Nunun Belum Masuk DPO Polisi Internasional

Meski Paspornya Sudah Dicabut Imigrasi

Rabu, 01 Juni 2011, 07:43 WIB
Nunun Belum Masuk DPO Polisi Internasional
Nunun Nurbaetie
RMOL. Mabes Polri belum dimintai bantuan KPK untuk memulangkan paksa Nunun Nurbaetie, dengan cara memasukkan tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom itu dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kepolisian internasional (Interpol).

Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, hing­ga Jumat sore (27/5),  pihak Interpol sama sekali belum di­min­ta KPK membantu me­mu­lang­kan Nunun ke Indonesia. Sehingga, pi­haknya saat ini be­lum bisa berbuat banyak untuk memecahkan ma­salah itu. “Kami hanya menunggu permintaan KPK,” katanya ketika dihubungi pada Jumat lalu.

Sebelumnya, Kepala Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo membeberkan empat skenario yang akan ditempuh KPK untuk me­mulangkan Nunun ke Indo­ne­sia. Dua diantaranya adalah me­minta bantuan Interpol (di Indo­ne­sia sekretariatnya di Mabes Polri) dan mengajukan pencabu­tan paspor Nunun kepada Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Sejauh ini, baru pencabutan paspor Nunun yang terlaksana.   

Menurut Boy, Mabes Polri per­lu penjelasan KPK untuk proses pemulangan Nunun, meski sudah ada kerjasama antara Polri de­ngan KPK. Soalnya, Mabes Polri tidak ingin mencampuri tugas KPK, kecuali dimintai bantuan. “Kami tidak bisa berbuat banyak, karena kami menghormati petu­gas atau institusi KPK,” ucapnya.

Bekas Kabid Humas Polda Met­ro Jaya ini, mengaku tidak ada konflik kepentingan Polri jika diminta membantu KPK, ken­dati Nunun ialah istri bekas Wakapolri Adang Daradjatun. “Kami men­jun­jung tinggi pro­fesionalisme,” katanya.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­nga­kui, pihaknya hingga Jumat lalu belum mengirim surat per­min­taan kepada Interpol yang sek­re­tariatnya di Indonesia berada di Mabes Polri, untuk memu­lang­kan Nunun ke Indonesia. “Be­lum, tapi upaya pemanggilan dan pemulangan dari luar itu tetap di­lakukan,” ujarnya.

Seperti diketahui, KPK baru menetapkan Nunun sebagai tersangka dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada Senin 23 Mei lalu dalam rapat dengan Komisi III DPR.

Menurut Ketua KPK Busyro Muqoddas, kerja sama KPK dengan Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Hukum dan HAM sudah dilakukan. KPK juga terus melakukan diplomasi dengan Singapura. “Agar Nunun bisa memberikan testimoni sesuai dengan fakta. Itu juga me­ri­ngan­kan bebannya,” katanya.

Selain itu, menurut Johan, KPK juga ingin mengetahui pe­nyakit apa sebenarnya yang di­de­rita Nunun, hingga yang ber­sang­kutan hanya sekali memenuhi panggilan KPK dalam kasus du­gaan aliran cek pelawat. Itu pun saat kasus ini masih di tingkat penyelidikan. “Kan KPK sejak lama memang ingin ada second opinion mengenai penyakitnya Bu Nunun,” ujarnya.

Pengacara Nunun, Partahi Si­hombing menyesalkan sikap KPK yang menurutnya, tidak per­nah berkoordinasi dengan kuasa hukum dan keluarga dalam upaya mendatangkan Nunun. Dia men­contohkan tidak adanya pemb­e­ri­ta­huan tentang penetapan klien­nya sebagai tersangka. “Selain itu, soal pencabutan paspor,” ujarnya.

Partahi mengatakan, Nunun su­dah lama menderita sakit lupa inga­tan masa lalu dan dalam ke­adaan tidak mampu. “Silakan tanya ke dok­ter yang me­na­ngani,” ucapnya.

Ihwal keberadaan Nunun di Singapura, Partahi mengatakan se­­harusnya KPK telah menge­ta­hui­­nya. Sebab, hal tersebut per­nah disampaikan ketika Nunun menjalani pengobatan tersebut. Adapun ketika dimintai bantuan KPK untuk menghadirkan Nunun ke Indonesia, Partahi berdalih, tergantung pada tim dokter yang menanganinya, apakah diizinkan pulang karena masih dalam pera­watan. “Sampai sekarang KPK juga tidak pernah bersurat ke ke­luarga, kepada pengacara untuk meminta itu,” ujarnya.

Sementara itu, pengacara Nu­nun lainnya, Ina Rachman menu­ding KPK memperlakukan klien­nya seperti teroris. Pasalnya, be­lum ada surat penetapan tersang­ka resmi yang diterima pihak kuasa hukum maupun keluarga. Selain itu, KPK dinilai terlalu ber­­lebihan dengan mengu­mum­kan akan bekerja sama dengan pihak Interpol.

Ina menyatakan kesiapan un­tuk menghadapi KPK apabila kliennya dapat dihadirkan di lembaga pimpinan Busyro Muqoddas itu. “Sebagai kuasa hukumnya saya siap menghadapi KPK,” katanya.

Ketimbang Jadi DPO Mendingan Pulang
Herman Hery, Anggota Komisi III DPR    

Upaya KPK yang akan ber­koordinasi dengan Sekretariat NCB Interpol dalam meng­ha­dir­kan tersangka Nunun Nur­bae­ti ke Indonesia menjadi sa­lah satu langkah strategis.

De­ngan langkah tersebut, na­ma ter­sangka bakal masuk daf­tar pencarian orang (DPO). Se­lain itu, sesuai kelaziman yang ada, Interpol pun akan menin­dak­­­­lan­juti hal ini dengan me­nye­barkan red notice ke negara-ne­ga­ra se­sama anggota Interpol lainnya.

Menurut anggota Komisi III DPR Herman Hery, langkah KPK pasca mengajukan permo­ho­nan pencabutan paspor Nu­nun pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM) bisa ditindaklanjuti de­ngan upa­ya koordinasi bersama jajaran Se­kretariat NCB Inter­pol Indonesia.

Namun, menurutnya, koor­di­nasi dengan Interpol ini hen­dak­nya dilakukan jika ter­sang­ka benar-benar tidak menun­jukkan itikad baik untuk men­datangi KPK.

“Setelah sejumlah lang­kah yang dilakukan tidak me­nemukan hasil maksimal, koor­dinasi dengan Interpol bisa di­la­kukan,” ujarnya.

Karena pada dasarnya, sam­bung politisi PDIP ini, koor­di­na­si dengan Interpol di satu sisi menjadi hal yang positif  bagi KPK. Tapi di sisi lain, lanjut­nya, akan memberi dampak bu­ruk bagi nama baik tersangka dan keluarganya.

Atas hal itu, ia menyarankan agar pihak ter­sang­ka melalui keluarga mau­pun pengacaranya bisa lebih proaktif untuk me­mu­langkan Nu­nun ke Indonesia.     Ia pun meminta agar upaya mem­bawa pulang Nunun dari Singapura dilaksanakan dengan cara yang pernah diterapkan saat menyeret Gayus dari Ne­gara Kepala Singa itu.

Artinya, jelas dia, konsolidasi antar aparat berwajib dan Ke­mentrian Luar Negeri (Ke­men­lu) Indonesia dengan otoritas Singapura sangat diperlukan. “Mesti ada lobi-lobi tingkat ting­gi antar negara,” ujarnya.

Baru setelah upaya lobi ting­kat tinggi tersebut tak me­ne­mu­kan hasil yang maksimal, upaya koordinasi dengan Interpol bisa diintensifkan.

“Sekarang ini ke­pu­langan Nunun sangat ber­gan­tung pada kemauannya menaati hukum di sini,” tandas anggota Fraksi PDIP ini.

Menurutnya, alasan sakit atau menjalani pengobatan se­cara intensif di Singapura hen­dak­nya tidak dijadikan dalih un­tuk menghindari persoalan hu­kum yang menyeret nama Nu­nun, maupun pihak-pihak lainnya.

Sarankan KPK Cepat Minta Bantuan Interpol
Jusuf Rizal, Ketua LSM LIRA

Ketua LSM Lumbung Infor­masi Rakyat (LIRA) Jusuf Rizal meminta KPK segera me­mu­langkan Nunun Nurbaeti ke In­donesia pasca penetapan Nunun sebagai tersangka kasus suap pe­milihan Deputi Guber­nur Se­nior BI Miranda Goel­tom. Soalnya, dalam hal me­ne­tapkan Nunun sebagai tersang­ka saja, lembaga superbodi itu terkesan lamban.

Lantaran itu, Jusuf berharap KPK segera mengirimkan surat ke Interpol melalui Mabes Polri guna mempermudah proses pemulangan istri anggota DPR dari PKS itu. “Kita tidak mau kecolongan dua kali. Sece­pat­nya mereka realisasikan ren­cana itu, jangan ada penundaan lagi,” katanya.

Jusuf menilai, penarikan pas­por Nunun sudah tepat. Me­nu­rut­nya, langkah tersebut bisa mempersempit ruang gerak Nu­nun yang disebut-sebut berada di Singapura.

“Kalau memang benar dia berada di Singapura, berarti su­dah selangkah upaya yang di­lakukan KPK. Tinggal ke­be­ranian KPK saja men­jem­put­nya,” tandasnya.

Jusuf menambahkan, ketia­da­an perjanjian esktradisi antara pe­merintah Indonesia dengan Singapura membuat tersangka merasa aman berlindung  di Negeri Singa itu.

“Selama ini kita tidak ber­daya dalam hal yang satu ini. Ka­lau kita benar-benar serius, me­ngapa kita tidak bisa dan berani menekan Si­nga­pura un­tuk bekerjasama dalam me­mu­langkan koruptor,” ucapnya.

Dia juga mengimbau agar Adang Daradjatun selaku suami menyarankan istrinya un­tuk koo­peratif pulang dan me­ngi­kuti proses hukum di In­donesia. Adang yang kini du­duk di Ko­misi Hukum DPR, ha­rapnya, memberi contoh ke­pada masya­ra­kat agar me­naati proses hukum.

Meski begitu, Jusuf engan ber­komentar ketika ditanya me­ngenai kondisi Nunun yang dikabarkan menderita penyakit lupa ingatan. Menurutnya, ma­salah kesehatan sebaiknya di­serahkan kepada ahlinya. Te­tapi, Jusuf mengharapkan KPK membuat second opinion untuk kondisi kesehatan Nunun. “Jadi, keterangannya cover both side. Tak hanya mengan­dal­­kan keterangan dokter pri­badi Nunun,” ucapnya.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA