WAWANCARA

Komarudin Hidayat: Kebijakan Libur Bersama Lestarikan Budaya Malas

Kamis, 02 Juni 2011, 07:41 WIB
Komarudin Hidayat: Kebijakan Libur Bersama Lestarikan Budaya Malas
Komarudin Hidayat
RMOL. Rendahnya produktivitas kerja di negeri ini sudah lama dikeluhkan. Kondisinya bertambah parah gara-gara pemerintah gemar menetapkan cuti bersama.

Dalam 18 hari, pemerintah me­netapkan cuti bersama selama dua kali, yakni 16 Mei lalu dan besok, 3 Juni 2011.

Rektor Universitas Islam Ne­geri (UIN) Syarif Hidaya­tullah, Komarudin Hidayat mengatakan, meski pemerintah menambah libur nasional dengan istilah curi bersama, penerapan hari libur masih belum efektif.

“Penetapan cuti bersama justru mengganggu produktifitas kerja, karena dilakukan tanpa peren­canaan yang jelas dan terukur,’’ ujar” Komarudin’Hidayat kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Liburan memang menjadi selingan yang sangat menyenang­kan bagi masyarakat. Namun, kalau dilihat dari produktifitas kerja, ini menyedihkan. Jangan­kan hari libur, nggak libur saja produktifitas masyarakat Indo­nesia sudah sangat redah,” tam­bahnya.

Seperti diketahui, Studi Badan Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Tahun 2009 menyebutkan, tingkat produktivitas pekerja Indo­nesia kalah jauh dengan pekerja di China. Di pabrik gar­men, misalnya, seorang pekerja China mampu menghasilkan 90 celana per hari. Sedangkan pe­kerja Indonesia hanya bisa meng­hasilkan 30-40 celana.

Di tahun yang sama, Organi­sasi Perburuhan Internasional menempatkan Indonesia di uru­tan ke-83 dari 124 negara dalam produktivitas te­naga kerja. Sa­lah satu pe­nye­bab rendahnya daya saing. Indo­nesia hanya mendu­duki pe­ringkat 35 dari 75 negara yang disurvei In­ternational Mana­ge­ment Deve­lopment.

Komarudin selanjutnya me­nga­takan, Indo­nesia terlalu di­manjakan oleh alam. Makanya, budaya kerja pemerintah dan ma­sya­rakatnya menjadi lebih santai.

Berikut kutipan selengkapnya:

Anda tidak setuju dengan pe­nambahan hari libur di hari ke­jepit?
Saya bukannya tidak setuju dengan kebijakan cuti bersama. Kalau memang libur itu didisain, ya nggak masalah. Dengan de­mikian, penambahan hari libur tidak melestarikan budaya malas dan menurunkan produktifitas masyarakat. Tapi cuti bersama ini kan tidak jelas dan tidak terukur, sehingga melestarikan budaya malas.

Di negara lain, liburnya juga ada yang lama, seperti liburan mu­sim panas. Namun, pada mu­sim-musim lainnya, mereka be­kerja all out dan penuh dedikasi.

Negara kita kan hanya me­mi­liki dua musim?
Betul. Lalu, apakah itu menjadi kendala, harusnya tidak. Sebab, jika dibandingkan dengan sejum­lah negara, Indonesia itu paling banyak memiliki hari libur nasio­nal. Nah, jika ditambah dengan cuti bersama jumlah liburnya kan menjadi semakin banyak.

Pertanyaannya, apakah penera­pan cuti bersama itu efektif. Ja­wabanya, tidak. Sebab, kebijakan tersebut dilakukan tanpa peren­canaan yang jelas dan terukur.

Apa yang harus dilakukan pe­merintah?
Pemerintah harus belajar dari kinerja yang ditunjukkan oleh bangsa Jepang, Korea Selatan, China, atau Singapura yang sangat sedikit libur nasionalnya. Hanya dengan produktivitas dan kinerja yang maksimal, upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 persen akan bisa dicapai.

Bagaimana caranya agar punya kinerja yang tinggi?
Indonesia merupakan bangsa yang lembek. Sebab, jika diban­dingkan degan Korea dan Jepang, daya tahan kerja Indonesia me­mang sangat rendah. Setiap hari, paling tinggi produktifitas ma­sya­rakat Indonesia hanya 8 jam. Sementara di Korea dan Jepang bisa mencapai 14 jam per hari.

Saya pernah berbicara dengan orang Jepang yang bekerja di Indo­nesia. Saat ditanya, kenapa Anda pulang malam. Dia menja­wab, menurut kami tidak ada lagi yang dapat dibanggakan lagi kecuali kerja keras. Sebab, tekno­logi sudah merata. Pabrik mobil dan pabrik-pabrik lainnya sudah ada di seluruh dunia. Yang bisa kami banggakan hanya kerja keras.

Kalau di Indonesia apa yang di­banggakan?
Inilah yang harus menjadi per­tanyaan kita bersama. Produknya apa, kerja kerasnya juga nggak, kan sangat memprihatinkan.

Apa solusi yang Anda sa­ran­kan?
Ke depan, pemerintah harus pro­duktif dalam mengelola aset negara. Segala hal terkait penge­lua­ran aset harus diaudit, se­hingga dapat mendukung pro­duk­­tifitas masyarakat.

Contohnya, 20 persen angga­ran pendidikan itu kan aset. Pe­nge­luaran anggaran negara itu harus berdampak pada pening­katan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Itu juga inves­tasi SDM. Makanya harus ditagih apa hasil dari investasi tersebut.

Untuk itu, harus ada produk­tifi­tas yang terukur. Pertanyaannya, ada atau tidak ukuran produktifi­tas itu. Kalau di kantor swasta, pro­duktifitas menjadi prioritas karena mereka memiliki target.

Bagaimana kalau di kantor plat merah?
 Jangan sampai ungkapan 905 alias datang Pukul 9, kerjaan 0 (kosong), pulang pukul 5 dijadi­kan kebudayaan.

Tidak adanya pemerataan tugas di perusahaan plat merah mem­buat produktifitas PNS tidak teru­kur dan terarah. Makanya ada orang yang sangat sibuk, tapi banyak yang menganggur. Sebab, nggak ada pemerataan.  [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA