriksa KeÂuangan (BPK) yang menyebut adanya penggelembungan harÂga dalam pengadaan 100 unit mobil tahanan.
“Laporin saja ke KPK. Itu malah lebih baik. Saya harap ICW tidak hanya diam saja tanÂpa melaporkannya kepada apaÂrat penegak hukum,†katanya.
Menurutnya, dengan melaÂporÂkan perkara tersebut kepada KPK, maka ICW bisa disebut sebagai LSM yang turut menÂduÂkung program pemerintah dalam hal pemberantasan koÂrupsi. “Itu nilai positifnya. Kita di Komisi Hukum nggak mau dong kalau ada aparat penegak hukum yang melakukan koÂrupsi,†ucapnya.
Desmon menambahkan, jika LSM ICW tak kunjung melaÂporkan perkara itu pada KPK, maka politisi Gerindra ini berÂharap sebaliknya KPK mau tuÂrun tangan langsung menÂcerÂmati dugaan penggelembungan harga mobil tahanan yang diÂmaksud pada perkara ini. “Kan KPK pasti dapat laporan keÂuangan dari BPK. Mereka tingÂgal mengecek saja,†tandasnya.
Menanggapi hal ini, renÂcaÂnaÂnya pada pekan depan Komisi III DPR akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak Kejagung. Dalam perteÂmuan tersebut, Desmon berjanji akan menanyakan dugaan pengÂgelembungan harga dalam peÂngadaan mobil tahanan ini.
Dia berpendapat, selain meÂniÂlai penggunaan anggaran yang kurang akuntabel alias terÂbuka, Desmon juga menyenÂtil penaÂnganan perkara lain yang masih belum dituntaskan Kejagung.
“Disamping itu saya juga akan menanyakan mengeÂnai tak kunjung diprosesnya GuÂbernur Kaltim Awang FaÂroek,†ucapÂnya.
[rm]
BERITA TERKAIT: