“Saya tidak perlu minta maaf. Yang saya bicarakan bukan rasis, saya bukan anti pluralis,’’ teÂgasnya kepada’Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya diberitakan, Bambang Soesatyo mengkritik kebijakan Mari Elka Pangestu yang membeli pesawat MA 60 dari China.
“Beda dengan zaman Soeharto. Maaf bukan mau membandingÂkan. Tapi terlihat dari kualitas yang berbeda. Karena zaman Soeharto itu ada seleksi yang cukup ketat, bukan hanya basa-basi pemilihan menteri, dishooÂting bahwa dipanggil sama preÂsiden, lalu terpilih, hanya show up tapi kualiÂtasÂnya terlihat. JaÂngan heran kalau kebijakan Elka membeli pesawat MA 60 dari China itu lebih mengacu ke nenek moÂyangnya,†ujarnya dalam diskusi di DPR.
Pernyataan inilah yang menuai kritik dari berbagai kalangan. Bendahara Partai Golkar itu dinilai tidak pas mengeluarkan perÂnyataan tersebut karena diÂanggap mengandung SARA. Makanya didesak untuk minta maaf.
Bambang Soesatyo selanjutnya mengatakan, dirinya tidak berÂmaksud menyerang pribadi Mari Elka Pangestu, tapi hanya mengÂkritisi kebijakan perdagangan yang meÂrugikan kepentingan dalam negeri.
Apa susahnya minta maaf, kenapa Anda tidak melakukanÂnya?
Buat apa minta maaf. Saya tidak salah kok. Yang saya biÂcarakan bukan rasis, saya bukan anti pluralis. Banyak saudara saya yang non pribumi. Saya bicara tentang kebijakan Mari Elka Pangestu yang selalu meminggirÂkan kepentingan dalam negeri.
Tapi banyak menyesalkan Anda yang mengeÂluarÂkan perÂnyataan bersayap seÂperti itu...
Saya tidak bicara SARA, kok harus minta maaf. Justru saya dorong Komisi VI DPR untuk melakukan evaluasi atas kebiÂjakan-kebijakan Menteri PerdaÂgangan yang meÂrugikan kepenÂtingan industri nasional dan perÂdagangan dalam negeri.
Pernyataan Anda itu juga meÂwakili jeritan hati penguÂsaha pribumi?
Bukan begitu juga. Saya bukan bicara soal pribumi atau non priÂbumi, tapi bicara bisnis Indonesia yang sedang terpuruk. Demi bangsa ini, saya hanya minta Menteri Perdagangan lebih nasioÂnalis. Seharusnya, sepak terjangÂnya sebagai pejabat negara menÂdahulukan kepentingan nasional dan melindungi industri dalam negeri. Kalau Mari Pangestu bisa lebih mengedepankan kepentiÂngan pengusaha lokal dan memaÂjukan perekonomian nasional, maka itu juga dapat menepis isu yang menyatakan Mendag lebih pro pada China.
Apa ini sengaja dimunculkan untuk menyerang Anda?
Yang ‘goreng’ kasus ini kan komunitas tertentu yang kerap saya serang. Saya tidak bermakÂsud melecehkan Ibu Mari Pangestu secara personal, dan tidak ada keinginan untuk menÂciptakan konflik rasial. Yang jelas dalam diskusi itu, saya sampaiÂkan kritik terhadap berbagai kebijakan Menteri Perdagangan yang lebih pro terhadap China ketimbang kepentingan rakyat Indonesia.
Sebenarnya maksud pernyaÂtaan Anda itu kemana arahÂnya?
Awalnya saya merasa tak kaget dengan hasil survei Indo BaroÂmeter yang menyatakan masyaraÂkat merasa lebih puas pada era Presiden SoeÂharto. Ini meÂrupakan akumulasi kekeceÂwaan publik terhadap kepemimÂpinan pemeÂrintah saat ini. Tapi sehaÂrusÂnya hal ini menÂjadi cambuk agar pemerintah lebih baik kinerjanya. PemerinÂtah saat ini kan masih punya waktu tiga tahun lagi. JaÂwaÂban ini juga saya dapat ketika kampanye PemiÂlihan Legislatif 2009. Ketika itu para petani dan masyarakat desa merasa lebih nyaman di era Orde Baru. Ini kan tandanya ada keÂkeliruan dalam jalannya reÂforÂmasi.
Apa kekeliruannya?
Salah satunya pemerintahan saat ini banyak mengakomodasi menteri bukan dari kualitas, tapi jasa partai politik dan keterÂwakiÂlan suku serta ras. Makanya tak heran ada Menteri PerdaÂgangan seperti Mari Elka Pangestu yang lebih pro pada China.
Ada yang bilang Anda diteÂgur Ketua Umum Partai GolÂkar Aburizal Bakrie, apa benar begitu?
Tidak ada teguran. Yang ada justru saya yang menelpon beliau untuk menjelaskan permasalahan ini. Pak Ical justru tidak melarang saya mengkritisi hal itu. Saya meÂrasa ada yang membalik-balikÂkan fakta ini. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: