Dalam 18 hari, pemerintah meÂnetapkan cuti bersama selama dua kali, yakni 16 Mei lalu dan besok, 3 Juni 2011.
Rektor Universitas Islam NeÂgeri (UIN) Syarif HidayaÂtullah, Komarudin Hidayat mengatakan, meski pemerintah menambah libur nasional dengan istilah curi bersama, penerapan hari libur masih belum efektif.
“Penetapan cuti bersama justru mengganggu produktifitas kerja, karena dilakukan tanpa perenÂcanaan yang jelas dan terukur,’’ ujar†Komarudin’Hidayat kepada
Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Liburan memang menjadi selingan yang sangat menyenangÂkan bagi masyarakat. Namun, kalau dilihat dari produktifitas kerja, ini menyedihkan. JanganÂkan hari libur, nggak libur saja produktifitas masyarakat IndoÂnesia sudah sangat redah,†tamÂbahnya.
Seperti diketahui, Studi Badan Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Tahun 2009 menyebutkan, tingkat produktivitas pekerja IndoÂnesia kalah jauh dengan pekerja di China. Di pabrik garÂmen, misalnya, seorang pekerja China mampu menghasilkan 90 celana per hari. Sedangkan peÂkerja Indonesia hanya bisa mengÂhasilkan 30-40 celana.
Di tahun yang sama, OrganiÂsasi Perburuhan Internasional menempatkan Indonesia di uruÂtan ke-83 dari 124 negara dalam produktivitas teÂnaga kerja. SaÂlah satu peÂnyeÂbab rendahnya daya saing. IndoÂnesia hanya menduÂduki peÂringkat 35 dari 75 negara yang disurvei InÂternational ManaÂgeÂment DeveÂlopment.
Komarudin selanjutnya meÂngaÂtakan, IndoÂnesia terlalu diÂmanjakan oleh alam. Makanya, budaya kerja pemerintah dan maÂsyaÂrakatnya menjadi lebih santai.
Berikut kutipan selengkapnya:Anda tidak setuju dengan peÂnambahan hari libur di hari keÂjepit?Saya bukannya tidak setuju dengan kebijakan cuti bersama. Kalau memang libur itu didisain, ya nggak masalah. Dengan deÂmikian, penambahan hari libur tidak melestarikan budaya malas dan menurunkan produktifitas masyarakat. Tapi cuti bersama ini kan tidak jelas dan tidak terukur, sehingga melestarikan budaya malas.
Di negara lain, liburnya juga ada yang lama, seperti liburan muÂsim panas. Namun, pada muÂsim-musim lainnya, mereka beÂkerja all out dan penuh dedikasi.
Negara kita kan hanya meÂmiÂliki dua musim?Betul. Lalu, apakah itu menjadi kendala, harusnya tidak. Sebab, jika dibandingkan dengan sejumÂlah negara, Indonesia itu paling banyak memiliki hari libur nasioÂnal. Nah, jika ditambah dengan cuti bersama jumlah liburnya kan menjadi semakin banyak.
Pertanyaannya, apakah peneraÂpan cuti bersama itu efektif. JaÂwabanya, tidak. Sebab, kebijakan tersebut dilakukan tanpa perenÂcanaan yang jelas dan terukur.
Apa yang harus dilakukan peÂmerintah? Pemerintah harus belajar dari kinerja yang ditunjukkan oleh bangsa Jepang, Korea Selatan, China, atau Singapura yang sangat sedikit libur nasionalnya. Hanya dengan produktivitas dan kinerja yang maksimal, upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 persen akan bisa dicapai.
Bagaimana caranya agar punya kinerja yang tinggi?Indonesia merupakan bangsa yang lembek. Sebab, jika dibanÂdingkan degan Korea dan Jepang, daya tahan kerja Indonesia meÂmang sangat rendah. Setiap hari, paling tinggi produktifitas maÂsyaÂrakat Indonesia hanya 8 jam. Sementara di Korea dan Jepang bisa mencapai 14 jam per hari.
Saya pernah berbicara dengan orang Jepang yang bekerja di IndoÂnesia. Saat ditanya, kenapa Anda pulang malam. Dia menjaÂwab, menurut kami tidak ada lagi yang dapat dibanggakan lagi kecuali kerja keras. Sebab, teknoÂlogi sudah merata. Pabrik mobil dan pabrik-pabrik lainnya sudah ada di seluruh dunia. Yang bisa kami banggakan hanya kerja keras.
Kalau di Indonesia apa yang diÂbanggakan?Inilah yang harus menjadi perÂtanyaan kita bersama. Produknya apa, kerja kerasnya juga nggak, kan sangat memprihatinkan.
Apa solusi yang Anda saÂranÂkan?Ke depan, pemerintah harus proÂduktif dalam mengelola aset negara. Segala hal terkait pengeÂluaÂran aset harus diaudit, seÂhingga dapat mendukung proÂdukÂÂtifitas masyarakat.
Contohnya, 20 persen anggaÂran pendidikan itu kan aset. PeÂngeÂluaran anggaran negara itu harus berdampak pada peningÂkatan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Itu juga invesÂtasi SDM. Makanya harus ditagih apa hasil dari investasi tersebut.
Untuk itu, harus ada produkÂtifiÂtas yang terukur. Pertanyaannya, ada atau tidak ukuran produktifiÂtas itu. Kalau di kantor swasta, proÂduktifitas menjadi prioritas karena mereka memiliki target.
Bagaimana kalau di kantor plat merah? Jangan sampai ungkapan 905 alias datang Pukul 9, kerjaan 0 (kosong), pulang pukul 5 dijadiÂkan kebudayaan.
Tidak adanya pemerataan tugas di perusahaan plat merah memÂbuat produktifitas PNS tidak teruÂkur dan terarah. Makanya ada orang yang sangat sibuk, tapi banyak yang menganggur. Sebab, nggak ada pemerataan.
[RM]
BERITA TERKAIT: