Darmono Ngotot, Tak Ada Korupsi Mobil Tahanan

Tanggapi Dugaan Penggelembungan Harga

Jumat, 17 Juni 2011, 07:15 WIB
Darmono Ngotot, Tak Ada Korupsi Mobil Tahanan
Darmono
RMOL. Berdasarkan Laporan Semester I Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010, LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) mengendus dugaan penggelembungan harga pada pengadaan 100 unit mobil tahanan Kejaksaan Agung sebesar Rp 1,3 miliar.
 
Tetapi, tudingan itu ditampik Wakil Jaksa Agung Darmono. Menurut dia, tidak ada peng­ge­lem­bungan harga tersebut. “Ini per­lu diluruskan,” katanya, ke­marin.

Darmono menjelaskan, dalam temuan awal BPK memang di­anggap terjadi kemahalan harga pengadaan kendaraan tahanan pada tahun 2009. Namun, me­nurutnya, Kejagung lantas meng­klarifikasi dugaan kemahalan har­ga tersebut. “Dalam waktu 60 hari, kami menjelaskan adanya per­bedaan harga karena ada kom­ponen-komponen khusus yang diperlukan pada mobil tahanan tersebut,” katanya.

Wakil Jaksa Agung menam­bah­kan, klarifikasi ini juga di­kuat­kan keterangan pihak PT Astra Internasional selaku reka­nan Kejagung dalam pengadaan tersebut. Menurutnya, setelah kla­rifikasi kepada BPK dilaku­kan, tergambar bahwa tidak ada penggelembungan harga ken­da­raan tahanan itu.

“Setelah di­kla­rifikasi kepada BPK, tidak ada masalah. Tidak terjadi kemahalan seperti dugaan semula,” tandas Ketua Tim Pem­buru Aset Koruptor ini.

Hal senada disampaikan Ke­pa­la Pusat Penerangan Hukum (Ka­puspenkum) Kejagung Noor Roch­mad. Menurut Noor, penga­daan mobil tahanan pada tahun 2009 sudah melalui prosedur. Sehingga, tidak ada masalah. “Kami sudah kla­rifikasi bahwa perkara ini tidak se­perti yang dituduhkan,” ucapnya.

Sebelumnya, berdasarkan data BPK, ICW curiga ada du­gaan korupsi di balik pengadaan 100 mobil tahanan pada 2009 di Biro Perencanaan. Menurut ICW, ada penggelembungan harga sebesar Rp 1.301.425.000 (satu miliar, tiga ratus satu juta, empat ratus dua puluh lima ribu rupiah) berdasarkan data BPK. ICW juga curiga, mengapa Kejagung me­nun­juk langsung PT Astra Inter­national dalam pengadaan ini.

“Berdasarkan laporan ke­uangan dari BPK tanggal 10 Mei 2010, ada indikasi korupsi penga­daan 100 unit kendaraan taha­nan,” kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho.

Menurut ICW, pengadaan ken­daraan tahanan tersebut di­tuan­g­kan dalam Surat Perjanjian atau Kon­trak Pengadaan Kendaraan Ta­ha­nan Kejagung Tahun 2009 No SP-02/PKLPH/7/2009 tang­gal 1 Juli 2009 senilai Rp 29.428.475.000.

Tetapi, lanjut Emerson, setelah dicek langsung ke PT Astra, harga kendaraan dalam kontrak itu le­bih tinggi Rp 1.301.425.000. Ka­rena itulah, ICW melihat penga­daan 100 unit mobil tahanan itu berbau mark up.

Emerson memaparkan, dari 100 unit mobil tahanan itu, rin­ciannya ialah 38 unit Toyota Dyna Rino 4 ban ukuran kecil, 50 unit Toyota Dyna Rino 4 ban uku­ran sedang dan 12 unit Toyota Dyna Rino 6 ban ukuran besar. Jangka pelaksanaan pekerjaan selama 168 hari, terhitung sejak 1 Juli 2009 sampai 15 Desember 2009.

Ditinjau dari data BPK, lan­jutnya, aroma tak sedap tidak ha­nya tercium pada pengadaan mo­bil tahanan tersebut. Tetapi, juga terdapat di Biro Perleng­kapan Kejagung pada 2009 senilai Rp 1,4 miliar. Yakni, dalam penga­da­an barang inventaris kantor pada Sekretaris Jaksa Agung Mu­da Pengawasan (Sesjamwas) da­lam 15 paket pekerjaan. ’’Itu ber­dasar revisi daftar isian pagu ang­garan 22 Oktober 2009,’’ katanya.

Emerson mengatakan, tidak ada alasan pekerjaan tersebut dipecah 15 paket dengan nilai ma­sing-masing Rp 100 juta. Se­bab, berdasar Keputusan Pre­si­den Nomor 80 Tahun 2003, pe­ngadaan barang dapat meng­gu­na­kan metode pilihan langsung. Apalagi, barang tersebut mudah didapat, spesifik, dan dapat di­prediksi kebutuhannya. “Jadi tidak dipaket-paket seperti itu,” katanya.

Mutasi Kendaraan Kurang Transparan
Uchok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi & Advokasi FITRA

Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi ber­­pendapat, remunerasi Ke­jak­­saan Agung (Kejagung) hen­daknya diikuti dengan etos kerja positif korps jaksa.

Hal ini ditujukan agar prinsip penge­lo­laan anggaran yang ma­sih di­nilai miring oleh Ba­dan Pe­me­riksa Keuangan (BPK) dalam pengadaan 100 unit mobil tahanan tidak terjadi di masa mendatang.

“Ini menjadi salah satu bukti belum adanya langkah konkrit dari kejaksaan untuk me­wujud­kan reformasi birokrasi yang baik di internalnya,” katanya.

Menanggapi hasil audit BPK yang menyebut harga kontrak pengadaan kendaraan tahanan Kejagung lebih tinggi diban­ding patokan anggaran, Uchok mengaku tidak terlalu heran dengan kon­disi tersebut. Sebab hal seperti itu menurutnya, cu­kup sering ditemukan dalam investigasi lembaganya.

Menurutnya, yang menye­bab­kan terjadinya pemborosan dalam pengadaan kendaraan tahanan adalah adanya ketidak­beresan dalam perencanaan anggaran. Hal ini sangat meng­khawatirkan karena bisa mem­buka celah terjadinya tindak pidana korupsi. “Seharusnya, dibuat dulu rencana anggaran pengadaan mobil dengan baik dan terstruktur. Jangan asal-asalan,” ucapnya.

Berdasarkan data yang dimi­liki FITRA, selain ada dugaan harga mobil dinaikkan, keku­ra­ngan lain terletak pada tidak ter­susunnya catatan mengenai per­pindahan kendaraan dari satu wilayah ke wilayah lain. Se­hing­­ga, ada perbedaan jum­lah kendaraan yang tercatat dengan jumlah kendaraan yang sebe­nar­nya.

“Itu sangat disa­yang­kan. Seharusnya lembaga seke­las Kejagung mempunyai data-data yang akuntabel,” tandasnya.

Dia melanjutkan, kondisi yang demikian membuat celah ter­jadinya tindak pidana korupsi terbuka.  Kecenderungan ini mun­cul karena aset yang berle­bihan itu akan mudah dijadikan atau diselewengkan menjadi kekayaan pribadi.

“Kami sangat khawatir ten­tang hal itu. Kita nggak mau mo­bil yang dibeli dengan uang negara berubah menjadi ken­daraan pribadi,” ucapnya.

Untuk mencegah hal tersebut, kata dia, dibutuhkan trans­pa­ransi dan pengawasan yang ke­tat. Selama ini menurut Uchok, institusi penegak hukum, ter­masuk Kejagung cenderung ku­rang transparan dalam me­man­faatkan anggaran.

Bukan Sekadar Soal Anggaran
Desmon Junaidi Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmon Junaidi Mahesa ber­harap Indonesian Corruption Watch (ICW) segera mela­por­kan kepada Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi (KPK) perihal laporan Badan Pemeriksa Ke­uangan (BPK) yang menyebut adanya penggelembungan har­ga dalam pengadaan 100 unit mobil tahanan.

“Laporin saja ke KPK. Itu malah lebih baik. Saya harap ICW tidak hanya diam saja tan­pa melaporkannya kepada apa­rat penegak hukum,” katanya.

Menurutnya, dengan mela­por­kan perkara tersebut kepada KPK, maka ICW bisa disebut sebagai LSM yang turut men­du­kung program pemerintah dalam hal pemberantasan ko­rupsi. “Itu nilai positifnya. Kita di Komisi Hukum nggak mau dong kalau ada aparat penegak hukum yang melakukan ko­rupsi,” ucapnya.

Desmon menambahkan, jika LSM ICW tak kunjung mela­porkan perkara itu pada KPK, maka politisi Gerindra ini ber­harap sebaliknya KPK mau tu­run tangan langsung men­cer­mati dugaan penggelembungan harga mobil tahanan yang di­maksud pada perkara ini. “Kan KPK pasti dapat laporan ke­uangan dari BPK. Mereka ting­gal mengecek saja,” tandasnya.

Menanggapi hal ini, ren­ca­na­nya pada pekan depan Komisi III DPR akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak Kejagung. Dalam perte­muan tersebut, Desmon berjanji akan menanyakan dugaan peng­gelembungan harga dalam pe­ngadaan mobil tahanan ini.

Dia berpendapat, selain me­ni­lai penggunaan anggaran yang kurang akuntabel alias ter­buka, Desmon juga menyen­til pena­nganan perkara lain yang masih  belum dituntaskan Kejagung.

“Disamping itu saya juga akan menanyakan menge­nai tak kunjung diprosesnya Gu­bernur Kaltim Awang Fa­roek,” ucap­nya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA